Seluruh keluarga Ki demang Sentika berkumpul di ruang tengah rumah besar itu, untuk menikmati sarapan pagi bersama Tumenggung Gajah Alit, Mpu Barada dan senopati Wira Manggala Pati. Sekar Sari sibuk membantu para pelayan dapur untuk mempersiapkan seluruh hidangan. Gadis itu sangat senang hatinya bisa bertemu kembali dengan ayahandanya.
Setelah sarapan pagi usai mereka masih berbincang tentang berbagai hal. Sekar Sari kini ikut duduk dalam lingkaran keluarga ki demang dan para tamunya.
"Kapan ayah ingin bertemu dengan Sekar Arum ?" Tanya Sekar Sari.
"Kapan lagi kalau nggak hari ini ? Akupun rindu sekali dengannya. Bertahun-tahun kita tidak bertemu." Jawab Ki Ageng Gajah Alit.
"Jika demikian akan aku antar ayah bersama kakang Handaka. Mungkin Ki demang Sentika juga akan ikut ayah." Kata Sekar Sari. Ki  Ageng Gajah Alit mengangguk-anggukkan kepala.
"Apakah sejak Medang Kamulan runtuh, keluarga Ki Ageng berpecah belah ?" Tanya Mpu Barada.
"Benar Mpu. Saat itu aku mendampingi Prabu Darmawangsa, menghadapi pasukan penyerbu masuk istana. Namun Sang Prabu tak berkenan, beliau memaksaku untuk pergi dari medan pertempuran. Ia perintahkan aku agar mencari Pangeran Erlangga berada. Dan membantunya kelak merebut tahta.." Jawab Ki Ageng Gajah Alit.
"Saat aku pulang ke katumenggungan, ternyata rumah itu sudah terbakar. Aku cari isteri dan anak-anakku namun tak dapat aku temukan. Prajurit pengawalku tak mampu menghadang pasukan penyerbu. Bahkan pemimpinnya sampai terpotong tangannya." Lanjut Ki Ageng Gajah Alit sambil memandang senopati Wira Manggala Pati.
Mata Mpu Barada mengikuti arah pandang Bekas tumenggung Medang Kamulan itu. Baru ia tahu riwayat hubungan Ki Ageng Gajah Alit dengan senopati Wira Manggala Pati. Senopati itu ternyata bekas pemimpin pengawal tumenggung Gajah Alit.
Merasa dijadikan topik perbincangan, senopatipun mengungkapkan isi hatinya.
"Maafkan aku Ki Ageng, saat itu aku tidak mampu melindungi keselamatan keluarga tuan. Â Sebagai pemimpin pengawal katumenggungan telah aku kerahkan semua kekuatan yang ada, untuk membendung banjir bandang serbuan lawan. Namun jumlah mereka terlalu banyak.Â
Jika aku pikirkan kembali, memang suatu kesalahan aku tidak mengutamakan dulu penyelamatan keluarga ki Ageng. Karena perasaan marah yang membuncah di dada, aku pilih menghadang musuh duluan." Kata Wira Manggala Pati bekas kepala pengawal katumenggungan Gajah Alit itu.
"Semua sudah berlalu Wirapati. Apapun yang  terjadi itu sudah kehendak Hyang Widhi, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
"Jika diperbolehkan aku ingin ikut Ki Ageng Gajah Alit menemui putri Ki Ageng. Mereka yang terluka sudah berangsur membaik. Tinggal merawat tubuh mereka yang lemah karena banyaknya darah yang tumpah, dengan ramuan jamu untuk diminum. Semuanya bisa dilakukan cantrik-cantrikku.
Rasanya aku sudah jenuh dengan kegiatan harian yang selalu sama setiap hari. Sekali-sekali pingin jalan-jalan mencari udara segar." Kata Mpu Barada.
"Baiklah Mpu, tentu aku tidak keberatan. Malah aku senang punya teman berbincang lebih banyak." Jawab Ki Ageng Gajah Alit.
"Aku juga ikut ki ageng. Sudah saatnya aku memboyong pusaka-pusaka yang berhasil diambil kembali oleh Sembada dan Sekar Arum. Payung Tunggul Naga, keris Jalak Saleksa dan tombak Naga Kumala. Ketiganya kini disembunyikan Sembada." Kata Senopati Wira Manggala Pati.
"Tombak Naga Kumala ? Itu tombakku. Aku kira tombak itu ikut terbakar saat rumahku dimakan api." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
Demikianlah rencana mereka setelah makan pagi bersama. Ketika matahari telah naik sepenggalah, sebuah rombongan berkuda keluar dari halaman balai kademangan Maja Dhuwur. Di barisan depan nampak Ki Ageng Gajah Alit, Mpu Barada dan senopati Wira Manggala Pati. Barisan kedua Ki demang Sentika, Handaka dan Sekarsari. Diiringi beberapa prajurit dan pengawal. Dengan santai mereka memacu kuda menuju dusun Majalegi.
Ketika mereka telah memasuki halaman rumah Mbok Darmi, nampak empat orang berdiri menyambutnya. Empat orang itu tersenyum ketika tahu siapa saja yang hadir di rumah itu. Demikian pula orang-orang yang baru datang itu, nampak wajah mereka ceria.
Namun ada seorang yang masih menimbulkan tanda tanya, seorang lelaki tegap kekar yang menggunakan ikat kepala sebagai penutup sebagian wajahnya.
Ketika mereka telah turun dari kuda dan mengikat hewan-hewan itu di beberapa pepohonan, segera mereka melangkah menghampiri para penyambutnya.
Beberapa depa dari empat orang penghuni rumah itu, lelaki tegap kekar itu segera melepas tutup wajahnya. Ia tersenyum lebar sambil memandang seorang gadis yang berdiri di depan rumah besar itu.
Gadis itu menutup mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangan. Ia terkejut melihat siapa lelaki tegap kekar yang juga memandang dirinya.
"Ayah !!!!" Pekik Sekar Arum. Ia lantas berlari menghampiri Ki Ageng Gajah Alit. Semua yang menyaksikan tertawa, melihat gadis itu tiba-tiba memeluk kaki ayahnya.
Ke Ageng Gajah Alit segera mengangkat pundak anak bungsunya, ia meminta agar gadis itu berdiri. Sekar Arum mengusap kedua matanya yang basah, cairan bening membasahi pipinya.
"Tak aku sangka ayahanda datang kemari. Saat dipertempuran beberapa hari lalu aku sudah melihat lelaki mirip ayah, dalam deretan prajurit berkuda."
"Memang aku yang memimpin pasukan itu."
"Ketika aku bertanya paman Wirapati, dari mana pasukan berkuda itu, beliau bilang tidak tahu. Namun karena beliau terlihat tidak cemas melihat pasukan berkuda itu, jadi tak aku lanjutkan pertanyaanku."
"Habis perang masih berkobar. Jika aku beri tahu bahwa  pemimpin pasukan berkuda itu adalah ayahmu, aku takut kau tinggalkan medan pertempuran.  Kemudian lari kearah deretan pasukan berkuda itu, sekedar melepas kangen dengan ayahmu." Kata Senopati Wira Manggala Pati.Â
Semua yang mendengar percakapan itu tertawa. Sekar Arum hanya tersenyum sambil membuang mukanya dari tatapan para tamu.Â
Ki Ardi yang sejak tadi berdiri di depan pintu lantas berjalan mendekat diikuti Nyai Rukmini. Ia mengulurkan tangan menyambut kedatangan sahabatnya sesama bekas prajurit Medang Kamulan. Ki Ageng dengan riang menyambutnya.
"Kakang Kidang Gumelar, rahayu kakang. Kakang masih kelihatan awet muda, apa aku yang cepat menua ?" Sapa Ki Ageng Gajah Alit.
"Rahayu adi Gajah Alit. Rahayu semuanya. Bukan aku yang awet muda. Tetapi kaulah yang keburu menua. Â Terlalu sibuk dengan pekerjaan baru, lupa pada pentingnya hiburan. Anak-anakmu masih membutuhkan dirimu Adi. Keduanya belum menikah." Jawab Ki Ardi.
Semua tertawa mendengarkan percakapan mereka berdua, dan ikut senang menyaksikan keakraban di antara keduanya.
"Sebentar lagi tentu akan kembali muda. Kedua putrinya sudah punya calon pendamping sendiri-sendiri. Sekar Sari punya Handaka, putra ki demang Sentika. Sekar Arum sudah lengket terus dengan Sembada, putra ki senopati. Jika segera dinikahkan Ki ageng pasti segera punya cucu." Kata Nyai Rukmini.
"Aah guru. Kenapa membuka rahasia. Aku tidak merasa lengket dengan Kakang Sembada." Sanggah Sekar Arum.
"Iyah. Cuma tidak ingin pisah saja." Timpal Sekar Sari.
Kembali semuanya tertawa. Namun Sekar Arum pura-pura tidak mendengarkan percakapan mereka, dengan manja ia menggandeng tangan ayahnya untuk masuk rumah baru yang besar itu.
Setelah mereka duduk di amben bambu yang sangat lebar yang berada di ruang tengah rumah itu, Sekar Sari, Sekar Arum dan Nyai Rukmini pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan buat mereka. Namun Nyai Rukmini justru pamit kepada kedua gadis itu untuk pergi sebentar.
"Guru mau kemana ? " tanya Sekar Arum.
"Ada urusan sedikit, untuk melengkapi kebahagiaan kalian." Jawab Nyai Rukmini.Â
Kedua gadis di dapur itu saling berpandangan, mereka tak mengerti maksud Nyai Rukmini. Namun guru Sekar Arum itu bergegas keluar dapur dan pergi entah ke mana.Â
Dua gadis putri Ki Ageng Gajah Alit melanjutkan kerja mereka. Empat kelapa muda yang kemarin dipetik Sembada segera dikupasnya. Mereka membuat serbat untuk hidangan tamu siang hari itu. Dengan campuran madu lebah hutan tentu akan nikmat rasanya.
Setelah minuman jadi segera mereka bawa ke ruang tengah. Dengan cekatan dan trampil mereka menyuguhkan minuman itu kepada para tamu yang duduk di amben bambu besar itu.
Namun Mpu Barada agak terkejut ketika melihat putri Ki Ageng Gajah Alit yang bungsu itu. Berulang kali ia menggosok matanya, untuk meyakinkan diri bahwa pandangannya tidak salah. Guru suci itu melihat bayangan kepala seekor naga raksasa berwarna kuning emas mengikuti Sekar Arum kemanapun ia pergi. Kepala naga itu seolah muncul dari raga Sekar Arum.
Segera Mpu Barada menggamit lengan Ki Ageng Gajah Alit yang duduk di sisinya. Â Dengan isyarat beliau minta bekas tumenggung itu mendekatkan telinganya. Â Lantas dengan amat pelan Mpu Barada berbisik.
"Aku menangkap sesuatu yang ganjil pada putri bungsumu. Ki Ageng." Kata Mpu Barada.
"Ganjil bagaimana maksud Mpu ?" Jawab Ki Ageng Gajah Alit.
"Ada sukma seekor naga raksasa yang menyatu dalam raga putrimu."
"Sukma Naga Raksasa ? Benarkah ?" Ki Ageng Gajah Alit terkejut.
"Yah. Naga raksasa berwarna kuning keemasan." Kata Mpu Barada.
"Oh, itu Sukma Naga Kumala yang bersemayam dalam tombak pusakaku."
"Naga itu bisa mempengaruhi watak gadismu. Ia bisa berbuat keji dan kejam seperti seekor naga."
"Pantas. Saat aku melihat Sekar Arum beraksi di medan perang sungguh aku tak percaya. Semula aku bangga, gadis itu mampu melompat-lompat dengan lincahnya dengan menggunakan kepala musuh-musuhnya sebagai tumpuan kaki. Tetapi setiap kali ia menukik dari ketinggian karena ilmu peringan tubuhnya itu, selalu diikuti jeritan menyayat musuhnya. Dengan kejam ia membabatkan pedangnya. Ia tidak pilih-pilih siapa lawan yang dijadikan korbannya. "
"Benarkah ?"
"Benar Mpu. Melihat itu aku sempat bertanya-tanya, dari tetesan darah siapa ia lahir. Aksinya benar-benar membuat hatiku prihatin."
"Di manakah sekarang tombakmu berada ?"
"Disembunyikan oleh gadis itu dan Sembada bersama pusaka Medang Kamulan lainnya yang dulu hilang, Songsong Tunggul Naga dan Keris Jalak Saleksa"
"Aku bisa membantu mengembalikan sukma Naga Kumala itu ke tempatnya semula. Agar kembali bersemayam pada bilah tombakmu."
"Baik Mpu. Aku ucapkan terima kasih. Mata batinku benar-benar tak mampu melihat sukma naga penghuni tombakku yang kini bersemayam dalam raga putriku."
Ki Ageng Gajah Alit seolah tak lagi sabar menunggu senopati mengutarakan maksud kedatangannya, hendak mengambil kembali pusaka-pusaka kerajaan Medang Kamulan yang hilang. Ia segera bertanya kepada Sembada, putra senopati itu yang mendapat tugas dari Gusti Narotama mengambil benda-benda keramat yang konon telah dikuasai tokoh hitam di hutan Lodhaya.
"Sembada, benarkah warta ayahmu bahwa tombakku Naga Kumala berhasil kau selamatkan ?" Tanyanya.
"Benar Ki Ageng. Tombak itu telah kami bawa, bersama dua pusaka keramat lainnya, Songsong Tunggul Naga dan Keris Jalak Saleksa. Namun kini kami sembunyikan di suatu tempat, demi keselamatan benda-benda itu.Â
Jika perang telah usai, dan keamanan kademangan telah pulih kembali, kami menunggu perintah untuk mengambil kembali benda-benda tersebut.
Tentang tombak Naga Kumala sebenarnya Sekar Arumlah yang lebih dulu mengenali. Aku belum pernah melihat pusaka Ki Ageng itu sebelumnya. Sejak melihat tombak itu Sekar Arum sudah tahu bahwa tombak itu milik Ki Ageng. Katanya, sejak kecil ia sering melihat tombak itu di kamar peraduan Ki Ageng."
"Iyah, tombak itu aku letakkan pada plangkan dekat tempat tidurku. Tak aku sangka Sekar Arum punya perhatian padanya, sehingga masih ingat bahwa tombak itu pusakaku. Padahal kala itu ia masih kecil. Â Semula aku mengira benda itu ikut terbakar oleh api yang berkobar membakar rumahku."
"Di mana benda-benda keramat itu sekarang kalian sembunyikan, Sembada ?" Tanya senopati.
"Semuanya aku sembunyikan di ceruk goa yang berada di dekat dusun ini ayah." Jawab Sembada.
"Goa Tempuran ?" Ki Demang Sentika bertanya menebak.
"Benar Ki Demang." Jawab Sembada.
Sekar Arum yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan setelah menyuguhkan minuman para tamunya tiba-tiba nimbrung bicara.
"Ayah aku minta maaf, tanpa minta ijin kepada ayah aku gunakan tombak ayah untuk melawan ular raksasa yang kami temui dalam perjalanan pulang."
"Ular raksasa ? Benarkah ? Di mana kalian bertemu ular itu ? Jangan-jangan ular sebesar lengan sudah kau anggap seekor naga." Kata ayahnya sedikit bergurau.
Sekar Arum tiba-tiba berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Bergegas ia masuk kamarnya. Semua orang agak heran, apakah gadis itu merajuk gara-gara gurauan ayahnya ? Namun semua terkejut ketika gadis itu membawa kulit seekor ular di tangannya.
"Besar sekali ular itu. Di mana kau temukan ular sebesar ini Arum" tanya Sekar Sari.
"Di sebuah sendang. Tapi aku lupa nama sendang itu."
"Sendang Sumber Sanga, dekat dusun Trisula."saut Sembada.
"Gara-gara ular ini bilah tombak ayah terlumuri darah. Sudah aku coba membersihkannya namun gagal mengembalikan keadaan tombak itu seperti semula. Kini bilahnya berwarna hitam." Terang Sekar Arum.
"Aku sanggup mengembalikannya seperti keadaan semula. Asal kamu bisa mencarikan syaratnya." Tiba-tiba Mpu Barada nimbrung bicara.
"Benarkah Mpu ? Apa syarat yang harus aku penuhi ?." Tanya Sekar Arum gembira.
"Buatkan sesajen kecil. Sekar telon dan Kinangan. Jangan lupa bawa dupa dan alat pemantik api." Jawab Mpu Barada.
"Kalau itu saratnya, semua sudah ada Mpu. Daun sirih, pinang, enjet selalu tersedia di rumah ini. Bunga mawar, kanthil dan kenanga juga tumbuh di halaman ini. Kakang Sembada telah menanamnya."
"Jika demikian segera persiapkan Arum. Sore ini kita bersama akan pergi ke goa Tempuran." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
"Siap, ayah." Jawab Sekar Arum.
Demikianlah ketika matahari sudah agak jauh bergeser ke barat, dan sinarnya tak lagi membakar kulit, sebuah rombongan berkuda keluar dari halaman rumah Mbok Darmi. Senopati tidak membawa pengawal, empat prajurit Bala Putra Raja itu diminta tinggal di rumah Mbok Darmi.
Sembada dan Sekar Arum menghela kuda mereka di barisan depan. Di belakang mereka Mpu Barada dan Ki Ageng Gajah Alit. Kemudian senopati dan ki demang Sentika. Pada barisan belakang Handaka dan Sekar Sari. Ki Ardi tak berkenan ikut rombongan itu, karena ingin melanjutkan kerjanya membersihkan kebun belakang rumah janda tua di dusun Majalegi milik ibu angkat Sembada.
Belum sampai sepemakan sirih rombongan itu telah sampai di pinggir Kali Tempuran. Setelah mengikat kuda mereka, berurutan mereka menyebrang arus sungai yang agak deras itu, menuju sebuah goa yang lubang pintunya di dinding sungai.
Segera Sembada menyalakan obor untuk menerangi jalan mereka di goa itu. Sedikit demi sedikit langkah mereka kian dekat dengan ceruk di dinding goa, tempat benda-benda keramat milik kerajaan Medang Kamulan dulu disembunyikan Sembada dan Sekar Arum.
Temaram cahaya obor di tangan Sembada menerangi ceruk goa itu. Mata mereka menangkap wujud Songsong Tunggul Naga berwarna kuning keemasan bersandar di dinding goa. Di sampingnya sebuah tombak pendek berselongsong coklat mengkilap. Sedangkan Keris Jalak Saleksa dengan pendok emas berhias beberapa batu mulia menggeletak di atas tanah di bawah dua pusaka lainnya.
Senopati melangkah maju bersama ki Ageng Gajah Alit mendekati benda-benda keramat itu. Setelah melakukan sembah grana mereka segera mengambil Payung keramat dan tombak. Ki demang menyusul mengambil Keris Jalak Saleksa.
"Kita mencari tempat yang agak longgar untuk upacara kecil membersihkan tombak Naga Kumala milik Ki Ageng Gajah Alit." Ajak Mpu Barada.
Sembada yang paling mengenal tempat itu segera mengajak mereka ke ruangan di mana ia sering berlatih. Tempat itu nampak bersih dan longgar, kelihatan bila ada yang sering merawatnya.
"Tempat ini terawat. Udaranya juga segar dan sinar matahari bisa masuk lewat celah di atap goa." Kata Sekar Sari.
"Aku dan kakang Sembada sering berlatih di sini." Jawab Sekar Arum.
"Ohh pantesan"
Mereka kemudian duduk melingkar. Sekar Arum menyerahkan sesaji berupa sekar telon  atau bunga triwarna dan kinangan kepada Mpu Barada. Sedangkan Sembada menyulut ujung dupa dengan api obornya.
"Buatkan aku perapian."perintah Mpu Barada. Sembada bergegas mengambil kayu bakar yang sudah lama ia simpan di pojok ruang itu. Ia membuat perapian ditempat yang sangat dekat dengan Mpu Barada duduk.
Mpu Barada menerima tombak Naga Kumala dari tangan Ki Ageng Gajah Alit. Kemudian ia membuka selongsong yang mewadahi bilah tombak itu, beliau mengangguk-anggukkan kepala melihat bilah berwarna hitam karena darah ular raksasa yang dibunuh Sekar Arum.
"Pantas, sukma Naga Kumala enggan kembali ke tempatnya. Karena bilah ini ternodai darah ular yang sukmanya ia mangsa." Kata Mpu Barada. Semua yang mendengar ucapan Mpu Barada sama sekali tak memahami maksudnya.
"Baiklah, kita panjatkan doa bersama. Silahkan kalian duduk sempurna sambil melakukan sembah mustaka, aku ingin memohon ijin Hyang Widi untuk menyucikan kembali tombak ini. Dengan meminta pula bantuan Maha Dewa Pratala penjaga bumi, Hyang Ananta Boga raja diraja segala makluk melata di jagat ini."
Demikianlah, ketika Mpu Barada melantunkan doa, semua yang hadir di ruangan itu duduk dengan kedua lutut mereka serta menguncupkan tangan di atas kepala. Â Mereka melakukan sembah mustaka bersama untuk memohon keselamatan dari Hyang Jagat Wisesa.
Cukup lama waktu berjalan maharesi guru suci Pangeran Erlangga itu melantunkan doa dan mantra. Â Ketika berakhir semua yang duduk di depannya kini bersila. Menanti dan melihat guru suci itu bekerja.
Guru suci itu mengambil bumbung kecil dari saku bajunya. Kemudian melumuri seluruh permukaan bilah tombak Naga Kumala dengan cairan yang berada di bumbung itu. Lantas beliau menggosok bilah dengan daun sirih dan pinang, kemudian melumurinya dengan enjet atau adonan kapur. Setelah memanggangnya beberapa saat di atas lidah api pada perapian di dekatnya, ia menghujamkan bilah itu ke dalam tanah beberapa kali. Demikianlah kerja semacam itu dilakukan berulang-ulang.
Setelah lima kali ulangan ia minta agar sembada mencarikan air untuk membilas bilah itu. Setelah dikeringkan di atas nyala api, nampak bilah tombak itu kembali seperti wujudnya semula. Putih kebiruan dengan guratan pamor yang nampak menyala.
"Nah sekarang bilah tombak ini sudah bersih. Aku minta ananda Sekar Arum duduk bersila lima depa di depanku." Kata Mpu Barada.
"Kenapa aku harus duduk di depan Empu ?" Tanya Sekar Arum.
"Beliau ingin mengembalikan sukma Naga Kumala ke tempat asalnya, dalam bilah tombak itu. Tidak menempati ragamu yang bisa mengubah kepribadianmu Sekar Arum." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
Mendengar hal itu segera Sembada berdiri dan menuntun Sekar Arum segera melangkah memenuhi permintaan Mpu Barada. Meski gadis itu nampak menurut dan kini duduk bersila di depan Mpu Barada, tetapi tiba-tiba matanya menyala.
Mpu Barada waspada, nampaknya sukma Naga Kumala tidak mau keluar dari raga Sekar Arum. Guru suci itu segera membaca mantra dan berulang kali menghisap nafas panjang.
Setiap hisapan nafas sang maharsi seperti mengandung kekuatan dahsyat menyedot sukma itu, agar sukma naga itu mau keluar. Namun secara spontan Sekar Arum juga berperilaku serupa, menghisap udara  lewat hidungnya dan meregangkan otot-ototnya untuk mehahan agar getaran dalam tubuhnya tidak bergerak dari telapak kakinya naik ke atas kepala.
"Arum jangan kau membantu sukma naga itu untuk melawan. Tetaplah dalam kesadaran, bahwa sukma itu  tidak memberi keuntungan padamu, justru watak asli naga itu bisa merusak watakmu, menjadi gadis pendekar  yang keji dan kejam. "
Nalar Sekar Arum bekerja, ia mengerti nasehat empu suci itu. Kecenderungannya untuk melawan reda, ia tidak mau menghirup nafas dan meregangkan seluruh otot-ototnya. Â Dengan pasrah membiarkan sebuah getaran yang merambat dari ujung jari kakinya menuju ke atas.
Tiba-tiba semua mata menangkap sebuah bayangan seekor naga raksasa berwarna kuning  keemasan keluar dari raga Sekar Arum. Naga itu kemudian terbang melayang-layang mengitari mereka. Meski rasa takut menyelimuti setiap hati,  namun mereka diam dan pasrah sumarah kepada Hyang Widi.
"Kenapa kau mengganggu kenyamananku Mpu ?" Terdengar suara masuk ke telinga batin Mpu Barada.
"Aku tidak mengganggumu, tapi memintamu untuk kembali ke tempatmu semula, ke dalam  bilah tombak yang telah aku bersihkan dari lumuran darah yang mengotorinya."
"Tidak. Aku tidak mau. Aku  lebih senang bersemayam dalam raga gadis itu."  Jawab sukma Naga Kumala.
"Jika demikian aku akan memohon bantuan Hyang Anantaboga, raja diraja semua makluk melata. Dewa Pratala itu tentu berkenan membantuku."
"Aku tak percaya kamu bisa menghadirkannya. Beliaupun belum tentu mau hadir memenuhi permohonanmu."
"Baiklah. Akan aku bacakan mantra, kemudian menepuk tanah tiga kali." Mpu Barada mengangkat tangannya. Namun keburu Sukma Naga Kumala menyerah.
"Baiklah Mpu. Aku mau kembali ke tempatku. Namun pesanku jangan digunakan lagi  tombak itu untuk membunuh makhluk sebangsaku. Hewan-hewan melata. Jika itu terjadi, aku akan meminta tumbal darah manusia, seperti yang baru terjadi. Lewat tangan gadis  itu telah kuhisap darah manusia untuk tumbal."
"Baiklah. Aku sepakati perjanjian itu. Masuklah."
Sukma Naga Kumala tiba-tiba menukik dan masuk ke dalam bilah sebuah tombak di depan Mpu Barada. Semua orang di goa itu menghirup nafas lega. Sesuatu yang terasa menegangkan dan menumbuhkan rasa takut yang sangat, tiba-tiba hilang dari hadapan mereka.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H