Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Tumpeng-Gunungan (3)

12 Maret 2024   21:01 Diperbarui: 13 Maret 2024   17:10 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bandar Malaka dikuasainya. Sejak itu kapal-kapal pedagang jarang berlabuh di bandar-bandar pulau Jawa. Hasil bumi pedalaman pulau Jawa tak dapat dijual ke pasaran dunia. Kesejahteraan rakyat merosot. Kemiskinan merajalela.

Dengan terburu-buru raja baru perkuat armada laut. Galangan kapal dibangun, diperintahkan pembuatan kapal sebanyak-banyaknya. Tehnolog senjata diundang, untuk membuat senjata petir separti perlengkapan kapal zaman Majapahit. Kebanyakan teknolog ini dari Blambangan, masih beragama Hindu.

Utusan-utusan disebar ke seluruh penjuru Nusantara, untuk membangun persekutuan raja-raja pesisir. Aceh, Jambi, Riau, Makasar.

Tujuannya satu. Membangun persekutuan militer untuk mengusir Portugis dari Nusantara.

Namun upaya ini kandas.

Persekutuan ini tidak membuahkan hasil. Mereka kalah bertempur di samudra. Meski jumlah kapal mereka lebih banyak, namun kapal Portugis lebih gesit. Dilengkapi senjata yang dapat membongkar dinding kapal lawan, dan menjungkalkannya ke dasar lautan.

Bahkan peluru-pelurunya ada yang menyasar gudang mesiu, sehingga kapal musuh meledak dan hancur berkeping-keping. Senjata itu sekarang dikenal sebagai meriam.

Unus, senopati laksamana tentara gabungan itu, terluka parah. Tubuhnya terkena kepingan besi senjata miliknya sendiri yang meledak tersasar peluru lawan. Pasukan gabungan mundur karena perintahnya, untuk meninggalkan gelanggang.

Meski kalah Unus tetap dielu-elukan rakyat. Karena ia berani melawan musuh bersama, hantu pemyebar maut di laut, bersenjata petir yang mematikan. Karena luka parah Unus meninggal. Demakpun berkabung ditinggal raja yang terhormat dan dibanggakan.

Raja baru marak di negeri Islam pertama itu. Trenggono adiknya menggantikan kakaknya.

Namun meski mereka saudara kandung, pikiran mereka berbeda. Demikian pula gagasan dan cita-citanya.  Trenggono tidak melanjutkan perjuangan kakaknya yang terbukti kandas. Jalan besar itu menelan banyak biaya. Andai berhasil bukan Demak sendiri yang menikmatinya.

Maka dia rintis jalan baru, jalan kecil. Jalan yang lebih mudah dijangkau, menyatukan Jawa dengan jalan perang. Jika berhasil Jawa akan tergenggam. Itulah modalnya kelak untuk menempuh jalan besar.

Maka pasukan darat yang diperbesar. Jumlah pasukan berkuda ditambah. Kuda-kuda baru dari Korea didatangkan. Rakyat mengenalnya sebagai 'jaran kore'. Semangat pasukan ditempa untuk jadi andalan tentara Demak yang perkasa.

Dengan langkahnya ini majelis kerajaan tidak setuju. Langkah Trenggono mengkawatirkan, Jawa akan luluh lantak karena perang saudara lagi. Jawa akan lemah, dan Portugis akan jadi raja diraja di lautan. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun