Di rumah ibukupun tak tinggal diam. Kecuali mengurus anak-anaknya tanpa pembantu, beliau juga menyempatkan berternak ayam. Jika ikan goreng absen hadir di atas segumpal nasi saat sarapan, sebagai ganti telur mata sapi atau dadar yang menghiasinya. Kadang juga tempe atau tahu goreng hasil membeli dari pedagang ethek yang sering mampir.
Sayuran tak lagi membuat ibuku repot. Di halaman rumah telah tersedia sumbernya. Pepaya, kelapa, nangka, pisang, ketela, kenikir dan bayam telah tertanam, tinggal petik hasilnya.
Bahkan pagar pembatas pekarangan tertanami petai china atau lamtara temu gelang melingkar, jadi sumber kayu bakar dan olahan masakan kegemaran kami sekeluarga. Bothok.
Dengan bekal pendidikkan SKP ( Sekolah Kepandaian Putri) ibuku piawai mengolah berbagai masakan. Hingga kini belum ada masakan yang seenak olahan ibuku. Ketrampilan itu kini terwarisi oleh anak-anak gadisnya, baik kakakku dan adik-adikku pandai memasak.
Ibuku juga terampil menjahit, membuat pakaian. Semua pakaian sekolah anak-anaknya adalah hasil karyanya. Ketrampilan ini juga diwarisi oleh ketujuh saudaraku perempuan. Beliaupun pernah membuatkanku switer hasilnya menyongket.
Pernah ayahku diminta untuk menjabat sebagai kepala dusun oleh warga masyarakat dusun Karang Dinoyo, desa Kepung, kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Namun beliau menolaknya lantaran akan pindah rumah di dusun tetangga, Purwarejo.
Teman ayahkulah yang kemudian menjabatnya. Beliau pensiunan tentara. Kami sekeluarga akrab dengan keluarganya. Anak perempuan tertuanya teman kakak perempuanku. Adiknya teman sekolahku di SD dan SMP.
Aku ingat lelaki itu pernah melintas di depan rumahku, membawa senapan angin, mungkin hendak berburu, setelah di angkat menjadi kasun atau Kamituwa.
"Di mana ayahmu ?" Ia bertanya pada saat aku bermain di halaman.
"Ke ladang pak. Menyiangi jagung."jawabku.
Terakhir lelaki itu masuk penjara. Tersangkut kasus pupuk bimas yang menjadi tanggung jawabnya.