Soekarno dan peci seolah tak pernah berpisah. Benda itu selalu bertenger di kepalanya di manapun ia berada, terutama di tempat tempat umum.
Saat muda benda sederhana itu menambah ketampanannya. Saat tua menambah kewibawaannya.
Benda ini sebenarnya sudah umum dipakai orang. Bangsa melayu sudah memakainya lebih dahulu, terutama bagi kaum muslimnya. Cerita tentang asal usulnya beraneka ragam.
Kaum buruh saat itu juga kebanyakan memakai peci atau kopyah hitam ini. Jadi peci identik dengan melayu dan buruh / rakyat kecil.
Ia menjadi populer karena Soekarno. Terutama di kalangan kaum pergerakan. Juni 1921 ada rapat besar Jong Java di Surabaya. Soekarno hadir. Saat itu baru berusia 20 tahun. Umur ideal bagi orang yang bercita-cita, semangatnya tengah berkobar.
Soekarno tidak suka dengan sikap kawan-kawannya yang sok kebarat-baratan. Memakai pakaian Eropa tanpa tutup kepala. Meniru gaya sinyo-sinyo Belanda.
Namun ia belum berani masuk gedung dengan berpeci. Perutnya mulas. Ia menyempatkan makan sate dulu. Rupanya ia nervous. Dalam batinnya sendiri terjadi perang.Â
Namun akhirnya ia temukan kemantapan jiwa, harus masuk dengan berpeci. Biarlah ia disoraki oleh teman-temannya yang sudah kebelanda-kebelandaan itu. Seorang pemimpin mesti berani menerjang badai.