TUMBAL WAYANG
Oleh Wahyudi Nugroho
Pak Samiran baru saja merebahkan tubuhnya di amben bambu di ruang tamunya. Barangkali ia kelelahan, setengah hari telah bekerja keras, membongkar pondasi batu bata bekas rumah tetangganya. Ia kumpulkan batu bata itu, rencananya untuk menutup dinding kamar mandinya dengan bahan  permanen.
Istrinya sudah memperingatkan, agar minta ijin dulu ke pemiliknya. Karena mengambil satu bata saja  tanpa ijin pemiliknya, sudah termasuk pencurian. Suaminya tentu sudah tahu itu, karena Pak Samiran seorang pensiunan polisi.
"Nanti saja kalau semua sudah selesai. Aku akan berkunjung ke rumah barunya di Kepung. Toh batu bata pondasi rumahnya tidak ia butuhkan. Hanya bangunan kayu rumahnya yang ia bawa, untuk dapur di tempat yang baru." Katanya.
"Tak harus bapak bertemu. Bapak bisa pinjam telpon di polsek. Jika Pak Kidjo tidak sedang dinas, minta yang menerimanya menyampaikan pesan." Kata istrinya.
"Ah perkara sepele saja kau ributkan. Batu bata pondasi rumah itu ia tinggalkan, artinya sudah tidak dibutuhkan. Tentu ia tak keberatan aku ambil. Toh, kami sama-sama anggota kepolisian. Dia masih dinas, aku pensiun. Hanya itu bedanya. Dan lagi aku tak mau mengganggu petugas polsek." Jawab Pak Samiran.
Isterinya diam. Meski hatinya tidak sepakat. Ia tindas rasa waswas yang tiba-tiba muncul atas resiko yang mungkin terjadi. Mengingat wanita itu menyaksikan sendiri, Pak Soekidjo dulu pernah memendam dua tokoh wayang di lantai rumahnya sebagai tumbal. Antasena dan Kakrasana.
****
Belum lama Pak Samiran memejamkan kedua matanya saat tidur siang itu, mendadak ia berteriak-teriak histeris. Suaranya mengagetkan seluruh anggota keluarganya. Isterinya yang sedang menyapu di dapur membuang sapunya dan berlari ke ruang tamu. Demikian pula kedua anak lelakinya yang sudah perjaka itu, segera berlari keluar kamar ingin tahu apa yang terjadi.