Perahu fiber baru saja selesai dicat. Butuh waktu sekitar dua minggu bagi pemiliknya, Gassing Karawe, untuk melengkapi dan mengecat seluruh bagian perahu, termasuk memberi nama perahunya Nabila, sesuai dengan nama cucunya. Pagi itu, pertengahan April 2017, adalah hari yang baik untuk digunakan untuk pertama kali. Sebuah ritual pun dilakukan, yang dinamakan accaru-caru.
Accaru-caru atau accera turungang adalah ritual leluhur yang masih dipraktikkan nelayan di Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, ketika perahu baru saja diperbaiki atau untuk perahu baru yang akan segera digunakan. Ritual ini dipimpin oleh seorang dukun atau paccaru-paccaru bernama Daeng Lallo. Paccaru-caru biasanya adalah orang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan doa-doa leluhur yang baik.
Accaru-caru bisa diartikan sebagai kenduri atau baca doa di mana di atas perahu diletakkan beragam pakrappo atau sesajen. Jenisnya beragam macam, mulai dari unti tekne (pisang raja), bajao jangang (telur ayam), songkolo le'leng (nasi ketan hitam), songkolok kebok (nasi ketan putih), umba-umba(onde-onde), kulapisik (kue lapis), lekok (daun sirih) dan rappo (buah pinang).
Dua ekor ayam, jantan dan betina disembelih dan diletakkan di depan perahu. Perahu diberi minyak yang sangat harum. Di bagian belakang, seorang sanro atau sesepuh berdoa. Orang-orang berdiri, termasuk pemilik perahu, berdiri dengan khusyuk di sekelilingnya.
Setelah dupa dinyalakan dan doa-doa dibacakan, sanro kemudian melanjutkan ritual dengan cara memaku bagian depan perahu dengan uang koin. Di bagian tengah dipahat lalu dimasukkan besi tipis semacam jarum hingga menyatu dengan bagian pusat atau posi perahu.Â
Di bagian belakang juga dipahat lalu dimasukkan koin. Setelah semuanya berakhir, acara pun selesai, beragam makanan yang disajikan di bagian tengah perahu diambil secara berebutan oleh yang hadir di sekitar perahu. Semacam berkah bagi mereka. Setelah itu, perahu itu lalu diangkat oleh sekitar lima orang ke laut. Karena terbuat dari bahan fiber, pemindahan perahu ke laut ini tak butuh waktu dan tenaga yang banyak. Jarak antara tempat ritual dan garis pantai pun hanya beberapa puluh meter saja.
Menurut Daeng Tobo, seorang Papalele di Desa Tamalate, Galesong Utara, accaru-caru adalah ritual wajib dipenuhi oleh setiap nelayan yang baru saja akan memulai melaut. Tak boleh tidak, katanya. Semacam persembahan bagi 'pemilik laut', entah makhluk halus, roh-roh suci yang diharapkan akan memberi keselamatan atau tidak mengganggu nelayan ketika melaut. Mereka, makhluk-makhluk halus itu punya nama, yang telah diketahui nelayan, namun Daeng Tobo, enggan atau mungkin takut menyebutkannya.
"Ada namanya, anak-anak juga sudah tahu, tapi tak usah saya sebutkan," katanya sambil tertawa.
Accaru-caru ini bisa disamakan dengan ritual atompolok' atau menaruh ramuan obat di atas ubun-ubun anak. Dengan acara ini mereka mengharapkan agar makhluk halus yang berada di sekitarnya tidak mengganggu si anak, malah ikut menjaganya.
Accaru-caru hanya satu dari sekian banyak ritual bagi nelayan Galesong atau suku Makassar pada umumnya. Di waktu tertentu nelayan juga akan membawa sesajen ke pantai, batas antara laut dan daratan. Kadang juga dibawa ke tengah laut yang dianggap memiliki 'penunggu'. Di tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker di tengah laut, di sanalah sesajen itu dipersembahkan dengan cara dialirkan ke laut.
Terlepas dari tujuan atau kepada siapa sesajen itu ditujukan, menurut Tadjuddin Maknun, pakrappo atau sesajen yang disajikan dalam ritual caru-caru itu sebenarnya punya makna tertentu.