Mohon tunggu...
Agus Wahyudi
Agus Wahyudi Mohon Tunggu... Akuntan - Guru SD, mencoba belajar menulis dan mendongeng

Guru SD, sekarang tinggal di Lampung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Manajemen Perilaku Siswa di Sekolah Dasar (bagian 1)

21 November 2020   21:55 Diperbarui: 22 November 2020   17:02 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://jabar.tribunnews.com/2020/07/12/materi-dan-jadwal-belajar-di-rumah-tvri-senin-13-juli-2020-siswa-sd-kelas-4-6-belajar-berkebun

Guru harus memiliki kemampuan manajemen kelas yang baik. Bahkan, untuk tingkat sekolah dasar dan taman kanak-kanak, manajemen kelas dinilai lebih penting dibandingkan dengan kemampuan guru menguasai materi yang akan disampaikan. Hal ini dikarenakan, siswa pada tingkat tersebut memiliki rentang fokus yang pendek. Menurut situs halodoc yang mengutip Brain Balance Center, rerata tingkat konsentrasi anak usia 6 tahun adalah 12-18 menit, 8 tahun adalah 16-24 menit. Rumus yang dipakai adalah 2-3 menit dikalikan usia anak.

Menangani puluhan sampai ratusan siswa tidaklah mudah. Setiap siswa pasti memiliki perilaku yang unik, sebagaimana bakat mereka, karena beragam faktor yang melatarbelakanginya: keluarga, teman bermain, dan seterusnya. Di sinilah yang membuatnya menjadi cukup rumit. Sekolah perlu membuatkan aturan agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Saya ingin berbagi kepada rekan guru dan pembaca terkait manajemen perilaku di tempat saya mengajar terdahulu.

Samakan Pemahaman Dahulu 

Manajemen kelas bukanlah perkara yang mudah.  Guru menjadi ujung tombak dalam mengatur perilaku siswa di kelas. Hal ini menjadi sulit jika tidak didukung oleh oleh sistem yang dibentuk dan disepakati oleh seluruh stakeholder sekolah: Kepala sekolah, guru, staf, siswa, dan orangtua. Seluruhnya harus bergerak bersama.

Sebelum aturan disepakati, kepala sekolah dan guru perlu membuatkan sistem manajemen perilaku siswa. Manajemen perilaku siswa menyangkut beberapa hal:

  • Peraturan sekolah yang berisi perilaku yang diharapkan muncul (expected behavior) dan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan (negative behavior)
  • Sistem pencatatan perilaku siswa
  • Penghargaan bagi siswa dan konsekuensi akibat pelanggaran peraturan

Dalam membuat sistem manajemen perilaku siswa, guru perlu memahami beberapa hal sebagai berikut:

 a. Prosedur vs Aturan

Prosedur dan aturan sama-sama bertujuan untuk menciptakan ketertiban. Perbedaannya, aturan mengatur sesuatu yang umum, sementara prosedur berisi sesuatu yang lebih spesifik. Contohnya adalah sebagai berikut:

Aturan

  • Wajib berbicara baik dengan melakukannya dengan cara yang sopan
  • Menghargai orang lain
  • Menjaga keselamatan diri dan orang lain
  • Datang ke sekolah tepat waktu. Keterlambatan harus dengan alasan yang bisa diterima atau dengan surat tertulis dari orangtua.

Prosedur

  • Berbaris sebelum masuk kelas
  • Mengangkat tangan jika ingin berbicara di kelas
  • Berjalan di koridor
  • Tugas yang sudah selesai diletakkan di kotak yang tersedia

Menurut Krech (2013) perbedaan diantara keduanya adalah jika siswa melanggar aturan, siswa mendapat konsekuensi, sementara pelanggaran prosedur hanya membutuhkan pengulangan. Misalnya, seorang siswa berkata kasar dan mmelakukan perundungan (bullying), artinya ia telah melanggar aturan dan patut diberikan konsekuensi. Jika siswa yang berlarian menuju toilet dari kelasnya, maka siswa telah melanggar prosedur. Guru meminta siswa kembali ke titik awal ia berlari, kemudian mengulang pergi ke toilet dengan berjalan.

 b. Konsekuensi dan Hukuman

Konsekuensi atau hukuman bisa diartikan sebagai tindakan yang diberikan kepada siswa setelah melanggar aturan. Perbedaannya adalah kaitan antara tindakan yang diberikan dengan pelanggaran siswa. Konsekuensi memiliki kaitan sehingga siswa memahami dan bisa belajar darinya, sementara hukuman hanya sekedar efek jera tanpa kaitan dengan pelanggaran yang dilakukan siswa. 

Misalnya, jika ada siswa yang terlambat masuk sekolah tanpa alasan, guru memberikan tindakan berupa siswa diminta berdiri di depan kelas di luar kelas. Tindakan guru tersebut dapat dikategorikan sebagai hukuman. Sementara itu, jika siswa terlambat 30 menit, lalu guru memberikan tindakan menunda kepulangan siswa tersebut 30 menit dengan mengerjakan tugas tertentu, maka tindakan yang diberikan guru tersebut adalah memberikan konsekuensi. 

Pemberian konsekuensi cenderung lebih sulit karena guru perlu melalui proses berpikir yang panjang. Tetapi satu hal yang perlu disadari oleh guru adalah, saat siswa melakukan sebuah kesalahan bisa jadi itu adalah momen terbaik siswa untuk belajar. Untuk itulah penting bagi guru berpikir keras untuk memberikan konsekuensi yang seimbang bagi pelanggaran aturan oleh siswa.

 c. Pemberian hadiah (reward) tidak Selalu Baik

Manajemen perilaku sis di sekolah harus memuat sistem untuk memberikan penghargaan kepada siswa untuk memotivasi munculnya perilaku positif dari siswa. Namun, guru perlu memahami bahwa pemberian reward perlu dilakukan dengan hati-hati. Penghargaan bukanlah sebuah "hadiah" untuk setiap perilaku siswa yang dinilai baik. Linsin (2011) menjelaskan bahwa reward atau hadiah yang diberikan kepada siswa bisa menjadi kurang bermakna, karena:

- Siswa berpendapat bahwa berperilaku baik adalah pekerjaan

Seperti pekerjaan yang mendapat upah, siswa akan melakukan perbuatan baik karena ingin mendapatkan hadiah dari guru.

- Siswa menuntut "hak"

Karena adanya hadiah, siswa yang berperilaku baik untuk gurunya akan merasa guru tersebut berhutang sesuatu [baca: hadiah] atas perilakunya tersebut

- Hadiah merendahkan nilai dari motivasi siswa untuk berbuat baik

Pemberian hadiah bisa dikatakan memberikan label harga tertentu dari setiap perilaku siswa. Hal ini merendahkan sesuatu yang sebetulnya tak ternilai. Menolong teman yang terjatuh karena ingin menolong dengan menolong teman yang terjatuh karena ingin mendapat hadiah adalah dua hal yang sangat berbeda.

- Siswa akan meminta lagi dan lagi

Hadiah yang diberikan di awal akan terasa banyak, namun siswa akan menjadi bosan dan menuntut sesuatu yang lebih.

Pengalaman akan memberikan guru pengetahuan untuk menilai mana siswa yang tulus melakukan perilaku positif atau yang berharap diberikan pujian dan hadiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun