[caption id="attachment_99903" align="aligncenter" width="640" caption="Taufik Ismail/Admin (kapanlagi.com)"][/caption]
Pada tahun 1945, hanya beberapa saat sebelum Jepang menyerah kepada sekutu pada akhir Perang Dunia II, seorang guru orang Cina melancong di kawasan Maine, salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Guru itu membawa sebuah buku panduan, yang isinya mengatakan bahwa pemandangan yang paling menakjubkan di kawasan itu dapat dinikmati di salah satu puncak bukit. Maka ketika singgah di sebuah kota kecil yang disebutkan dalam buku panduan itu, ia menanyakan arah jalan ke bukit termaksud pada penduduk lokal setempat. Ternyata pertanyaan tersebut belakang berkembang menjadi kabar burung yang dengan cepat menyebarkan informasi berikut: ada mata-mata Jepang pergi ke puncak bukit untuk memotret wilayah kita.
Kisah di atas adalah pengantar Gordon Allport yang menulis the Psycology of Rumor untuk menjelaskan bagaimana sebuah kabar burung bekerja dan diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian besar masyarakat, yang ditulis Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point.
Kabar burung atau rumor kini menjadi santapan keseharian dan bahkan kini menjadi komoditas yang laku di tv. Ironisnya, sebuah kabar burung terkadang menjadi landasan pengambilan keputusan atau pengambilan kesimpulan terhadap suatu persoalan. Dan hasilnya sudah bisa dipastikan akan kemana arahnya.
***
Ketika membaca status-status yang berseliweran di akun facebook saya, saya membaca tautan yang cukup menarik yang diposting oleh Fadjroel Rahman. Anda yang suka nonton acara diskusi politik di tv pasti mengenalnya. Jelas ini bukan tautan biasa kalau diposting oleh seorang Fadjroel Rahman, apalagi isi tautan ini terkait seorang tokoh sastrawan yang cukup saya kenal baik-baik karya dan kiprahnya: Taufik Ismail. Posting tautan pertama berjudul : Plagiatkah Puisi "Kerendahan Hati" Taufik Ismail? Yang berisi berita tuduhan upaya plagiarisme oleh Taufik Ismail atas puisi, yang ‘katanya’ ditulis olehnya berjudul "Kerendahan Hati". Tautan kedua ternyata adalah perkembangan dari berita pertama dimana pada berita kedua ini terdapat klarifikasi baik dari pihak TI yang diwakili oleh Fadly Zon serta dari pihak yang dinilai pertama kali ‘memperbincangkan secara serius’ tuduhan itu di statusnya di facebook. Berita kedua ini berjudul ”Fadly Zon: Puisi ‘Kerendahan Hati’ Bukan Karya Taufik Ismail (TI).” Saya juga membaca berita di Harian Rakyat Merdeka Online judul yang cukup provokatif: Puisi Taufik Ismail Hasil Contekan?"
Awalnya, ketika hanya membaca judulnya, sebagaimana yang biasa kita lakukan, otak saya secara cepat berkesimpulan bahwa Fadli Zon adalah pihak yang ‘mungkin' berseberangan dengan TI, sebuah kesimpulan sekejap (snap judgmen) yang terbukti salah, dan yang terjadi adalah sebaliknya, justru kemudian, setelah membaca informasi itu dengan saksama saya mengetahui bahwa FZ justru adalah orang yang membela kepentingan TI.
Yang juga cukup menggelitik saya untuk mengetahui lebih jauh adalah adanya kutipan dua orang sastrawan, yang kemungkinan diambil dari twitter keduanya: Helvi Tyana Rosa dan Saut Situmorang. Pedoman News menulis: sastrawati @Helvy Tyana Rosa, penulis 40 buku lebih dan dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di twitternya, "Saya sudah baca puisi-puisi itu. Menurut hemat saya Taufiq Ismail hanya terinspirasi saja." Urai Helvy lebih jauh, "Sebagaimana saya tahu Chairil Anwar juga demikian. Pengaruh atau terinspirasi." Memang ada suara keras seperti suara Saut Situmorang di akunnya @RedBodhisattva, "Kalok tak bisa jadi Douglas Malloch/ jangan lah pulak awak jatuh jadi Taufiq Ismail." Ini berita besar, atau kalau bisa dikatakan tuduhan besar. Karena keingintahuan yang besar, karena menurutku TI bukanlah orang biasa, ia sejenis santo bagi dunia sastra Indonesia, maka saya pun menelusuri ‘apa sebenarnya yang terjadi', dan saya pun menggunakan fasilitas om google untuk mencari sebuah nama yang sepertinya penting dalam berita itu: Bramantyo Prijosusilo. Awalnya saya hanya mengetik nama Bramantyo, dan yang justru muncul adalah nama sutradara film, dan sepertinya tidak memiliki keterakaitan dengan apa yang saya cari. Lalu saya menambahkan nama Bramantyo Prijosusilo, dan muncullah akun facebook nama yang saya cari. Saya pun mencari sebuah status yang relevan, dan memang ada dua status yang relevan dengan diskusi tentang TI. Saya membaca keduanya, dan kemudian semuanya menjadi jelas.
Status pertama tertanggal 31 Maret 2011 Rabu pukul 8.34 ,Bramantyo Prijosusilo menulis status di akun facebooknya:
“Khabarkan kepada dunia, penyair jahat Taufiq Ismail yang suka menekan-nekan seniman muda dengan cara-cara selintutan, adalah plagiator tuna-budaya.”
Terus terang saya kaget dengan status ini, yang mengingatkan saya dengan status-status Saut Situmorang dalam ‘perangnya’ dengan Goenawan Moehamad, cs beberapa bulan yang lalu.
[caption id="attachment_99521" align="aligncenter" width="538" caption="sumber: http://www.facebook.com/bramantyo.prijosusilo"]
Selain itu, status ini tentulah status yang menarik karena kemudian memicu polemik yang panjang dimana tercatat 102 komentar dari 42 orang yang menyatakan menyukainya. Membaca status-status yang panjang ini bisa dibayangkan bahwa sebagian besar komentator adalah orang yang pro atau mendukung kebenaran yang disampaikan status tersebut. Yang menentang atau yang mencoba mengklarifikasi hanyalah satu orang yaitu Fadli Zon, yang kebetulan, memang, memiliki kepentingan tersendiri atas segala tuduhan yang disampaikan dalam status tersebut. Selain itu terdapat Sang Hardi, yang awalnya ikut terpancing, namun kemudian mengubah perspektifnya. Dan terdapat beberapa pengunjung atau pengamat sekilas yang kemungkinan mengikuti perkembangan komentar-komentar yang ada.
Jika membaca secara detil isi komentar-komentar dalam status tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa status ini bermula dari Bramantyo Prijosusilo, si pemilik status, mendengar atau tepatnya membaca rumor bahwa salah satu puisi yang oleh sebagian besar orang diakui sebagai karya Taufik Ismail berjudul 'Kerendahan Hati' adalah puisi jiplakan (plagiat) dari karya seorang penyair klasik asal Amerika Serikat, Douglas Malloch, "Be the Best of Whatever You Are" karya sastrawan Amerika Serikat, Douglas Malloch.
Bramantyo Prijosusilo memang kemudian menyertakan sejumlah link website dimana ia memperoleh informasi perihal plagiarisme yang dilakukan oleh penyair Taufik Ismail, lengkap dengan lampiran puisi "kerendahan hati" dan "Be the Best of Whatever You Are", untuk menguatkan tuduhannya bahwa memang itu adalah sebuah upaya penjiplakan.
Ia juga melakukan perbandingan dengan menulis kedua puisi tersebut: