NURBAYA (44) tak henti-hentinya tersenyum. Wajahnya sumringah menjawab setiap pertanyaan yang diajukan padanya. Ada nada bangga di suaranya ketika menceritakan seorang anaknya baru saja selesai kuliah di Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar (UNM). Seorang lagi anaknya masih sementara menempuh pendidikan manajemen di STIEM LPI Makassar, dan satu lagi meski tidak lanjut kuliah namun telah menikah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta di Makassar.
“Alhamdulillah, hasil tambak yang membaik selain untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk membiayai kuliah anak-anak. Hasil panen sekarang lumayan baik dan lancar. Utang-utang di tengkulak pun sudah terbayar semua, jadi semua keuntungan bisa dinikmati sendiri,” katanya tanpa melepaskan senyum.
Nurbaya adalah warga Pulau Lakkang, Kelurahan Lakkang, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Ia dan semuanya memiliki tambak seluas 1 hektar untuk budidaya udang dan ikan bandeng. Suaminya, Hamiruddin (47) kini menjabat sebagai Sekretaris pada Kelompok Bonto Perak 1, salah satu kelompok nelayan budidaya di Pulau Lakkang, yang dua tahun terakhir mendapatkan bantuan dana dari Program Coastal Community Development International Fund for Agricultural Development (CCD-IFAD) atau disebut Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (PMP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan kerja sama dengan IFAD.
Pernyataan Nurbaya diamini Abdul Haris, Ketua Kelompok Bonto Perak 1. Haris memperlihatkan sebuah catatan progres produksi dan penghasilan anggota kelompok yang menunjukkan trend peningkatan setiap tahunnya. Ia juga memperlihatkan sebuah tabungan kelompok yang terus bertambah, yang menjadi salah indikator keberhasilan kelompok, tidak hanya dari segi produksi tapi juga dari segi pengelolaan keuangan.
“Kalau tabungan kelompok sekarang totalnya sekitar Rp 8 juta. Setiap bulan anggota menabung rutin Rp 10 ribu. Setiap panen mereka juga setor tabungan Rp 200 ribu. Semuanya disimpan di rekening kelompok, namun sewaktu-waktu bisa ditarik jika ada kebutuhan mendesak. Hanya saja sejauh ini belum ada yang menarik dana atau pinjam karena masih punya modal. Jadi tabungan masih utuh,” ungkap Haris.
Kondisi ini dinilai Haris sebagai pencapaian yang luar biasa, karena selama ini, sebelum mendapat bantuan dari Program CCD IFAD, sebagian besar anggota kelompok selalu berada dalam jeratan utang tengkulak, yang juga menjadi pedagang pengumpul, pembeli hasil panen mereka. Mereka biasanya berutang bibit, pestisida dan pupuk. Selain menanggung bunga yang cukup besar, mereka juga sangat tergantung pada para tengkulak tersebut. Semua hasil panen harus dijual kepada mereka dengan standar harga secara sepihak oleh para tengkulak tersebut.
“Masih mending kalau hasil panen banyak, semua utang bisa dilunasi beserta bunganya. Namun ketika panen gagal, mereka tidak hanya gagal bayar utang tapi juga harus menumpuk utang baru sebagai modal usaha selanjutnya.”
Sama halnya dengan Nurbaya, Haris mengakui semakin membaiknya kondisi mereka tersebut berdampak pada tingkat pendidikan anak-anak mereka. Seorang anak Haris kini sudah menamatkan kuliah di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah (UNESMUH Makassar), seorang anaknya masih menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Manajemen (STIEM) dan seorang lagi baru masuk SMP.
***
KELOMPOK Bonto Perak 1 pertama kali dibentuk di tahun 2009, di mana Haris sudah menjadi ketuanya. Jumlah anggota kelompok ketika itu sebanyak 10 orang, sama dengan jumlah anggota kelompok sekarang. Hanya belakangan terjadi pergantian anggota.
“Kalau dulu itu semua anggotanya adalah laki-laki. Hanya saja ada rekomendasi dari IFAD tentang kesetaraan gender sehingga beberapa anggota diganti dengan perempuan, yaitu istri mereka sendiri. Jadi sebenarnya bisa dikatakan tidak ada perubahan, karena anggota baru ini hanya menggantikan posisi suami mereka saja. Di kelompok kami terdapat 3 orang perempuan sebagai anggota.”