KENANGAN ATAS AYAH TERCINTA
Oleh Wahyudi Nugroho
Hiruk pikuk di jagat maya, tentang berbagai isu dan berita, tentang kepolisian akhir-akhir ini, mengingatkanku tentang sosok ayahku. Beliau seorang anggota polisi.Â
Agak jauh dengan gambaran polisi sekarang, yang hidup relatif lebih makmur, berkendara mobil mahal, rumah nan indah. Ayahku polisi miskin. Semasa aku kecil tinggalnya berpindah-pindah, tak punya rumah sendiri. Baru setelah pensiun bisa bikin. Rumah kecil berdinding anyaman bambu di atas tanah pemberian institusinya seluas 11 are.Â
Terakhir berpangkat peltu (pembantu letnan satu). Pensiun tahun 1972, saat aku masih kelas tiga SD. Meninggal tahun 2010, pada usia 84 tahun, beberapa tahun setelah ibundaku.
Aktifitasnya setelah pensiun adalah bertani dan memancing. Juga "ngramal" tentang nomor togel yang akan keluar. Dulu judi jenis ini dilegalkan pemerintah.
 Ayahku memiliki lahan garapan seluas seperempat hektar, mungkin warisan kakekku, yang sering beliau tanami jagung, ketela atau cabe. Kakak-kakakkulah yang membantu mengerjakannya. Karena aku masih kecil tak pernah ikut membantu. Bahkan meski hanya kirim makan.
Kami sepuluh saudara, aku nomor tujuh. Saat beliau pensiun, baru kakakku yang sulung yang telah lulus sekolah. Mencukupi kebutuhan hidup dan sekolah anak-anaknya jelas tak cukup hanya mengandalkan uang pensiun. Hasil bertanipun tak dapat dipakai untuk kebutuhan harian.
Barangkali agar anak-anaknya bisa tumbuh kembang dengan baik, bisa mengkonsumsi menu makanan bergisi, tumbuh inisiatifnya memancing. Saban malam ayahku melakukan hal ini. Berangkat jam 10 atau 11, pulang menjelang pagi. Setiap hari beliau selalu membawa setimba berbagai jenis ikan.Â
Ketika beliau berangkat tidur di pagi hari, tentu kecapean juga berjam-jam duduk saat memancing, jadi harus istirahat, kami menikmati sarapan pagi dengan ikan goreng hasil kerjanya. Tak pernah kami berangkat sekolah dengan perut tak kenyang.
Di rumah ibukupun tak tinggal diam. Kecuali mengurus anak-anaknya tanpa pembantu, beliau juga menyempatkan berternak ayam. Jika ikan goreng absen hadir di atas segumpal nasi saat sarapan, sebagai ganti telur mata sapi atau dadar yang menghiasinya. Kadang juga tempe atau tahu goreng hasil membeli dari pedagang ethek yang sering mampir.
Sayuran tak lagi membuat ibuku repot. Di halaman rumah telah tersedia sumbernya. Pepaya, kelapa, nangka, pisang, ketela, kenikir dan bayam telah tertanam, tinggal petik hasilnya.
Bahkan pagar pembatas pekarangan tertanami petai china atau lamtara temu gelang melingkar, jadi sumber kayu bakar dan olahan masakan kegemaran kami sekeluarga. Bothok.
Dengan bekal pendidikkan SKP ( Sekolah Kepandaian Putri) ibuku piawai mengolah berbagai masakan. Hingga kini belum ada masakan yang seenak olahan ibuku. Ketrampilan itu kini terwarisi oleh anak-anak gadisnya, baik kakakku dan adik-adikku pandai memasak.
Ibuku juga terampil menjahit, membuat pakaian. Semua pakaian sekolah anak-anaknya adalah hasil karyanya. Ketrampilan ini juga diwarisi oleh ketujuh saudaraku perempuan. Beliaupun pernah membuatkanku switer hasilnya menyongket.
Pernah ayahku diminta untuk menjabat sebagai kepala dusun oleh warga masyarakat dusun Karang Dinoyo, desa Kepung, kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Namun beliau menolaknya lantaran akan pindah rumah di dusun tetangga, Purwarejo.
Teman ayahkulah yang kemudian menjabatnya. Beliau pensiunan tentara. Kami sekeluarga akrab dengan keluarganya. Anak perempuan tertuanya teman kakak perempuanku. Adiknya teman sekolahku di SD dan SMP.
Aku ingat lelaki itu pernah melintas di depan rumahku, membawa senapan angin, mungkin hendak berburu, setelah di angkat menjadi kasun atau Kamituwa.
"Di mana ayahmu ?" Ia bertanya pada saat aku bermain di halaman.
"Ke ladang pak. Menyiangi jagung."jawabku.
Terakhir lelaki itu masuk penjara. Tersangkut kasus pupuk bimas yang menjadi tanggung jawabnya.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H