Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Tumpeng-Gunungan (4)

13 Maret 2024   10:09 Diperbarui: 13 Maret 2024   17:12 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran Fatahillah, iparnya, memberi inspirasi baru, menggabung dua jalan sekaligus. Dalam forum terbuka, saat khotbah di masjid, ia menyepakati pendapat umum. Ia akan menggempur Malaka dan mengusir tentara Portugis. Tapi diam-diam ia punya rencana sendiri.

Maka dibangun kembali persekutuan sebagaimana dilakukan kakaknya, Unus. Untuk mengelabuhi pandangan rakyat tentang rahasia yang disimpannya.

Ketika sekutu-sekutunya telah berangkat ke Malaka, hendak menggempur musuh di darat lewat semenanjung itu, Fatahilah berubah arah. Ipar Trenggono itu mengarahkan pasukannya menyerang Bandar Banten. Kemudian menguasai Sunda Kelapa. Keduanya bandar- bandar besar milik Kerajaan Pajajaran.

Sementara Trenggono dengan pasukan berkudanya menyerbu kadipaten-kadipaten terdekat. Pati, Rembang, Tuban, Bojonegara luluh lantak diterjang pasukan berkuda. Demikian juga kadipaten lain wilayah selatan, Madiun, Kediri.

Trenggono ingkar janji, ucapannya tak sama dengan apa yang diperbuat. Sebuah sikap yang justru bukan dari ajaran agamanya, Islam.

Seperti prajurit berkuda Mongolia yang meruntuhkan peradaban Asia Tengah, dan sebagian Eropa, pasukan Demak demikian pula. Ia telah menghancur leburkan peradaban yang berpuluh tahun hidup dalam kedamaian.

Mereka menyerang, menghancurkan, merebut dan menjarah. Apa saja, tidak hanya harta benda, juga segala sesuatu yang dianggap berharga milik penduduk. Termasuk isteri dan anak-anak gadisnya.

Pusat-pusat persembahyangan hindu dirobohkan. Patung-patung dihancurkan, atau ditenggelamkan ke sungai-sungai. Kegiatan-kegiatan keagamaan kaum yang dianggap kafir itu dilarang.

Kejadian-kejadian itu melahirkan kebencian di kalangan para musafir. Mereka telah bersusah payah menyebar Islam dengan  jalan damai. Namun Trenggono tak segan menindas pengritiknya. Para musafir diburu, ditangkap dan dibunuh. Mereka dianggap pengkhianat, tidak tunduk kepada raja.

Proses Islamisasi sebagaimana petunjuk asli ajarannya macet total. Protes Majelis Kerajaan tak digubris. Maka majelis inipun akhirnya bubar.

Salah satu tokoh majelis ini, Sunan Kalijaga, justru telah lebih dahulu undur diri. Ia keluar lingkungan istana, mengembara dari satu desa ke desa lainnya. Sembari mendalami seni budaya rakyat untuk melengkapi kekurangannya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Dalam pengembaraannya wali itu menghadapi sikap resistensi yang kuat dari rakyat terhadap agama Islam. Agama baru itu tidak memberi berkah, tapi mendatangkan musibah. Membuat hati rakyat khawatir dan takut, hidup mereka akan hancur pula. 

Kembali jalankan ajaran lama tak ada keberanian di hati rakyat. Mereka takut telik sandi Demak tahu dan lapor kepada atasannya. Maka tradisi puja syukur tahunan di pura, pesta bersama nikmati hasil kerja, dan festival seni budaya di desa-desa Jawa punah. 

Pedalaman Jawa yang dulu semarak dalam acara tahunan, kini sunyi senyap tak ada denyut keindahan lagi. (Bersambung)

Dok UNU indonesia
Dok UNU indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun