Meski bukan banjir namun hujan membuat saya betah berlama-lama di rumah. Tak ada yang mendesak untuk disegerakan hari ini. Saya menghidupkan PC dan wifi untuk mencari informasi terbaru tentang banjir yang disuguhkan sejumlah media online. Rasanya kurang afdhol kalau belum mengunjungi Kompasiana. Di sana sudah pasti ada banjir tulisan setiap harinya.
Dengan melihat tampilan halaman depan Kompasiana termuat tulisan yang HL dari Kompasioner. Karena banjir menjadi tema aktual dan secara kebetulan dekat dengan tahun politik saat ini, maka wajar tema itu menjadi sajian HL. Saya terkesima dan sedikit ambigu pada salah satu tulisan HL kali ini. Menyorot banjir dengan perspektif yang sederhana namun dangkal analisis. Di sini Banjir di Cirebon, Bogor, Bandung; Mengapa Kinerja Aher Tidak Dikritik ?
Ilyani Sudardjat, sang penulis menyorot banjir di Jawa Barat yang juga parah. Kemudian mempertanyakan di mana tanggung jawab Gubermur Jawa Barat, Aher, mengatasi banjir di daerah wewenang teritorialnya. Penulis coba membandingkan yang dialami Jakarta dengan banjir serupa, meski Jokowi sudah berbuat untuk mengatasi banjir, namun tetap menuai banjir kritik di mana-mana. Demi keadilan, maka penulis bertanya, Mengapa kinerja Aher tidak dikritik ?
Saat membaca judul tulisan di mana kalimant pertanyaan yang dijadikan judul tulisan, dengan sederhana sudah dapat ditebak ke mana tulisan ini akan diakhiri. Prediksi saya ternyata benar diakhir tulisan penulis menyelipkan pujian di tempat banjir yang lain. Mungkin Napoleon Hill benar pada jamannya, “Dunia punya kebiasaan menyediakan ruang bagi orang yang kata-kata dan tindakannya menunjukkan dia tahu kemana dia menuju.”
Sebagai pembaca tentunya diharapkan untuk kritis. Apalagi banjir saat ini sudah melebar. Banjir dalam pandangan ilmu pengetahuan terkini lebih berposisi sebagai implikasi/respon hukum alam daripada sebagai 'pressure effect' dalam sebuah sistem bumi. Maka di tahun politik 2014 mengindikasikan juga banjir sebagai tekanan kepentingan dalam sistem politik.
Terlepas dari personalitas figur yang coba dibangun, kritik saya atas tulisan tersebut adalah melakukan kritik pada poin yg salah. Dan coba memuji pada perspektif yang tidak tepat. Banjir yang terjadi di Jawa Barat dan Jakarta termasuk di daerah-daerah lain di Indonesia adalah akumulasi kuantitas hujan yang mengalami peningkatan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan belum bisa membebaskan dirinya dari manusia sentries. Sebuah gejala komunal yang tersaji.
Tanpa melihat banjir dalam kalkulasi politik, maka harapan penulisnya agar Aher mendapat kritik hanya karena Jokowi juga mendapat kritik adalah perkara yang tak bisa dipaksakan begitu saja. Jokowi yang dikritik tidak menjadi tesis bahwa semua Gubernur di Indonesia wajib menjalani terapi kritik saat banjir datang. Sama hal kita ingin melakukan pendar kegelisahan atas ketakmampuan kita mengambil sesuatu yang jauh dari jangkauan tangan.
Mengakhiri catatan ini, saya berpandangan tak perlu ada stereotif berlebihan karena hanya akan mematikan pikiran kritis. Gagasan setiap penulis sudah seharusnya melakukan kritik secara proporsianal. Melakukan kritik pada satu poin tertentu sejalan dengan sajian pujian pada hal ini. Ini menjadikan setiap penulis bisa menjadi adil. Terutama saat berniat menelorkan kritik. Kalau pun kritik itu tidak bisa disandingkan dengan pujian, maka cukuplah kita kritis dalam pemikiran.
Terkadang saya hanya perlu menitipkannya. Itu saja.
Profil dan Bacaan Terkait
Kompasiana : Penulis Membaca dan Pembaca Menulis
Kompasianan Butuh Pembaca Kritis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H