Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bung Karno, Pahlawanku

10 Maret 2024   09:00 Diperbarui: 22 Maret 2024   13:05 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam penggal sejarah Indonesia, pernah muncul tokoh besar. Ia mencintai bangsa dan tanah airnya.  Rakyat juga cinta dan mengaguminya.  

Tapi banyak pula yang membenci. Memfitnahnya dengan keji. Berdaya upaya menjatuhkannya dari kursi kekuasaan. Bahkan berniat menghilangkan nyawanya.

Tuhan karuniakan banyak kelebihan. Wajahnya tampan, badan tegap tinggi semampai. Dalam kepalanya sarat sejuta ide. Pikirannya cakap menghadirkan gagasan.

Pidato-pidatonya menggelora, menggetarkan hati setiap orang yang mendengarkan.  Kata-katanya berapi-api. Mampu membakar dan mengobarkan semangat.

Aura pribadinya memiliki daya hisap magnetik yang dahsyat. Dapat mengumpulkan semua orang dari segala usia. Laki perempuan, dari seluruh penjuru persada.  Untuk duduk tertip dan manggut- manggut mendengarkan wejangannya.

Lelaki yang suka dipanggil 'bung' ini tak pernah mengkampanyekan diri keturunan raja. Meski ayahnya bergelar raden, masuk golongan ningrat. Berprofesi sebagai guru terhormat. Ia memilih mengidentifikasikan diri sebagai rakyat.

Ia emoh dengan feodalisme. Ia menolak norma-norma yang merendahkan harkat dan martabat manusia.  Hatinya sakit melihat rakyat ngesot merunduk-runduk takut kepada siapapun yang sebenarnya masih sesama.

Harapannya rakyat mampu berdiri tegak sebagaimana kodratnya manusia yang sempurna.  Dada membusung, tangan mengepal, mata menyala menatap dunia.

Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Itulah prinsip hidupnya.

Karena lahir menjelang matahari terbit, ia menyebut dirinya putra sang fajar. Tentu ini kias atas kesadaran peran dirinya yang besar bagi bangsanya, yang tengah  tertutup kabut tebal kegelapan.

Seperti matahari sebagai pencerah, sumber energi bagi seluruh kehidupan, api semangat pidato pidatonya menerangi, menuntun dan memberi semangat rakyat menggerakkan roda perjuangan. Setelah berhasil rakyat memberinya gelar proklamator. Negeri tercinta terlepas dari belenggu penjajahan Jepang dan Belanda.

Konon, kata orang, pada masa mudanya ia pemuja kemerdekaan berpikir.  Sangat gandrung dengan kebebasan berpendapat. Sadar betul terhadap hakekat hidup yang dialektis. Tahu betul bahwa negara kebangsaan yang hendak didirikan bukanlah sesuatu yang diam, statis, adem ayem tenterem.

"Tenang, tenaaaanng. Kadya banyu wayu sewindu lawase. Adem ayem tentrem. Tenanng, tennaaannngg."katanya dalam sebuah pidato.

Tetapi negara kebangsaan itu dinamis, bergolak. "Kadya kawah candradimuka kang kinebur". Selalu bergolak.  Akibat benturan perjuangan berbagai paham dan pendapat. Tarik ulur berbagai ragam pikiran banyak golongan.

Dari pergolakan perjuangan, hasil proses gerak simultan yang bernuansa  romantik dinamik dan dialektik inilah lahir buah pemikirannya yang brilian.  Sebagai jawaban pertanyaan Radjiman Wediadiningrat, ketua BPUPKI, tentang apa yang dipakai sebagai landasan negara yang didirikan bersama itu.

Ia menamakan hasil rumusan pemikiran itu "dasar", "philisopische grondslag", "weltanschaung". Radjiman menyebutnya "beginsel", "rechtsideologie". Sesuatu yang harus dibulatkan dahulu dalam pikiran, sebelum indonesia datang.

Rumusan yang brilian yang ia cetuskan, hasil penggalian saripati nilai nilai kehidupan bangsa itu kini disebut "Pancasila".

Di kala mudanya ia juga berjiwa demokratis. Bukti bahwa ia berjiwa demokratis, terdapat pada sitiran pidato pidatonya.

"Allah subhanahu wa ta'allah memberi pikiran kepada kita, dalam kehidupan sehari hari kita harus saling bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu adalah beras yang sebaik baiknya ".

Dalam pidatonya yang lain ia juga pernah berkata.

"Kamu punya apa ? Punya bunga kamboja. Persembahkan bunga kamboja kepada ibu pertiwi.  Punya apa ? Bunga mawar. Persembahkan bunga mawar kepada ibu pertiwi. Melati ? Persembahan melati kepada ibu pertiwi."

Dus, ia membuka pintu bagi semua untuk berdarma bakti. Darma itu bisa pendapat, pikiran dan gagasan.   Dari sitiran dua pidato itu terrefleksi jiwanya yang demokratis. Jiwa merdeka berfikir dan berpendapat.

Namun kodrat manusia adalah makluk yang tidak sempurna. Kala senja usia di akhir kekuasaannya  ia banyak dicela.  Omongannya di masa muda berbeda dengan ucapannya di hari tua.  Banyak rakyat yang mencibir.

"Isuk dhele, sore tempe. Mencla mencle"

Dan lagi, seringnya berganti istri, semakin banyak yang mencaci maki. Pendiriannya yang kokoh di masa muda, di hari tuanya rapuh dan doyong. Bahkan kemudian roboh. Tergerus arus budaya politik yang sarat nilai nilai budaya feodalisme.

Mula mula kata bung sebagai panggilan jarang digunakan. Kemudian tak dipakai lagi.   Simbol semangat politik kesederajatan "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" akhirnya dijauhi. 

Ia bukan lagi panggilan yang mewahyukan semangat persaudaraan, solidaritas dan kebangsaan.  Memakai lagi terasa 'eweh pekewuh'. Tidak sopan, kurang terhormat. Tak bisa bersenyawa dengan norma norma keluhuran  bangsa beradab.

Maka berkembang biaklah istilah yang halus, mriyayeni dan mikul dhuwur.  Paduka Yang Mulia.  Dalam pertemuan resmi maupun tak resmi panggilan baru ini selalu mengikuti namanya.

Anehnya, ia tak berang.  Meski sebutan baru ini bertentangan dengan jiwa perjuangannya yang anti feodalisme.

Tahun 1964, ketika Sayuti Melik menurunkan tulisan serial agar rakyat memahami ajarannya, 21 koran yang memuatnya dibredel. Tafsir Sayuti Melik dianggap salah. Pembantu yang setia itu di cap sebagai pengkhianat ajarannya.

Dari sini terlihat dia tak lagi berpijak pada semangat yang menjiwai perjuangannya sendiri.

"Negara kebangsaan itu dinamis, bergolak, akibat benturan berbagai paham dan pendapat ......"

Konon, di kalangan masyarakat mistis Jawa, akhir hayat tokoh ini telah dinubuatkan.  Beberapa ratus tahun sebelumnya, seorang raja dari Kediri, Sri Aji Jayabaya, sudah meramal :

"Menungsa Jawa mengku ratu. Titikane nganggo kethu bengi, pengapesane wanodya ngiwi-iwi. Jejuluke sarwa agung edi."

Akan tetapi.

"Apes mungsuh syetan gundul, thuyul ambregudul, bocah cilik pating pendelik, ngubengi omah sorak-sorak kaya nggusah pitik."

Dan ia kemudian 

"Atine dadi cilik. Ngundamana bala sabrang sing doyan asu."

Akhirnya dia

"Mati tan kena mimis. Nanging cures ludhes merga lemes. Kentekan bayu priyangga. Sinendhal sinambi miring "

Jasadnya tidak dimakamkan sesuai dengan amanatnya, di bawah pohon yang rindang. Namun dikebumikan di tempat yang sangat jauh dari pusat hingar bingar politik negeri ini.

Jelas itu bukan hasil musyawarah keluarga, tapi  inisiatif dan keputusan politik penguasa baru saat itu.  Agar "ratu anyar atine ayem"

Dalam diam.  Karena terhimpit ketakutan, rakyat menangis. Mengantar kepulangannya ke rahmatullah.

Pare, 10 maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun