Menghadapi situasi darurat bencana Covid-19 yang memakan banyak korban jiwa, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk mencegah penyebaran bahaya yang lebih luas. Paling akhir, Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020 lalu merilis Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Penerapan PSBB disetujui oleh Kementerian Kesehatan untuk pertama kalinya di DKI Jakarta dan segera berlaku mulai 10 April 2020.
Sebelum itu, guna meminimalisir dampak-dampak sosial ekonomi yang mungkin terjadi telah dikeluarkan sembilan kebijakan yang ditujukan untuk menopang daya beli masyarakat. Kebijakan-kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi terdampak serius secara sosial ekonomi.Â
Diantaranya, presiden memberi perhatian khusus bagi upaya menjaga daya beli kelompok buruh, pekerja harian, petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro dan kecil. Upaya pemerintah ini tentunya patut mendapat apresiasi. Namun demikian pemerintah perlu memberi perhatian lebih serius bagi perlindungan hak-hak serta keselamatan kerja buruh dan tenaga harian yang bekerja di sektor industri manufaktur.
Sektor industri manufaktur memberi sumbangan terbesar bagi PDB di tahun 2019, yakni 19,7 persen. Industri manufaktur menyerap 18,93 juta tenaga kerja, atau sejumlah 14,96 persen dari keseluruhan lapangan kerja.
Selain itu keberlangsungan sektor industri manufaktur penting untuk memastikan ketersediaan pasokan barang di pasar domestik, serta mendorong perputaran roda ekonomi di masyarakat.
Di tengah situasi pandemi global Covid-19 ini, bayang-bayang perlambatan ekonomi nampaknya telah diambang mata dan sektor industri manufaktur merupakan salah satu sektor yang terdampak paling berat. Sektor ini terdampak dari berbagai sisi.
Di satu sisi, dampak yang dirasakan adalah kelangkaan pasokan serta naiknya harga-harga bahan baku impor. Dan di sisi lain, tekanan pelemahan mata uang rupiah dan penurunan permintaan global turut memperparah kondisi sektor ini.
Dampak-dampak tersebut di atas dirasakan langsung oleh sektor-sektor garmen, tekstil, serta komponen elektronik yang berorientasi ekspor. Sektor-sektor ini mulai melakukan pengurangan aktivitas usaha, jumlah buruh, jam kerja, ataupun jumlah shift.
Namun demikian sektor-sektor yang berorientasi pasar domestik, seperti industri pengolahan makanan dan minuman, umumnya beroperasi normal dengan terus mengantisipasi perkembangan kondisi makroekonomi ke depan.
Menghadapi situasi krisis ekonomi seperti saat ini tentunya pelaku industri manufaktur tengah memikirkan langkah-langkah mitigasi resiko. Di luar resiko kenaikan biaya-biaya produksi, terdapat pula resiko keberlangsungan kerja para buruh maupun tenaga harian lepas.
Selain itu, tidak kalah penting adalah resiko kesehatan dan keselamatan kerja bagi para buruh yang melakukan aktivitas kerja di pabrik. Kehadiran buruh di tempat kerja pada sektor industri manufaktur umumnya belum tergantikan, sehingga mereka beresiko tinggi terpapar bahaya Covid-19.
Kondisi ini tentunya menimbulkan situasi kerawanan akan kesehatan dan keselamatan buruh beserta keluarganya.
Kebijakan umum pembatasan sosial berskala besar membawa implikasi pembatasan aktivitas di tempat kerja, atau dikenal dengan bekerja dari rumah (work from home).
Namun dalam penerapannya kebijakan bekerja dari rumah ditanggapi bervariasi sesuai kondisi di masing-masing sektor usaha. Bagi sektor industri manufaktur, khususnya yang bersifat padat karya, tentunya sulit menerapkannya secara menyeluruh.
Kementerian Ketenagakerjaan dalam upaya perlindungan pekerja dan kelangsungan usaha terkait pandemi Covid-19, pada tanggal 17 Maret 2020 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III Tahun 2020.
Dalam surat edaran tersebut pemerintah mengeluarkan arahan bagi pemerintah daerah dalam membina dan mengawasi aktivitas usaha di daerah administrasinya.
Menyikapi kebijakan pemerintah dalam surat edaran Kementerian Ketenagakerjaan di atas, terdapat dua persoalan yang timbul terkait upaya perlindungan hak-hak buruh di sektor industri manufaktur.
Pertama, surat edaran tersebut memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha yang terdampak Covid-19 untuk menentukan besaran upah sesuai kesepakatan antara pelaku usaha dan buruh.Â
Kebijakan ini perlu dikritisi karena menimbulkan ketidakpastian hak-hak buruh, terutama menjelang pembayaran THR. Kebijakan ini bertentangan dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur jelas perihal pengupahan. termasuk dalam kasus-kasus dimana buruh terpaksa diliburkan atau dirumahkan akibat dinamika usaha.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 bahkan telah mengatur prosedur penangguhan bagi pengusaha yang tidak sanggup membayar sesuai ketentuan. Pengusaha dimaksud harus membuktikan ketidaksanggupannya melalui laporan keuangan dan mengajukan persetujuan Gubernur, dengan sebelumnya mendapat pertimbangan Dewan Pengupahan.
Kedua, sebagai pelaksana pekerjaan operasional di pabrik para buruh tentunya rentan terpapar resiko penularan Covid-19. Namun demikian, surat edaran tersebut tidak mewajibkan pelaku industri untuk melaksanakan pembatasan kegiatan usaha, khususnya bagi pabrik-pabrik yang berlokasi di wilayah PSBB ataupun yang tergolong daerah-daerah rawan bahaya Covid-19 lainnya.
Kewajiban serupa diharapkan berlaku pula bagi pabrik-pabrik yang para buruhnya tinggal di daerah rawan bahaya Covid-19. Pabrik-pabrik tersebut harus menerapkan protokol pencegahan bahaya Covid-19 atau bahkan melakukan pembatasan kegiatan usaha.
Karena itu sangat diharapkan agar pemerintah segera mengeluarkan kebijakan lanjutan yang melindungi hak-hak buruh industri.
Pertama, pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak kesejahteraan buruh serta upaya pencegahan bahaya di lingkungan kerja terkait bencana Covid-19.
Kedua, bagi perusahaan-perusahaan yang terdampak bencana Covid-19, pemerintah dapat memberikan insentif seperti kredit murah perbankan asalkan mereka tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) serta memenuhi seluruh ketentuan hak-hak kesejahteraan buruh selama masa darurat bencana Covid-19. Kebijakan ini akan sangat membantu perusahaan dalam mengatasi masalah modal kerja di masa normal pasca darurat bencana.
Bentuk kebijakan lain yang dapat ditempuh adalah sebagaimana rekomendasi National Association of Manufacturers (NAM) di Amerika Serikat, yakni berupa stimulus fiskal bagi perusahaan yang membayar penuh upah pekerja selama masa karantina ataupun dirumahkan. Insentif pajak dapat pula diberikan bagi perusahaan yang menerapkan protokol pencegahan bahaya Covid-19.
Kita semua berharap agar pandemi Covid-19 ini segera berlalu, namun di tengah situasi krisis ini pemerintah perlu memberikan ketenteraman bagi buruh industri dan keluarganya.
Pemerintah pusat dan daerah harus serius mengawasi dan memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar ketentuan pengupahan dan protokol pencegahan bahaya Covid-19.
Di pihak lain, partisipasi pelaku industri adalah penting. Di luar aspek kepatuhan terhadap regulasi, sangatlah diharapkan kepedulian pelaku industri dalam upaya pencegahan bencana Covid-19 di lingkungan kerja.
Dialog dan kerjama semua pihak sangat diperlukan bagi perlindungan hak-hak buruh industri maupun keberlangsungan sektor industri manufaktur yang vital bagi pembangunan nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H