Mohon tunggu...
Wahyudi Iswar
Wahyudi Iswar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Pemprov Sulbar

Silaturahim

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pengetahuan dan Kebijakan Berbasis Bukti

22 Mei 2024   08:47 Diperbarui: 24 Mei 2024   15:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan bukti dalam kebijakan publik telah menjadi topik diskusi populer selama dua dekade terakhir. Banyak penelitian dan proyek yang memusatkan perhatian pada bagaimana bukti dapat digunakan dengan lebih baik dalam kebijakan publik. Kebijakan berbasis bukti atau Eviden Based Policy (EBP) kini dianggap sebagai model yang lebih andal untuk mewujudkan kualitas kebijakan pemerintah yang unggul. 

Konsep EBP yang dapat dilaksanakan pada jenjang level pemerintahan manapun diharapkan mendorong peningkatan hasil kinerja yang lebih efektif dan efisien. The Pew Charitable Trust dan Mac Arthur Foundation (2014), menyebutkan dengan pelaksanaan EBP, pemerintah dapat mengurangi pemborosan anggaran, memperluas program inovatif, dan meningkatkan akuntabilitas.

Dalam lintasan sejarah, EBP populer pada saat munculnya gerakan di Inggris pada tahun 1990an yang menyerukan "pengobatan berbasis bukti", : pengobatan yang hanya didasarkan pada bukti laboratorium (eksperimental) yang seharusnya digunakan. 

Pada tahun 1997, Perdana Menteri Inggris, Tony Blair mengembangkan pendekatan yang  koheren dengan EBP guna menegaskan bahwa mereka merupakan pemerintahan reformis. Blair menyatakan keinginannya untuk beralih dari pengambilan keputusan ideologis dalam perumusan kebijakan.  Menekankan pula perlunya kebijakan yang benar-benar mengatasi masalah, berwawasan ke depan dan dibentuk oleh bukti, bukan respons terhadap tekanan jangka pendek dan mengatasi penyebab, bukan gejala. Menyerukan agar kebijakan didasarkan pada, atau dipengaruhi oleh, bukti obyektif yang ditetapkan secara ketat.

Penerapan EBP lalu mencoba menggeser banyaknya kebijakan yang dibuat berdasarkan intuisi, pemahaman umum, pengalaman, ideologi, opini publik, atau bahkan berdasarkan kepentingan politik. Dengan menyebarnya EBP ke bidang isu kebijakan lainnya selain kesehatan membuat berbagai kebijakan dan praktik yang ada mendapat serangan oleh kurangnya landasan penelitian empiris dalam pembentukan kebijakan. Pendekatan EBP akhirnya semakin menjalar dan kini digunakan di banyak negara, maju maupun berkembang.

Di Indonesia, istilah kebijakan berdasarkan bukti muncul dimasa pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penelitian Dan Pengembangan Di Lingkungan Kemendagri dan Pemda disebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas regulasi dan kebijakan di lingkungan kemendagri dan pemda, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan penyelenggaraan tugas pemerintahan secara terarah, terkoordinasi, terpadu, dan berkesinambungan. 

Peraturan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri 15 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Operasional Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah. Di latar belakang peraturan ini disebutkan, dasar kebijakan yang dibuat harus berbasis riset karena adanya pergeseran paradigma yang berfokus pada pengambilan keputusan dan kebijakan publik berbasis bukti ilmiah dan kemajuan iptek.

Kementerian Kesehatan juga melakukan hal yang sama. Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkes telah memandatkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) untuk dapat menghasilkan penelitian yang dapat menjadi informasi dan evidence agar pengambil keputusan dan perencana program mampu mengembangkan alternatif kebijakan untuk setiap masalah pembangunan kesehatan.

Lalu, UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu kebijakan Pemerintahan Joko Widodo untuk mendukung penyelenggaraan iptek sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional. Melalui pengintegrasian penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi. 

Satu dekade (2012-2022) mendorong EBP, pemerintah Indonesia telah melakukan penguatan ekosistem ilmu pengetahuan dan inovasi untuk mendorong kebijakan berbasis bukti. Upaya itu dilakukan dalam hal : tata kelola pendanaan penelitian, kolaborasi dan manajemen pengetahuan, produksi pengetahuan. Banyak program dan kegiatan  yang dilakukan, sebut saja diantaranya: mengintegrasikan  pendekatan gedsi dalam upaya pengetahuan  ke kebijakan dan penguatan kelembagan peran analisis kebijakan. Upaya yang sudah menunjukkan hasil meski belum optimal.

Menurut The Pew Charitable Trust dan Mac Arthur Foundation (2014), EBP merupakan kebijakan yang menggunakan penelitian dan informasi terbaik yang tersedia mengenai hasil program untuk memandu keputusan di semua tahapan proses kebijakan dan di setiap cabang pemerintahan. Sebuah kebijakan yang disebut evidence-based policy idealnya disusun melalui proses perolehan dan analisis data yang ilmiah, khususnya melalui penelitian (Smith et.al, 2000).

Pembuatan atau praktik EBP biasanya mengacu pada upaya sistematis untuk memastikan penelitian ilmiah menjadi input penting dalam pembuatan kebijakan. EBP telah banyak disebut sebagai cara untuk menerjemahkan pengetahuan, transfer pengetahuan, pertukaran pengetahuan, pemanfaatan penelitian, implementasi, difusi dan penyebaran pengetahuan dalam proses atau siklus kebijakan publik. Dalam hal ini penting terlebih dahulu untuk melihat sumber atau bentuk pengetahuan yang relevan dengan proses kebijakan.

Ada tiga bentuk pengetahuan yang dapat terlibat dalam proses EBP. Yang pertama, pengetahuan ilmiah formal yang menghasilkan kumpulan data yang membantu kita mengambil kesimpulan tentang masyarakat, dan menarik kesimpulan tentang apa implikasinya untuk kebijakan. Aktor kunci dalam kelompok ini adalah para ilmuwan, dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

Yang kedua, yang sering disebut pengetahuan professional. Hunt dan Shackley dengan istilah pengetahuan fiduciary atau apa yang Jones  sebut sebagai pengetahuan yang diinformasikan oleh praktik. Di pemerintahan, pengetahauan ini dapat disebut sebagai pengetahuan profesional para birokrasi. Pengetahuan yang didasarkan pada sumber informasi sekunder serta pengalaman langsung para praktisi dan pengetahuan mereka tentang konteks dan proses tempat pengetahuan digunakan.

Pengetahuan profesional ini mensintesis dan mengkonsolidasikan ide-ide serta menghubungkannya dengan konteks tempat kebijakan beroperasi. Pengetahuan profesional berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan ilmiah dan kebutuhan pembuat kebijakan. Tanpa pengetahuan profesional, banyak pengetahuan ilmiah tidak akan menemukan jalannya ke ruang kebijakan. Agar berhasil, produsen pengetahuan profesional harus memiliki pemahaman yang kuat tentang penelitian dan tentang kebutuhan pembuat kebijakan. Oleh karena itu kaum profesional dalam hal ini birokrat, harus mampu menerjemahkan dan mengkomunikasikan pengetahuan dalam siklus kebijakan. Dalam struktur pemerintahan, peran ini sering didefinisikan atau lakoni oleh jabatan fungsional analis kebijakan.

Jenis pengetahuan ketiga, pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal muncul dari pengalaman dan praktik masyarakat. Kadang-kadang disebut sebagai pengetahuan masyarakat atau pengetahuan pengalaman. Durose dan Richardson (2016) merujuk Henry Mintzberg yang menyatakan bahwa kebijakan tidak boleh hanya bergantung pada sains, tetapi juga pada 'seni', yang mencakup antara lain pengetahuan lokal. Banyak pengetahuan yang kita miliki sebagai individu adalah pengetahuan pengalaman. Ini adalah pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana bertindak dalam masyarakat, nilai-nilai apa yang penting dalam masyarakat tempat kita hidup.

Selain bentuk adapula hierarki pengetahuan. Russell Ackoff dalam pidatonya menerima jabatan presiden Masyarakat Internasional untuk Penelitian Sistem Umum pada tahun 1989 memperkenalkan hierarki DIKW (Data, Informasi, Knewledge, Wisdom). Menurut Ackoff, informasi adalah penyempurnaan dari data, nilai yang kita ekstrak dari data. Sementata untuk mengkarakterisasi nilai yang kita ekstrak dari informasi. Ackoff menyarankan pengetahuan sebagai nilai informasi.

Pengertian Ackoff ini sejalan dengan teori informasi. Data didefinisikan dalam istilah entropi termodinamika (fisik), informasi dalam istilah entropi Shannon (simbol), dan pengetahuan dalam istilah entropi kognitif (konteks). 

Informasi bisa disebutkan sebagai yang berisi deskripsi jawaban atas pertanyaan yang dimulai dengan who, what, where, when dan how many. Dalam "Panduan Praktik yang Baik dalam Manajemen Pengetahuan" yang dikeluarkan oleh Komite Standardisasi Eropa menyatakan: " Pengetahuan adalah kombinasi data dan informasi, yang ditambahkan pendapat ahli, keterampilan, dan pengalaman, untuk menghasilkan aset berharga yang dapat digunakan untuk membantu pengambilan keputusan."

Memperoleh pengetahuan adalah  proses kompleks yang bersifat sosial, didorong oleh tujuan, kontekstual, dan terikat secara budaya. Kita memperoleh pengetahuan dengan sebelumnya memiliki keinginan dan keingintahuan. Dalam proses mengetahui lah kita terlebih dahulu memutuskan informasi mana yang relevan, dan bagaimana informasi tersebut akan digunakan. Dalam piramida DIKW itu, bagi Ackoff, pengetahuan mengubah informasi menjadi instruksi. (***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun