Mohon tunggu...
Wahyudi Widodo
Wahyudi Widodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Pamulang

Reading, Learning, Workouts, Make Friends

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemutihan 3,3 Juta Hektar Lahan Sawit Ilegal: Penyelesaian Masalah yang Dilematis

14 September 2023   16:39 Diperbarui: 14 September 2023   16:46 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/45448/kegagalan-penyelesaian-sawit-dalam-kawasan-hutan-bahayakan-keselamatan-manusia-dan-plane

Sektor perkebunan kelapa sawit tampaknya tak pernah lepas dari problem dan konflik kepentingan. Setelah maraknya black campaign terhadap penyumbang besar devisa negara ini, konflik-konflik sosial dengan penduduk dan petani lokal, kini kembali muncul berbagai macam reaksi dari para stakeholder sehubungan dengan rencana pemerintah yang akan memutihkan (melegalkan) 3,3 juta hektar kebun sawit ilegal yang berada di kawasan hutan.Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Lobby Kantor Kemenko Marves pada Jumat (23/6/2023) Saat ditanyai awak media perihal Undang Undang (UU) Cipta Kerja yang memberikan kesempatan kepada lahan sawit ilegal tersebut untuk diputihkan memberikan pernyataan, bahwa pemerintah terpaksa melakukan pemutihan karena tidak memungkinkan sawit yang berada di lahan tersebut ditebangi. Target batas akhir penyelesaian di UU Cipta Kerja pada tanggal 2 November 2023. Pemilik kebun sawit yang lahannya masuk dalam kawasan hutan nantinya diwajibkan membayar pajak dan taat hukum sesuai peraturan yang berlaku.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara selaku Ketua Tim Pelaksana Satgas Sawit pada kesempatan yang sama membenarkan bahwa hal itu dilakukan agar pelaku usaha sawit menjadi lebih taat hukum.

Merespons hal ini, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menilai tidak seharusnya semuanya dibebankan kepada pelaku usaha. Sebab, menurutnya ada beberapa kebun milik perusahaan yang Hak Guna Usaha (HGU) nya sudah terbit sebelum pemerintah menetapkan kawasan hutan tersebut.

Reaksi keras berupa kecaman atas rencana pemutihan tersebut muncul dari para penggiat lingkungan. Melalui akun Instagram resminya, Greenpeace memposting foto kebun sawit dengan caption 3,3 juta hektar (seluas 45 kali Singapura) lahan sawit ilegal dilegalkan disertai komentar "...enaknya jadi Oligarki Sawit di masa pemerintahan @jokowi. Bisa bebas babat kawasan hutan buat dijadikan perkebunan sawit tanpa izin, begitu luas hingga totalnya mencapai 45 kali luas negara Singapura. Lalu bukannya dikembalikan menjadi kawasan hutan sebagaimana mestinya, tapi malah dilegalkan oleh pemerintah menggunakan dasar hukum UU Cipta Kerja yang problematik dan dinyatakan inkonstitusional oleh @mahkamahkonstitusi..." 

"...Hmm... Kira-kira siapa ya pemilik berbagai perkebunan sawit ilegal ini sampai-sampai pemerintah terpaksa memutihkannya. Soalnya kalau rakyat kecil yang menduduki tanah negara, biasanya sudah pasti digusur..."

Unggahan ini mendapat 34.171 like dan beragam komentar dari masyarakat serta penggiat lingkungan lainnya.

Kiranya sentimen negatif ini bisa dimaklumi karena 2 tahun sebelumnya analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map merilis penemuan perkebunan sawit ilegal seluas 3,12 juta hektar berada dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019. Seperti dikutip dalam laporan Greenpeace Indonesia, setidaknya terdapat 600 perusahan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 hektar perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi. Temuan ini membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit beroperasi di hampir semua kategori kawasan hutan, mulai dari taman nasional, suaka margasatwa, bahkan di situs UNESCO.

sumber:https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/45448/kegagalan-penyelesaian-sawit-dalam-kawasan-hutan-bahayakan-keselamatan-manusia-dan-plane
sumber:https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/45448/kegagalan-penyelesaian-sawit-dalam-kawasan-hutan-bahayakan-keselamatan-manusia-dan-plane

Tampaknya pemerintah maupun para stakeholder saat ini dihadapkan pada persoalan yang dilematis. Adalah permasalahan yang cukup pelik untuk dicari sebuah keputusan strategis yang terbaik guna menyelesaikan sekaligus mengakomodir semua kepentingan. Pertanyaan-Pertanyaan yang cukup krusial adalah:

  • Jika rencana pemutihan konsiten dijalankan apa loss and benefitnya? Apakah itu sebuah keputusan yang tepat jika dibandingkan dengan resiko dan konsekuensi yang mengikutinya?
  • Jika tidak ada pemutihan, dan sebaliknya Pemerintah menjalankan supremasi hukum apa dampaknya bagi keberlangsungan usaha di lahan ilegal itu sendiri? Bagaimana nasib para pekerjanya?
  • Jika lahan-lahan ilegal tersebut dikembalikan ke fungsi semula sebagai hutan konservasi apa dampaknya positifnya bagi negara terutama pemerintah daerah dan masyarakat lokal?
  • Siapa saja yang mendapat pemutihan, setiap orang (rakyat) atau hanya korporasi?

Jadi pemutihan itu harus jelas kemana arah dan tujuan nya sebab korporasi yang sekarang menguasai jutaan hektar itu semua ilegal

Oligarki pada Sektor Perkebunan Sawit Indonesia

Oligarki (Yunani: oligarkhia) adalah sebuah bentuk struktur kekuasaan yang berada ditangan segelintir orang. Mereka bisa berasal dari keluarga, kelompok politik dan ekonomi yang saling berhubungan satu sama lain atas dasar kepentingan ekonomi politik. Tujuannya adalah mengontrol dan menentukan kebijakan publik guna memperbesar pengaruh maupun keuntungan finansial sendiri. Sepanjang sejarah oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan terhadap publik untuk exist.

Kapitalisme kroni adalah kata kunci dugaan praktek oligarki. Dalam kajian ekonomi politik, ini adalah istilah bagi kesuksesan bisnis yang bergantung pada hubungan dekat antara pebisnis dengan pejabat pemerintah. Kapitalisme kroni dapat diamati dari tindakan pilih-pilih saat mengeluarkan izin operasi, potongan pajak khusus, dan intervensi pemerintah lainnya. Faisal Basri (2019) mengutip data The Economist, Indonesia berada di peringkat ketujuh dalam The Crony-capitalism Index pada 2016.

Salah satu indikator paling mudah melihat oligarki di Indonesia adalah dengan melihat konsentrasi kekayaan dan penguasaan sumber daya modal pada segelintir orang tertentu. Juga kelompok elit politik yang menguasai pos dan sumber kekuasaan dalam kelembagaan politik formal negara termasuk partai politik yang berkuasa.

Sumber:https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-kapitalisme-kroni/157380Input sumber gambar
Sumber:https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-kapitalisme-kroni/157380Input sumber gambar

Data kajian KPK pada tahun 2017 menyebutkan lebih dari 70% kepala daerah dalam pilkada didukung pendanaan oleh korporasi berbasis sumber daya alam, terutama sektor pertambangan dan perkebunan, dengan kompensasi utama kemudahan izin atau konsesi. Ironisnya keberlanjutan praktek "kongkalingkong" ini masih kurang mendukung peningkatan kesejahtaraan bagi masyarakat lokal dan preservasi lingkungan. Bahkan Bank Dunia pada tahun 2018 menyebutkan 80% lebih lahan sawit Indonesia bermasalah, antara lain tidak menyediakan 20% plasma untuk rakyat dan tak memperhatikan lingkungan hidup.

Kontribusi Sektor Perkebunan dan Industri Sawit terhadap Perekonomian Indonesia

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrahman dalam pembukaan acara 'Sosialisasi Dampak Penerapan Tarif Layanan BLU BPDPKS Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan' di Kuta Bali pada 30/8/2022 menyampaikan bahwa komoditas kelapa sawit memberikan sumbangan devisa terhadap negara sangat besar, rata-rata pertahun US$ 22-23 miliar. Bahkan ditahun 2021, devisa yang dihasilkan dari ekspor komoditas kelapa sawit mencapai US$ 30 miliar, rekor tertinggi selama ini. Dari sisi penerimaan pajak industri kelapa sawit juga memberikan sumbangan pemasukan kepada negara yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPH) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Keluar (BK) atau biasa dikenal dengan Pajak Ekspor (PE) sebesar Rp 20-40 triliun.

Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), produsen minyak sawit terbesar dunia adalah Indonesia dan Malaysia. USDA memproyeksikan pada periode tahun 2022/2023 produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT), dan Malaysia 18,8 juta MT.

Lebih lanjut Eddy Abdurrahman menyampaikan bahwa selain sebagai penyumbang devisa, sawit juga membuka lapangan kerja bagi 16 juta orang secara langsung. Industri kelapa sawit juga melibatkan lebih dari 2,4 juta petani atau pekebun (smallholders) yang berkecimpung langsung, dan 6 juta orang yang bekerja secara tidak langsung

Sumber:https://riauhits.com/berita-panen-sawit.htmlInput sumber gambar
Sumber:https://riauhits.com/berita-panen-sawit.htmlInput sumber gambar

Tercatat setidaknya 10 perkebunan sawit dengan areal usaha yang besar tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan kepulauan Riau. Sebaran perkebunan dan industri sawit yang besar diluar pulau jawa  secara tidak langsung turut membantu pemerintah dalam upaya pemerataan populasi penduduk, mengatasi masalah pengangguran (jobless) dan mengurangi angka tunawisma (homeless).  

Sebagai ilustrasi sederhana, untuk luas areal lahan 100 hektar, kerapatan panen1:5, berat buah rata-rata 10 kg, populasi tanaman 143 pokok/hektar, dengan kapasitas pemanen 750 kg/hektar maka kebutuhan tenaga kerja pemanen adalah 38 pekerja/hari (formula: 100 x 1/5 x 10 x 143)/750).

Jika luas lahan sawit 3,3 juta Hektar maka untuk kebutuhan panen saja diestimasikan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 1.254.000 pekerja/hari. Jumlah tersebut belum menghitung tenaga perawatan tanaman seperti tenaga semprot herbisida, tenaga kerja gudang, maintenance, petugas keamanan, staf administrasi, dan tenaga supporting lainnya. Hal ini berarti tersedianya lapangan pekerjaan dalam jumlah besar, yang berarti pula peluang besar bagi perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya.

Sejalan dengan adanya peluang bagi penyebaran populasi penduduk akan tercipta pula peluang desentralisasi kegiatan ekonomi serta pendapatan sebanyak 3,76 trilyun rupiah perbulan atau 45,12 trilyun rupiah per tahun dari sektor usaha ini, dengan asumsi UMR 3 juta rupiah per bulan.

Perlindungan terhadap Kepentingan Negara dan Rakyat

Sayangnya, menurut data KPK tahun 2018, eksploitasi sumber daya alam ini ternyata tidak sebanding dengan penerimaan negara. Ketika lahan sawit bertambah luas, detail angka potensi pajak dari sektor sawit menguap karena 40% perusahaan sawit diduga tidak membayar pajak sesuai ketentuan. Terlepas dari dugaan praktek pengemplangan pajak yang umumnya dilakukan oleh semua pelaku usaha di sektor ini, penurunan pendapatan pajak dapat dipastikan contributor terbesarnya berasal dari praktek pengelolaan perkebunan sawit ilegal. Maka perlu upaya-upaya untuk menstimulus pelaku usaha agar mau melaporkan dan melegalkan usahanya dengan harapan upaya ini akan berdampak pada penyelamatan penerimaan negara dan kemudahan control serta Audit.

Ditengah maraknya penolakan dan tudingan terhadap sektor perkebunan sawit Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor ini sedikit banyaknya telah turut menyumbangkan peran dalam upaya peningkatan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Sebagaimana hal nya ungkapan "Membangun bisnis sawit adalah membangun peradaban", setiap perusahaan sawit berkewajiban memenuhi kebutuhan primer dan sekunder bagi para pekerja dan keluarganya. Setiap perusahaan perkebunan dan industry sawit dipersyaratkan untuk menyediakan fasilitas yang layak bagi pekerja terkait kebutuhan dasar pokok, perumahan, sosial, sarana dan fasilitas umum, termasuk fasilitas kesehatan.

Sumber:https://www.infosawit.com/2022/11/29/beri-dampak-positif-bagi-lingkungan-perusahan-sawit-bga-tanam-50-ribu-pohon-di-kalimantan-dan-riau/
Sumber:https://www.infosawit.com/2022/11/29/beri-dampak-positif-bagi-lingkungan-perusahan-sawit-bga-tanam-50-ribu-pohon-di-kalimantan-dan-riau/

Perusahaan juga berkewajiban menjalankan program RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) untuk menunjukan proses produksi yang ramah lingkungan dan program CSR (Corporation Social Responsibility) yang menunjukan tanggung jawab sosial Perusahaan terhadap masyarakat sekitar. Audit berkala dilakukan untuk memastikan konsistensi pelaksanaan kedua program ini selama kegiatan ekonomi berlangsung. Bagi perusahaan yang tidak menjalankan keduanya akan diberlakukan sanksi administrasi, terdiri dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

Kesimpulan

Terlepas dari pandangan negatif dan komentar 'miring' beberapa pihak, serta berbagai reaksi pro dan kontra, rencana pemerintah memutihkan 3,3 juta lahan sawit ilegal dapat dipahami dalam kerangka berfikir perlindungan terhadap kepentingan negara dan rakyat. Cara ini ditempuh dengan sasaran menyelamatkan penerimaan negara dari sektor pajak, sekaligus sebagai upaya menyelamatkan masyarakat dari resiko kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Pemutihan lahan ilegal dapat dipandang sebagai upaya pemerintah memberikan kompensasi atas kesadaran pelaku usaha untuk melaporkan usahanya dan sebagai bentuk reward atas itikad baik pelaku usaha untuk taat hukum dan menjalankan kewajiban terhadap negara. Pemutihan lahan juga akan mempermudah fungsi control pemerintah.

Namun demikian, pemerintah tetap perlu merumuskan bentuk supremasi hukum yang proporsional terhadap pelanggaran-pelanggaran sebelumnya dan potensi pelanggaran kedepannya. Jangan sampai langkah ini memberikan preseden negatif bagi para pelaku usaha dan investor lainnya. Sanki tegas dan pidana perlu diberlakukan bagi pejabat-pejabat maupun oknum-oknum yang terlibat karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi.

Pemerintahan juga perlu membuat Policy dan ketentuan sanksi pidana yang tegas terkait pemberian ijin HGU atas hutan konservasi karena hal ini menyangkut amanat negara yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dikuasai oleh negara, dan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seharusnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun