Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Accaru-caru, Ritual Leluhur yang Masih Dipraktikkan Nelayan di Galesong

24 Maret 2018   15:19 Diperbarui: 24 Maret 2018   20:37 2806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dicontohkan pada makanan umba-umba (onde-onde), yang terbuat dari beras ketan dan dibentuk seperti bola pingpong yang berisi gula merah dan diberi kepala muda yang telah diparut.

"Kue-kue ini selalu muncul ke permukaan air ketika sudah masak. Itulah sebabnya kue ini selalu dijadikan simbol atau lambang harapan dalam setiap hajatan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, benda ini sebagai lambang harapan agar rezekinya selalu muncul sebagaimana sifat umba-umba tersebut," ungkap Tadjuddin.

Sesajen lain, yang diistilahkan Tadjuddin sebagai benda budaya, adalah kulapisik (kue lapis). Makanan ini terbuat dari beras tepung ketan, santan, gula pasir dan pewarna. Dalam pembuatan sengaja dibuat berlapis-lapis.

"Maknanya bahwa sebagai lambang harapan agar rezeki mereka akan berlapis-lapis sebagaimana ditunjukkan oleh sifat atau bentuk kue tersebut."

Ada juga unti tekne (pisang raja), sejenis pisang yang sangat manis rasanya. Makna keberadaannya dalam ritual adalah agar nelayan selalu memperoleh kesejahteraan lahir dan batin dalam menjalankan aktivitas sebagaimana rasa manis dari pisang tersebut.

Benda budaya lain adalah lekok (sirih), bayao jangang (telur ayam), rappo (buah pinang) dan dupa.Kelima macam benda budaya tersebut merupakan perangkat sesajen yang berfungsi sebagai lambang atau simbol penghormatan kepada roh leluhur dan makhluk lainnya.

"Roh leluhur harus dihormati karena justru merekalah yang memberi pengetahuan pelayaran sebagai bekal diri dalam menjalankan aktivitas di laut lepas. Begitu pula makhluk halus harus dimuliakan karena dialah yang menjaga alam raya. Mereka harus disuguhi sesajen agar tidak menimbulkan marah bahaya," jelas Tadjuddin.

Menurut Daeng Tobo, pemberian sesajen ini biasanya dilakukan sesuai dengan kesanggupan masing-masing nelayan. Semakin besar perahu atau jenis armada yang dimiliki nelayan maka semakin besar nilai atau besar sesajen yang harus dipersembahkan. Apalagi jika nelayan yang akan pergi melaut dalam waktu lama, maka biasanya sesajen yang harus mereka siapkan akan semakin banyak pula.

Selain accaru-caru ini juga dikenal ritual yang disebut annisik atau mendempul kisi-kisi perahu. Dalam acara ini dilakukan pemeriksaan sekiranya masih ada kisi-kisi yang harus ditutupi atau didempul agar tidak mudah bocor pada saat perahu berlayar di laut. Dilakukan pula pembersihan dengan cara menyiramkan air pada roh jahat yang berkeliaran di sekeliling mereka agar bersih dan terhindar dari segala gangguan roh jahat di sekeliling mereka.

"Acara annisik dapat disejajarkan dengan acara appasilik atau membersihkan diri dengan memandikan bagi seorang yang hamil tujuh atau delapan bulan, saat-saat menjelang kelahiran. Acara ini dimaksudkan agar dalam proses kelahiran bayi tidak mengalami gangguan dari roh jahat," jelas Tadjuddin.

Di hari yang lain, Daeng Tobo mengajak saya ke sebuah makam leluhurnya bernama Kare Panai, di Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara, berjarak beberapa kilometer dari desanya. Makam tersebut konon telah berpindah berkali-kali hingga ditempatkan di desa tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun