Parepare. Orang menjulukinya kota cinta. Dari kota yang luasnya hanya 99,33 kilometer persegi ini, lahir cinta sejati. Habibie Ainun. Pasangan itu diabadikan sebagai monumen.
Patungnya berdiri di tengah kolam berbentuk lingkaran. Ainun memegang bunga. Tangan kiri Habibie merangkul pundaknya. Tangan kanannya diangkat sejajar kepala. Seakan melambai. Isyarat pasangan yang mesra.
Ternyata patung ini adalah kado ulang tahun pernikahannya yang ke-53. Kadonya abadi. Tidak seperti lilin beralaskan kue yang dalam sekejap habis dan terlupakan.
Nama Habibie begitu harum. Bukan hanya di Indonesia. Tapi juga di Jerman. Bahkan dunia mengakuinya. Karyanya abadi. Meski dia sudah tiada.
Sungguh membanggakan masyarakat Sulsel. Namanya selalu diceritakan secara turun temurun oleh orangtua di kampung kepada anaknya. Berharap sang anak mengikuti jejaknya.
Sejak kecil, orangtua saya juga memperkenalkan namanya. Presiden ke-3. Asal Sulsel. Pintar. Sekolah di Jerman. Bisa buat pesawat. Saya kagum. Termotivasi ingin seperti dia.
Saya lalu disekolahkan. Setelah lulus SMP, lanjut ke SMK. Ambil jurusan yang satu rumpun dengannya. Teknik Kendaraan Ringan.
Kemudian lanjut ke perguruan tinggi. Masih Jurusan yang sama. Hanya nama yang berbeda. Teknik Otomotif.
Apakah saya berhasil mengikuti jejak Habibie seperti harapan saat saya kecil?
Haha ternyata tidak kengkawan. Saya tidak mampu. Saya tidak secerdas beliau. Saya hanya mampu ke kota kelahirannya. Lalu berfoto. Mengabadikan momen di patungnya.
Setelah lulus kuliah, saya banting steer. Memilih bekerja sebagai jurnalis. Pekerjaan yang jauh dari pelajaran ke-TEKNIK-an yang saya pelajari hampir sembilan tahun. Tapi itulah hidup. Tidak selalu sesuai rencana.
Tetap enjoy menjalaninya. Bukankah dalam setiap proses ada pelajaran? Tidak ada yang perlu disesali. Semua harus disyukuri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H