Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Para Penjaga Laut Spermonde

13 Maret 2018   09:32 Diperbarui: 13 Maret 2018   09:41 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Pulau Bontosua siang itu sangat panas. Matahari bersinar terik hingga 34 C. Hawa panas ini terasa di dalam masjid yang dipenuhi jemaah salat Jumat. Kipas angin pendingin ruangan tak berfungsi akibat listrik yang padam tiba-tiba di tengah waktu salat. Namun tak ada yang bergeming dari tempatnya. Semua orang duduk takzim hingga akhir doa dari imam.

Setelah salat, Muhammad Ridwan, salah seorang warga setempat, tergopoh-gopoh pulang ke rumahnya yang tak jauh dari masjid. Sebelumnya ia meminta saya singgah di rumahnya setelah salat Jumat. Ia ingin memperlihatkan sesuatu yang penting, katanya.

Ridwan bertubuh tegak dengan kulit kecokelatan terbakar matahari, khas masyarakat pesisir. Usianya sekitar 40 tahun meski secara postur terlihat lebih muda. Bicaranya tegas dengan tatapan yang tajam. Sehari-hari ia adalah nelayan yang merangkap sebagai pengawas perairan, tepatnya sebagai koordinator Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk wilayah pulau yang terletak di Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Di rumahnya yang baru saja direnovasi ia memperlihatkan data-data pengawasan dalam setahun terakhir, lengkap dengan foto-foto. Sebagai pengawas perairan ia dilengkapi dengan pakaian selam beserta tabungnya. Ia juga punya perahu fiber untuk pengawasan yang diakunya milik pribadi, kecuali mesinnya yang merupakan bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beberapa tahun lalu.

"Ini piagam-piagam kegiatan dan sertifikat. Kami banyak dilatih untuk melakukan pengawasan. Ada juga sertifikat diving dan beberapa penghargaan dari gubernur," katanya dengan bangga.

Pokmaswas sendiri memiliki peran penting dalam ikut mengawasi perairan. Sebuah model pengawasan perairan berbasis partisipasi masyarakat. Mereka direkrut dari masyarakat setempat yang bekerja secara sukarela membantu pemerintah melakukan pengawasan perairan. Mereka tak digaji secara rutin, hanya berupa insentif yang diterima setiap tahun. Jumlahnya pun tak besar karena harus dibagi rata kepada seluruh anggota kelompok. Sering kali, malah mereka harus menggunakan biaya pribadi untuk ongkos transportasi dan komunikasi.

Meski tak digaji, Ridwan tetap terlihat bersemangat dengan pekerjaannya. Bajunya yang bertulis 'Pokmaswas' di bagian belakang dan Turn Back Illegal Fishing di bagian depan, membuatnya tampak menonjol dibanding warga lain. Ada semacam penghargaan tertentu bagi warga ketika berpapasan dengannya.

Berawal dari Program Coremap

Keterlibatan Ridwan dalam Pokmaswas berawal dari pelaksanaan program Coremap pada tahun 2005 silam. Ketika kepala desa saat itu menawarkan kepada warga untuk terlibat sebagai pengawas perairan, Ridwan langsung mengajukan diri. Meski diberitahu tentang risiko dari pekerjaan ini, tak mengurungkan niatnya. Ia bahkan kemudian ditunjuk sebagai koordinator, memimpin 11 orang anggota Pokmaswas lainnya.

Menurutnya, keinginannya untuk terlibat di Pokmaswas didasari oleh rasa tanggung jawabnya untuk menjaga wilayah sekitar pulau tempat kelahirannya tersebut. Selain itu, ia merasa bangga bisa bergaul dengan pejabat-pejabat dari kabupaten, provinsi dan kementerian. Apalagi kemudian ia banyak mengikuti pelatihan dan memperoleh penghargaan dari pemerintah. Semua itu memotivasinya untuk bekerja lebih baik.

"Meski tak digaji namun saya tetap akan bekerja maksimal. Saya ingin mendapatkan penilaian baik atas pekerjaan saya," katanya bersemangat.

Meskipun diberi wewenang dan tanggung jawab yang besar, Ridwan mengakui selalu mengikuti prosedur pengawasan yang ada. Tidak melakukan tindakan apa pun kepada pelaku. Hanya sekedar mencatat pelanggaran dan melaporkannya pada dinas atau Polair setempat.

"Kalau ada kasus kita langsung ke lokasi, mencatat dengan rinci, siapa pelaku dan barang buktinya apa, lalu melaporkannya ke petugas yang lebih berwenang. Berdasarkan laporan kami inilah kemudian polisi atau Polair akan mengejar dan menangkap pelaku," katanya.

Kasus-kasus pelanggaran biasanya berupa bom dan bius ikan. Jika bom ikan bisa diketahui dari suara ledakan, maka pembiusan ikan biasanya dilihat dari aktivitas penyelaman yang dilakukan. Di siang hari aktivitas ini mudah diketahui sehingga kemudian banyak yang melakukannya secara sembunyi-sembunyi di malam hari. Aktivitas mereka biasanya baru diketahui jika ada laporan nelayan setempat yang kebetulan sedang melaut.

"Kadang ada laporan malam-malam. Kami langsung koordinasi dengan seluruh anggota kemudian ke lokasi. Pelaku biasanya dari pulau-pulau sekitar."

Wilayah kerja pengawasan Ridwan sendiri mencakup perairan Pulau Bontosua mencakup beberapa radius kilometer yang mudah diketahui dengan adanya penanda berupa bentangan tali yang diberi pelampung atau bisa disebut DPL. 

Sikap hati-hati dan kewaspadaan memang dibutuhkan dalam pekerjaan ini. Pelaku bom ikan misalnya, bisa saja menggunakan bom ikan yang dimilikinya untuk menyerang, atau menggunakan jenis senjata lain. Untungnya selama ini belum pernah ada kontak fisik dengan para pelaku.

Meski demikian, Ridwan mengakui sering kali mendapat ancaman, meski tidak secara langsung disampaikan kepada dirinya. Hanya berupa desas-desus. Mereka konon masuk dalam daftar sebagai orang-orang yang 'dicekal' memasuki beberapa pulau desa yang warganya banyak dilaporkan Ridwan dan kawan-kawannya.

"Sering kami dengar ada ancaman-ancaman namun kami tidak takut selama kami menjalankan tugas yang diamanahkan. Katanya ada yang marah dilaporkan namun saya tidak peduli."

Tugas lain yang dilakukan Ridwan dan anggota Pokmaswas lainnya adalah membantu dalam mensosialisasikan berbagai kebijakan dan program pemerintah. Termasuk di dalamnya penggunaan alat tangkap yang tidak merusak, tidak membuang sampah di laut, dan lainnya.

Sukses sebagai Nelayan

Ridwan sendiri dulunya merupakan ponggawa pemilik kapal penangkap ikan yang disebut kapal gae, atau dikenal sebagai kapal purse seine. Ia punya armada sendiri dengan jumlah awak belasan orang, terdiri dari warga sekitar atau dari pulau-pulau lain yang direkrut khusus untuk menangkap ikan berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu di laut. Kapal gae ini jangkauannya bisa mencapai Kendari di Sulawesi Tenggara, Kalimantan dan malah bisa lebih jauh lagi mencapai perairan Nusa Tenggara.

Selama 7 tahun ia maggae, istilah untuk penangkapan dengan metode ini, Ridwan merasa tidak mampu menghasilkan produksi yang memadai. Bahkan terkadang rugi. Apalagi ketika ia harus merekrut awak dari daerah lain, yang harus diongkosi dalam jumlah besar.

Karena tak sanggup lagi mengoperasikan armadanya, Ridwan kemudian menjual kapal warisan mertuanya tersebut. Ia beralih menjadi nelayan pengumpul. Membeli ikan dari nelayan lain kemudian dijual ke pedagang yang lebih besar di Makassar. Usaha ini pun kemudian terhenti terkendala modal.

Kini Ridwan, sebagaimana sebagian besar nelayan di Pulau Bontosua lebih banyak menangkap cumi-cumi, yang mulai dilakoninya sejak 2015 silam. Populasi cumi-cumi di sekitar perairan Pulau Bontosua cukup besar, apalagi di musim-musim tertentu, antara Juni-Agustus. Cumi-cumi ditangkap dengan cara dipancing. Dalam sehari hasil tangkapan bisa mencapai 20 kg per hari, dengan harga Rp 30 ribu per kg.

"Pernah saya memperoleh penghasilan hingga Rp 16 juta per bulan. Tergantung musimnya saja."

Usaha lain yang dilakoni Ridwan adalah budidaya tiram mutiara, budidaya kerapu cantang dan lobster. Usaha ini masih tergolong baru, dimulai sekitar 3 tahun silam. Ridwan optimis panen budidayanya, khususnya tiram mutiara, bisa memberi hasil yang besar. Ia merencanakan panen perdana beberapa bulan ke depan.    

Menjaga Terumbu Karang di Pulau Samalona

Selain Ridwan, anggota Pokmaswas yang cukup aktif menjaga perairan di sekitarnya adalah Kamaruddin Daeng Lallo. Ia berdomisili di Pulau Samalona, salah satu pulau di Kepulauan Spermonde yang secara administratif masuk dalam wilayah Kota Makassar.

Kamaruddin beberapa tahun terakhir menjadi koordinator Pokmaswas Barakuda dengan ruang lingkup pengawasan mencakup sekitar perairan Pulau Samalona.

Meski Pulau Samalona luasnya tak cukup 2 hektar namun menjadi tantangan tersendiri bagi Kamaruddin mengawasi perairan dari berbagai aktivis penangkapan ikan menggunakan alat-alat tangkap yang tidak diperkenankan, seperti cantrang, trawl dan aktivitas pemboman dan pembiusan ikan.

Sebagai kawasan wisata dengan potensi utama pada keindahan terumbu karang, Kamaruddin yang juga memiliki pondok dan usaha penyewaan perlengkapan diving dan snorkling merasa berkepentingan menjaga kawasan tersebut dari berbagai aktivitas merusak tersebut.

"Kalau terumbu karangnya rusak, tak ada lagi yang menjadi jualan pulau ini. orang ke sini kan mau diving dan snorkling, melihat keindahan terumbu karang. Makanya ini harus dijaga," katanya.

Tidak hanya aktivitas merusak tersebut, tantangan lain bagi keberlanjutan terumbu karang di perairan Pulau Samalona adalah banyaknya sampah kiriman dari berbagai penjuru. Tiap hari selalu saja ada tumpukan sampah yang terbawa arus dan memenuhi pantai Pulau Samalona.

"Sebagai anggota Pokmaswas dan masyarakat pulau saya merasa menjadi tanggung jawab kami untuk membersihkan sampah-sampah yang masuk dari berbagai penjuru. Apalagi sampah-sampah ini bisa saja tersangkut di terumbu karang. Kita kontrol dan bersihkan setiap saat."

Di salah satu sisi pulau sendiri terdapat sebuah lubang pembuangan sampah, di mana sampah dikumpulkan dan dibakar. Sampah plastik yang masih bagus dikumpulkan untuk dijual.

Memaksimalkan Peran Pokmaswas

Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang efektif mulai dijalankan awal tahun 2017, memberi konsekuensi terhadap perluasan wilayah tanggung jawab pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dari 4-12 mil menjadi 0-12 mil. Implikasi dari kebijakan ini adalah diperlukannya perbaikan pola dan strategi pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya kelautan oleh pemerintah provinsi dari kerja koordinasi menjadi kerja operasional pada wilayah 0 - 4 mil laut.

Menurut Sulkaf S Latief, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan,  langkah strategis yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan adalah membentuk 3 (tiga) Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pembinaan, Pengelolaan dan Pengendalian sumber daya Kelautan dan Perikanan yang bertugas pada masing-masing kawasan wilayah perairan laut di Sulawesi Selatan.

Ketiga UPTD tersebut antara lain; UPTD PPPSDKP Selat Makassar berkedudukan di Kabupaten Barru, UPTD PPPSDKP Laut Flores berkedudukan di Kabupaten Bulukumba dan UPTD P3SDKP Teluk Bone berkedudukan di Kabupaten Bone.

"Keberadaan UPTD ini nantinya akan lebih mempermudah pembinaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya serta koordinasi dengan kabupaten/kota terhadap berbagai potensi terjadinya tindakan ilegal, unreported dan unregulated (IUU) fishing di perairan laut masing-masing daerah. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sekalipun kewenangan pengaturan lautnya  ada di provinsi tapi kan yang memanfaatkan adalah nelayan-nelayan yang tinggalnya di darat. Jadi kami harus kerja sama dengan kabupaten/kota dalam hal pembinaan."

Menurutnya, keberadaan UPTD di tiga daerah ini pun setelah mendengar dan memperhatikan usulan, saran dan pertimbangan daerah. Bahkan ketiga Pemda tempat berkedudukan UPTD P3SDKP tersebut bersedia membantu meminjamkan kantor dengan fasilitas lainnya agar unit tersebut segera melaksanakan fungsinya.

"Kabupaten Luwu Utara sebagai contoh juga mengajukan diri dijadikan tempat kedudukan salah satu PTD yang dibentuk provinsi tapi karena terlambat pengajuannya maka penempatannya tidak berada di kabupaten tersebut. Kita sebenarnya bisa saja bikin banyak UPTD di daerah tapi kalau bikin banyak kan ada konsekuensi biaya dan sumber daya manusia yang dilibatkan, sementara UPTD ini sepenuhnya dibiayai oleh provinsi sementara kemampuan anggaran terbatas."

Strategi lain dalam mengefektifkan pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan/pengawasan adalah dengan memberdayakan Kelompok Masyarakat pengawas (Pokmaswas) di daerah-daerah, meskipun tantangannya tidak sedikit seperti pada jauhnya jarak mereka dari provinsi.

"Kalau mereka mau melapor memang jauh sekali, tapi kan yang bertugas mengawasi laut itu  bukan cuma Dinas Kelautan dan Perikanan saja, ada Polairud dan Angkatan Laut, Semuanya memiliki mandat tersebut sebagaimana diatur dalam UU 31 jo. UU 45 tentang Perikanan. Sehingga yang diatur kemudian tinggal bagaimana mekanisme pelaporan dan koordinasi dapat diefektifkan antara ketiga lembaga tersebut"

Dalam rangka koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota Pemprov Sulsel saat ini tengah menggodok Peraturan Gubernur. Inisiatif Pergub ini sendiri berasal dari permintaan daerah agar memiliki pijakan hukum dalam kerja sama sehingga tahun 2018 nanti pengawasan di laut bisa dianggarkan di dalam APBD Kabupaten/Kota.

"Ini supaya kami bisa bekerja sama dengan kabupaten/kota agar mereka bisa mengambil peran. Karena kalau kabupaten/kota sekarang tidak bisa menganggarkan pengawasan di laut melalui APBD-nya masing-masing karena sudah dibatasi oleh kewenangan yang diatur pada UU 23 Tahun 2014, walaupun sebenarnya kalau dikatakan pengawasan nelayan itu sendiri  bisa saja. Yang di pinggir-pinggir laut kan umumnya kampung-kampung nelayan yang menjadi kewenangan kab/kota untuk dilakukan pembinaan. Dan pemerintah setempatlah yang paling tahu tentang aktivitas dan kondisi mereka."

Menurut Sulkaf, pengawasan di perairan Sulsel memang patut mendapat perhatian sebab data menunjukkan  masih tingginya aktivitas destructive fishing di masyarakat seperti penggunaan bom ikan dan bius, antara lain di kawasan perairan Bone, Pangkep, Bulukumba dan Luwu dan Luwu Utara.

"Kalau di Luwu Timur kondisinya agak lebih aman karena terdapat Pos Lantamal di sana. Namun itu juga hanya dijaga dua orang aparat Angkatan Laut  dengan Kawasan laut yang harus diawasi sedemikian luas."

Sulkaf berharap fungsi pengawasan ini nantinya tetap bisa dianggarkan juga lembaga pemerintah lain yang terkait, sehingga berbagai pihak dapat saling bersinergi dan berbagi tugas.

"Model ini sudah lama kita lakukan dengan Polairud dan Angkatan Laut terutama pada pelaksanaan patroli gabungan. Kadang kami pakai fasilitas Polairud namun penggajian staf kami yang terlibat tetap di kami. Selama ini koordinasi dengan Polairud sangat baik, kalau mereka menangkap pelaku tindak pidana perikanan kami juga diberitahu, kita juga seperti itu. Cuma kita memang lebih banyak pada pola pembinaan kalau masih terkait pelanggaran administrasi sehingga dikategorikan ilegal. Tapi kalau penggunaan bom dan bius tidak ada ampun langsung ditangkap."

Menurut data dari DKP Sulsel, saat ini terdapat 237 kelompok Pokmaswas di seluruh Sulsel. Sebanyak 148 kelompok yang masih aktif hingga saat ini, sisanya sebanyak 89 kelompok tercatat tidak aktif.

Secara keanggotaan, secara keseluruhan terdaftar 4.492 anggota Pokmaswas untuk seluruh Sulsel, namun hanya 2.726 orang yang aktif, sementara sisanya sebanyak 1.756 dinyatakan tidak aktif.

"Terhadap pengurus kelompok dan anggota Pokmaswas tersebut kita lebih banyak melakukan  kegiatan sosialisasi dan pembinaan. Inti pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan dan pengawasan itu sebenarnya kan upaya melakukan penyadaran. Dengan adanya kesadaran tersebut mereka pada akhirnya akan meyakini bahwa keberlangsungan usaha mereka ada pada perlindungan ekosistem kawasan yang ada di sekitar mereka," ungkap Andi Chairil Anwar, Sekretaris DKP Sulsel.

Kelompok-kelompok tersebut umumnya telah mendapatkan dukungan dari DKP Sulsel berupa peralatan-peralatan yang bisa digunakan dalam rangka pengendalian pengelolaan sumber daya/pengawasan, seperti ponsel android, GPS, perahu dan sebagainya.

"Secara rutin petugas pengawas perikanan di tiga UPT, khususnya setelah UU 23 tahun 2014 ini diberlakukan, melakukan patroli di wilayah-wilayah yang rawan tindak pelanggaran. Kita punya peta wilayah-wilayah rawan tersebut. Kita target nantinya sekitar 1.300 km2 kawasan yang bebas tindakan-tindakan yang destruktif, tidak melaporkan hasil-hasil tangkapan dan bertentangan dengan regulasi. Hal ini juga selalu disampaikan oleh Bu Menteri Susi."

Menurut Chairil, patroli rutin yang dilakukan oleh pengawas perikanan pendekatannya berbeda dengan tupoksi yang dilaksanakan Polairud maupun Angkatan Laut. Kalau Polairud dan Angkatan Laut lebih cenderung pada upaya penegakan hukumnya namun pengawas perikanan lebih dititikberatkan pada pembinaan dan pencegahan atas niat melakukan perbuatan illegalfishing dari masyarakat.

"Kecuali jika pada kegiatan patroli ditemukan alat bukti pelanggaran cukup kita juga ambil dan proses. Sebab di DKP juga ada penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS yang punya mandat akan hal itu."

Sekilas tentang Kepulauan Spermonde

Kepulauan Spermonde memiliki tingkat keragaman karang yang cukup tinggi di mana terdapat 78 genera dengan total spesies 262. Bagi yang hobi olahraga penyelaman (diving) kawasan ini sebenarnya sudah tidak asing lagi. Sejumlah spot penyelaman yang cukup dikenal di kawasan ini antara lain: Mercusuar, Samalona West, DPL Point, Jetty/House Reef, Foliose Point, Baby Coral, Eliana Point, Nudieville, Kampung Anemone. Untuk titik selam yang terbaik di kawasan ini berada di Taman Laut Kapoposang, yang berada di Pulau Kapoposang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep).

Konon nama Spermonde diberikan oleh orang-orang Belanda, yang berasal dari kata Sperma, karena dari udara pulau-pulau ini terlihat seperti sperma yang bergerak. Warga lokal sendiri menyebut gugusan pulau ini dengan nama Sangkarang.

Kepulauan Spermonde yang berada dari Takalar hingga Mamuju Sulawesi Barat, dibagi menjadi empat zona dengan menarik garis dari utara ke arah selatan. Zona pertama atau zona yang paling dangkal, sejajar dengan garis pantai dengan kedalaman maksimum 20 meter dan sebagian besar didominasi oleh gundukan pasir. 

Zona kedua dimulai dari 5 km dari garis pantai dengan kedalaman 30 meter dan terumbu karang yang sebagian besar terletak di sisi pulau (fringing reefs). Zona ketiga mulai dari 12,5 km di lepas pantai-dengan kedalaman 30-50 m dan terumbu karang di daerah dengan sedikit gundukan pasir. Zona keempat atau zona terluar atau zona terumbu karang penghalang (barrier reefs) dimulai dari jarak sekitar 30 km dari pantai Makassar. Bagian timur mencapai kedalaman 40-50 m, sedangkan bagian barat zona ini memiliki kontur curam/drop off dengan kedalaman lebih dari 100 m.

Sebagai surga daerah pesisir. Suplai ikan untuk kawasan Makassar dan sekitarnya sebagian besar berasal dari kawasan ini, sehingga bisa dibayangkan betapa besar tingkat eksploitasi perikanan di kawasan ini.

Dengan semakin tingginya tuntutan produksi maka berbagai cara eksploitasi hasil laut pun dilakukan, yang seringnya justru tidak ramah lingkungan, seperti pemboman, pembiusan dan penangkapan dengan jaring trawl atau pukat harimau.

Awaluddinnoer, peneliti kelautan yang pernah meneliti kawasan ini mengatakan bahwa kerusakan habitat yang terjadi di Spermonde akibat pemanfaatan sumber daya laut yang 'open access' dengan aktivitas yang over exploitation (pemanfaatan berlebih).

"Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bom ikan, bius, dan jaring trawl menyebabkan potensi perikanan dari tahun ke tahun semakin menurun. Begitu pun dengan kualitas karang yang semakin rusak," ungkap Awaluddinnoer.

Kondisi ini diperparah lagi dengan penambangan karang sebagai bahan bangunan, yang menyebabkan kondisi terumbu karang sebagai tempat hidup, memijah dan pembesaran jenis ikan semakin rusak dan berkurang. Terumbu karang Spermonde dari tahun ke tahun kian tergerus. Dampak dari penambangan karang mulai terlihat dari banyaknya pulau di Spermonde yang mengalami abrasi hebat, bahkan ada yang telah mencapai 2-3 meter setiap tahunnya.

Menurut Awaluddinnoer, dari hasil penelitiannya di sejumlah pulau di kawasan ini, aktivitas bom ikan ditemukan di hampir semua tempat, dan sangat intens di sejumlah Pulau seperti Pulau Lumu-lumu.

Bom ikan yang digunakan umumnya dirakit sendiri oleh nelayan, karena pembuatannya yang sangat sederhana dan tidak memerlukan keahlian khusus. Awalnya wadah bom yang digunakan adalah bekas botol kecap, tetapi berkembang menjadi ukuran besar menggunakan jeriken ukuran 30 liter, untuk mendapatkan daya ledak yang lebih kuat.

"Warga berkilah bahwa jika wadah bomnya kecil maka hasil yang diperoleh pun sedikit, sehingga mereka pun membuat bom dengan wadah yang lebih besar. Dalam sehari kita bisa mendengar tiga hingga empat kali pengeboman di berbagai tempat," ungkapnya.

Dari beberapa ekspedisi bawah laut yang dilakukan Awaluddinnoer menemukan besarnya tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan bom ikan ini.

Cara lain yang digunakan adalah dengan menggunakan racun sianida. Sianida ini bersifat membius sehingga ikan akan mudah ditangkap. Dalam dosis tertentu penggunaan sianida ini justru dapat mematikan ikan.

"Hal yang tak diketahui masyarakat bahwa penggunaan racun ini bisa berdampak pada kelangsungan ekosistem karang. Karang yang terkena sianida akan mulai stres dan melepas jaringan polip sehingga karang terlihat putih (bleaching) dan kemudian koloni karang akan ditumbuhi oleh alga," jelas Awaluddinnoer.

Aktivitas lain yang tak kalah merugikannya adalah penggunaan jaring trawl atau yang lebih dikenal dengan pukat harimau. Jenis jaring ini dapat merusak terumbu karang dan kestabilan ekologi, karena ukuran jaringnya yang semakin kecil, sehingga ikan ukuran besar dan kecil tertangkap semua, bahkan sering kali terjadi biota laut yang dilindungi seperti penyu, hiu dan pari manta ikut tertangkap.

Menurut Awaluddinnoer, penggunaan berbagai cara penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan yang dilakukan masyarakat selama ini tak terlepas dari dukungan dan bekingan cukong atau Punggawa lokal.

"Pada pagi hari sebelum melaut para nelayan itu akan mengambil bom atau racun di rumah Punggawa. Mereka tidak berani menyimpan sendiri peralatan itu. Sementara Punggawa ini kesannya tidak bisa tersentuh oleh siapa pun," ungkapnya.

Dengan kondisi seperti ini, berbagai upaya pemerintah ataupun NGO sebenarnya sudah dilakukan, hanya saja berbagai upaya ini dinilai tidak efektif. Berbagai kendala yang dihadapi selain kurangnya pengawasan juga karena faktor lemahnya kelembagaan masyarakat. Ini berdampak pada sikap acuh tak acuh masyarakat atas berbagai upaya konservasi yang dilakukan selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun