Namun realitas kehidupan penduduk tidak sama dengan apa yang dilihat wali itu. Diam-diam mereka masih menjalankan ajaran agamanya. Puja syukur tidak dijalankan di tempat terbuka, diikuti seluruh warga. Namun di tempat tertutup, dihadiri satu orang perwakilan keluarga, di tengah malam. Mereka berkumpul mengelilingi benda berbentuk kerukut, terbuat dari nasi. Di dekatnya terhampar aneka lauk, sayur dan jajan.
Mereka ternyata menemukan cara baru untuk melestarikan keyakinan. Kerucut itu lambang meru, gunung keramat yang puncaknya bersemayam para dewa dan arwah leluhur.Â
Benda itu disebut tumpeng. Maknanya tujuan lempeng, tujuan lurus atau berjalan terus. Ia juga disebut buceng, budi kenceng, lahir dari cipta rasa dan karsa yang keras.
Hamparan berbagai makanan mengelilingi tumpeng simbol permohonan, harapan yang diminta. Yakni kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, keadilan dan kedamaian bagi seluruh warga desa.
Selesai puja syukur, seluruh makanan dibagi, tak bersisa, untuk dibawa pulang dan disantap bersama keluarga. Agar berkah tetap menyebar ke seluruh desa. Telik sandi Demakpun tak akan mengetahuinya.
Dengan jalan demikian mereka selamat. Baik dari intaian telik sandi, juga dari kutukan dewa dan leluhur.Â
Kelak acara puja itu disebut selamatan. Dengan jalan demikian warga desa menemukan kedamaian lagi.
Replika gunung keramat yang jadi sentrum acara selamatan ini  amat berkesan bagi wali terhormat itu. Kelak kemudian hari benda itu ia ekspresikan kembali secara kreatif dalam bentuk gambar gunungan. Benda seni ini ia gunakan untuk membuka dan menutup acara pagelaran wayang. Juga jadi penanda pergantian adegan.
Dari sana wali itu menemukan secuil pengetahuan tentang pandangan kosmologis masyarakat yang dicahayai ajaran lama, bahwa puncak gunung adalah kiblat saat lakukan puja. Tak jauh berbeda dengan ajaran agamanya, menjadikan ka'bah sebagai kiblat saat sholat.
Dengan karya seninya wali itu mendekati hati penduduk. Wargapun suka, eksistensi dan keyakinannya diakui. Sekaligus memberi legitimasi kultural simbolik. Bahwa ia membenarkan cara baru gunakan tumpeng sebagai sentrum dalam puja.
Puja ditempat terbuka tidak mungkin lagi. Pura berantakan di tangan bala tentara Demak. Situasi dan kondisi belum aman dan nyaman jalankan agamanya.
Dan itu berlangsung turun temurun hingga sekarang. Hingga anak cucunya kehilangan acuan terhadap ajaran lama. Sementara ajaran baru masih belum bisa diterima.
Banyaknya komunitas penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa, bisa jadi adalah keturunan dari warga yang kehilangan acuan ajaran lama itu.
****
Ada dua candrasengkala sebagai penanda waktu peristiwa itu. Pertama "Sir Ilang Kertaning Bumi" dan kedua "Geni Dadi Sucining Jagat"
Nir ilang kertaning bumi, hilang musnah keindahan bumi, adalah penanda waktu runtuhnya Majapahit. Tahun 1400 saka, atau 1478 masehi.
Pilihan katanya menunjukkan suasana kebatinan pembuatnya. Bahwa zaman sebelumnya indah, dan sekarang rusak hancur berantakan.
Geni dadi sucining jagat, api jadi penyuci jagat. Ini penanda waktu gunungan api pertama kali dibuat Sunan Kalijaga. Jika diubah jadi angka menunjuk 1443 saka, atau tahun 1501 masehi.
Api itu lebih bermakna perang. Jadi dengan perang jagat dibersihkan. Bersih dari ajaran lama, pura dan patung serta candi.
1501 adalah tahun pertama kekuasaan Trenggono. Sebagaimana umumnya tingkah laku penguasa baru, tahun ini adalah berkobarnya semangat mewujudkan impian dan angan-angan.
Hanya dua kalimat itu yang jadi saksi peristiwa dimasa lalu. Tak ada bukti lain ditemukan. Reruntuhan candi juga membisu, tak bisa bicara.
Hanya cerita tutur yang masih lestari. Peristiwa tragis itu masih terus abadi, dengan bisik di ruang temaram dan sepi.
Di tulis ulang di Bendo Pare
13 Maret 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H