Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Lahir Tumpeng-Gunungan (1)

11 Maret 2024   18:08 Diperbarui: 13 Maret 2024   17:08 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segala sesuatu ada awalnya.

Demikian juga tumpeng dan gunungan. Karya budaya leluhur ini lahir bukan tanpa sebab. Namun hasil sebuah pergulatan hidup. Merupakan sintesa dari pergumulan kekuatan lama dengan kekuatan baru di ranah keyakinan dan kebudayaan.  Kemudian berkembang di ranah sosial dan politik.

Pasca ditemukannya situs Tandhawangsa, di desa Suwaluh, Kediri, beberapa cerita tersebar lewat tutur, dari orang-orang tua tentang tumpeng, gunungan dan reruntuhan candi. Semuanya kurekam dalam ingatan.

Serpihan-serpihan itu semula tanpa makna. Tidak berkait dan tersambung.  Setelah kupilih dan kupilah, kurajut dan kuanyam, kubumbui ramuan yang kupetik dari catatan sejarah, jadilah cerita sederhana ini.

Tidak indah memang. Jika ditimbang dari standar karya sastra yang bermutu. Namun cukuplah kiranya jika punya sejimpit manfaat. Setidaknya untuk merawat ingatan jangan sampai lupa.

Bahwa setiap bentuk kekerasan, apalagi atas nama keyakinan, lebih -lebih hanya demi segenggam kekuasaan, hanya akan menyengsarakan rakyat. Membuat luka batin yang sulit disembuhkan hingga berabad-abad.

Demikianlah hasil rajutan dan anyaman cerita orang-orang tua itu.

**********

Dulu ketika raja-raja besar (Kediri, Singosari, Majapahit) masih memeluk Hindu, kehidupan pedesaan masih komunal, pembagiaan kerja masih rendah, pengelolan tanah masih sederhana, saban tahun pasca panen  masyarakat rutin selenggarakan puja syukur bersama. Selesai ritual selenggarakan pesta dan festival berbagai seni yang dikuasainya.

Setiap desa memiliki pura, tempat selenggarakan puja syukur bersama. Setiap pura menghadap gunung yang  keramat. Tempat bersemayam para dewa dan arwah leluhur.  Di Jawa Timur gunung itu adalah Semeru, Meru, Mahameru.

Setiap lakukan puja diikuti seluruh warga desa. Tua muda, laki perempuan.  Rasa syukur mereka panjatkan dalam puja, karena keberlimpahan panen yang dapat menyambung hidup mereka sedesa.  Setelah puja selesai mereka berpesta. Makan nasi buah kerja mereka bersama, berlauk daging hasil buruan atau ternaknya.

Esoknya festival seni di selenggarakan. Bakat dan ketrampilan seni dipamerkan dan dilombakan. Wanitanya menari dan menyanyi, prianya adu ketangkasan berkelahi. Pemenangnya disiapkan ikut lomba di praja yang lebih tinggi, untuk berusaha rebut juara. Sisanya yang telah berumur dimasukkan barisan pagar desa. (Bersambung)

 

Bendo-Pare, 11 Maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun