Sejatinya tak ada yang baru di bawah sinar matahari. Sinarnya terhampar dari pagi hingga sore hari. Kalo pun ada hujan, ia dengan rela melepas tahta singgasananya, demi menemui keseimbangan bumi. Menanggalkan tahun lama dengan tahun yang baru, hanyalah siklus waktu. Seperti siang dan malam, yang bergantian. Tak perlu dibedakan cukup dirasakan.
Tulisan ini didasari atas dinamika, pemikiran dan ornamen pengalaman yang penuh dengan proses di Kompasiana. Saya mengucapkan terima kasih atas mereka-mereka yang pernah ‘singgah’, baik itu yang baca ‘sambil lalu’, menitipkan komen, atau pun beri penilaian atas tulisan. Pun, atas pertemanan terjalin menjadi nafas spirit bagi lahirnya keseimbangan baru.
Kali ini, saya hanya ingin melakukan refleksi atas tulisan-tulisan yang pernah saya publish di Kompasiana. Semacam napak tilas untuk tidak melupakan catatan yang pernah saya buat. Segala kelebihannya akan menjadi milik pembaca. Kekurangannya akan menjadi bahan evaluasi, demi penyempurnaan ke depan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
Dengan tulisan yang masih sedikit jumlahnya (20) saya coba merangkumnya dalam satu rangkaian waktu, demi menjalin ikatan harmonis yang pernah tercipta. Di dalamnya ada suasana rasa khawatir yang tak berkesudahan? Ketidaksempurnaan matahari untuk terbit di pagi hari. Menemukan cermin diri atas sebuah kisah dan kasus. Dan Optimisme dan Kekalutan berbangsa. Semua itu menjadi dorongan untuk menulis yang sewaktu-waktu meminta untuk dipanggil kembali.
Kegenitan malam bersama sepi yang merata, membawa saya pada tulisan ‘Penulis Itu Tidak Sendirian’. Dari sana saya menyaksikan dalam berbagai situasi sulit, banyak individu atau anggota kelompok, yang dengan rela mengorbankan waktu dan spiritnya demi tercapainya tujuan dengan penuh kerelaan hati tanpa tekanan. Atas kesungguhan yang dibuat dengan penuh nilai dan jerih payah demi kebaikan. Inilah ruang di mana setiap perilaku yang jujur bisa menyajikan kekuatan tunggalnya menjadi lebih melayani. Tindakan ini sulit dilakukan dengan sempurna dan hanya mungkin bisa dibikin lebih baik dari waktu ke waktu. Ini menjadi semacam pendidikan abadi bagi sifat-sifat kemuliaan yang tersaji atas impresi para penulis.
Gejolak profesi dokter satu Indonesia, mengingatkan saya pada anak tercinta dengan alunan cita-citanya yang pernah diucapkan. Kegiatan antar-jemput sekolahnya dan coba menyemangatinya dengan tulisan ‘Menyapa (Calon) Dokter’. Butuh kesiapan waktu untuk memulai harinya sebelum matahari jadi sempurna. Di saat dia masih terlelap, kerap gemerlap bintang malam masih menghiasi langit tidurnya. Ketidaksempurnaan matahari terus ditanamkan agar dia tahu kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan. Saya rasa keputusan menyekolahkan di Taman Kanak-Kanak adalah tahap awal menuju kesempurnaan matahari untuknya.
Di kesempatan yang lain saya dihinggapi perasaan untuk larut atas tema merebak. Sejumlah penulis kerap kali melapangkan jalannya untuk berkesempatan nimbrung di soal itu. Bila sudah banyak yang nimbrung maka dapat dipahami akan ditemukan pengabaian seruan dalam tulisannya. Tidak banyak penulis yang memanfaatkan peluang dan menekuni sesuatu yang menyenangkan, menarik dan membesarkan hati, yang nantinya hanya ditawarkan kepada pembaca personal. Sungguh naif dan kesia-siaan baginya bila tak ada pembaca yang dibuatnya senang. Celah ini jadi peluang karena mampu diperhadapkan pada pembaca, meski orang tak berpendidikan pun bisa memahaminya. Paling tidak sekali baca akan mengguratkan epos nilai dalam usahanya untuk menimba ilmu. Inilah saya yang beri label ‘Penulis Bukan (milik) Penulis’.
Kematian Paul Walker juga tak luput dari perhatian saya. Pada saat yang sama ‘kecelakaan’ yang menimpa salah seorang penyair Indonesia dan menjadi bahan yang banyak diulas para kompasioner. Saya menemukan titik kesamaan dan memberinya judul ‘Paul Walker dan Kecelakaan Sejarah Novel ‘Pulang’. Namun Paul Walker tak harus membaca novel ‘Pulang’ untuk menemui takdir kepulangannya. Karena takdir dan ketidakadilan telah meninggalkan catatan berharga bagi sejarah kehidupan. Meski di bagian tertentu bisa saja terjadi sejarah yang melukai dirinya. Kita lahir untuk menuliskan sejarah, bukan untuk menikmati sejarah. Ketika kita menikmati sejarah itu, kita akan memahami kehidupan. Sekaligus kematian.
Saat kematian Nelson Mandela seolah menjadi lukisan kemanusiaan bagi saya. Ketiadaannya dan menjadi cermin pemaafan untuk sebuah kepemimpinan moral masih jauh meninggalkan kita. Sementara di sini pemaafan menjadi barang langka. Emosi mengambil peran dan mengutamakan cita rasa benar. Sehingga KH. Mustopa Bisri menasehati, “Kalau mampu, maafkanlah orang yang berbuat buruk kepadamu; kalau tidak, dan harus membalas, balaslah dengan yang setimpal saja. Mandela, terlampau pahit menjadi orang Indonesia.
Bersamaan dengan itu muncul ‘Selfie’atas apa yang dipertontonkan Obama Cs ditengah suasana kedukaan atas meninggalnya Mandela. Selfie telah menjadi barang mahal karena dipertontonkan. Namun, kemahalan menjadi murah karena dipertontonkan ditempat yang tak lazim. Tak perduli ada kesedihan sekitar. Acuh tak acuh terhadap setiap mata yang melihat. Dan produk selfie lewat sajian media lebih berkepentingan atas “siapa” ketimbang “apa”. Selfie ditengah bencana atau pun suasana kedukaan, tetap dan akan selalu mengundang sumir. Terlebih jika dilakukan oleh pejabat maupun publik figure. Semua gara-gara selfie.
Kemuraman senja telah membuat saya harus berdebat atas tulisan. Saya menulis untuk tidak menulis adalah tulisan mendera sudut pandang setiap penulis. Masing-masing manusia mempunyai kepribadian tertentu. Paling tidak, yang cocok untuk melayani pikiran-pikirannya. Menulis dianggap paling sering mengikuti suasana hati penulisnya. Namun, tak dipungkiri, ada yang melihat tulisan bermusuhan dengan penulisnya, tapi paling tidak, saya melihat pekerjaan menulis adalah usaha membuat penulisnya bertanggung jawab pada tulisannya.
Dilain waktu coba menyimak dan menonton bola. Drama Manchester City Vs Arsenal, Drama Nasri. Ya, Nasri berikut drama-drama perebutan bola dan fanatisme penonton di pinggir lapangan, selalu saja memberi kita banyak hal. Dari yang bukan saja aksi-aksi spektakuler gerak tubuh sang pesebakbola yang menggetarkan jala gawang, tetapi juga banyaknya kesempatan yang tak berbuah gol, justru kian dewasakan kita akan makna hidup. Sepakbola adalah drama hidup yang terjalani. Sementara saya hanya bisa menonton dan menyaksikannya lewat layar TV.
Barangkali saja kita belum menemukan tempat yang layak untuk berbicara apalagi berbuat. Rasanya sulit diungkapkan, betapa kebiasaan melanggar aturan, terjebak dalam perasaan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, dan budaya ingin cepat dilayani, akan menjadi kebiasaan yang masuk akal. Betapa rumitnya menjadi seorang yang waras apatah lagi untuk menjadi gila. Gila itu kenikmatan yg cukup memacetkan.
Dari kejauhan pula nampak pohon KKN yang berbuah kolusi, korupsi, dan nepotisme yang menjadi budaya atas hilangnya rasa malu dalam diri kita. Transformasi nilai-nilai budaya telah ikut bergeser dan mengalami disorientasi . Kita tentu prihatin betapa mentalitas dan prakteknya tetap mengambil ruang pemberitaan di penghujung tahun. Kita tentu harus prihatin, sama prihatinnya bahwa budaya menulis tidak diimbangi dengan budaya baca. Saya paham setiap penulis dan karyanya tak ada hubungannya seperti yang menimpa Sitok S.
Penulis kadang menghipnotis, pembaca kadang membisu. Refleksi Penulis: Tinta dan Kemaluan.
Perjalanan waktu sampai di akhir tahun 2013 akan segera kita akhiri. Membaca Kompasiana ibarat membaca buku sambil diskusi. Semoga di tahun yang baru tersemai, penulis-penulis dengan pandangan baru, inovasi baru, kreatifitas baru, spirit dan hikmah baru, demi menjalani keseimbangan baru.
Semoga masa itu akan datang.
Mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan buat pembaca Kompasiana.
Salam terhangat dari saya
Wahyuddin Junus
Profil dan Bacaan Terkait
Kompasiana Butuh Pembaca Kritis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H