Prabowo Subianto makin kuat menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Akankah kali ini bisa terpilih setelah tiga kali gagal bertarung dalam pilpres? Sabar. Belanda masih jauh.
Prabowo Subianto menjadi bakal calon presiden terkuat hingga saat ini. Berbagai lembaga survei terakhir selalu menempatkan Ketua Umum Partai Gerindra itu di posisi pertama.
Bukan hanya itu, ia juga selalu mendapat endorse dari Presiden Jokowi. Artinya, peluangnya makin besar.
Teranyar, di Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Minggu 13 Agustus 2023, Prabowo Subianto mendapat tambahan pendukung.
Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional secara resmi menyatakan mendukung Menteri Pertahanan itu.
Sehingga membuat koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang sebelumnya dibangun bersama Partai Kebangkitan Bangsa semakin gemuk.
Gabungan keempat partai politik ini memiliki 265 kursi di DPR atau 46,9 persen. Hampir setengah kursi di senayan.
Jumlah tersebut jauh di atas koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang hanya 147 kursi atau 25,56 persen. Koalisi ini mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden.
Juga jauh diatas Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang hanya 163 kursi atau 28,35 persen. Koalisi yang beranggotakan Partai Nasdem, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden.
Meski Prabowo Subianto saat ini berada di atas angin, ia tidak boleh langsung besar kepala. Pilpres masih lama. Dinamika politik masih dinamis. Segala kemungkinan masih bisa terjadi.
Mari kembali melihat masa Pilpres 2014 lalu. Saat itu, pasangan Prabowo-Hatta Rajasa juga menjadi kandidat dengan koalisi gemuk.
Saat itu, Prabowo didukung Partai Golkar, PAN, Gerindra, PKS, PPP, dan PBB. Sementara itu, rivalnya, Jokowi-Jusuf Kalla diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Hasilnya, Jokowi-JK berhasil memenangkan pilpres saat itu dengan perolehan suara 53,15 persen. Sementara pasangan Prabowo-Hatta hanya 46,85 persen.
Bukan hanya itu, kejadian serupa tapi tak sama juga terjadi pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017 lalu.
Saat itu, ada tiga pasangan kandidat calon Gubernur DKI Jakarta. Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Sebelum pilkada digelar, hasil survey selalu menempatkan pasangan Ahok-Djarot di posisi pertama. Disusul pasangan Agus-Sylvi di urutan kedua. Terakhir pasangan Anis-Sandi.
Namun, pada saat pemilihan, pasangan Anies-Sandi naik ke posisi kedua. Di posisi pertama Ahok-Djarot dan terakhir pasangan Agus-Sylvi.
Karena tidak ada memperoleh suara diatas 50 persen, maka dilakukan putaran kedua. Ahok-Djarot melawan Anies-Sandi.
Hasilnya, pasangan Anies-Sandi berhasil memperoleh suara 57,96 persen. Mereka yang awalnya selalu berada di urutan bawah berdasarkan hasil survey, malah berhasil memenangkan Pilkada DKI 2017 itu.
Berkaca dari dua pengalaman itu, saat ini tidak bisa dipastikan Prabowo akan terus lebih baik, ataukah mampu mempertahankan posisi ini. Atau malah sebaliknya menurun.
Begitupun dengan Anies Baswedan yang saat ini selalu berada di urutan ketiga, juga tidak terlalu khawatir dengan hasil survei saat ini. Sebab, ia punya pengalaman serupa.
Intinya, koalisi gemuk, endorse presiden, maupun hasil survei masih sebatas prediksi. Rakyat yang menentukan. Hasilnya, kita lihat saat pemilihan nanti.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H