Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Malaikat Maut (13)

6 Desember 2009   11:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembunuhan yang dilakukannya tidak selamanya berjalan lancar dan karena itulah harus dirancang dengan matang. Untuk membunuh seorang presiden, misalnya, biasanya butuh orang dalam, yang tidak hanya mengarahkan tapi juga jadi pelindung hingga tugas itu benar-benar terlaksana. Dengan teknologi modern, areal hingga radius sekian kilometer di tempat dimana seorang presiden berada di tempat terbuka selalu dapat diamankan dari segala anasir yang tidak dikenal. Amerika Serikat bahkan kini menggunakan teknologi satelit, yang dapat memantau semua pergerakan yang mencurigakan di radius tembak presiden mereka. Pembunuhan terhadap Presiden John F. Kennedy pada 22 November 1963 oleh Lee Harvey Oswald (kenyataannya 80% warga AS tidak percaya akan hal ini) telah menyadarkan pemerintahan negara adidaya itu akan perlunya pengamanan yang berlapis bagi presiden mereka.

Ia pernah membunuh seorang presiden, di sebuah negara kecil di Pasifik Selatan. Sebuah negara yang tengah dilanda kemelut politik berkepanjangan, yang dipimpin seorang militer yang otoriter. Lalu seseorang menghubunginya untuk pekerjaan mengenyahkan presiden itu. Ia tak membutuhkan persiapan apa-apa karena segala sesuatu telah disiapkan oleh sang pemesan. Mulai dari senjata yang digunakan hingga lokasi penembakan sudah disiapkan. Peranannya hanyalah sebagai eksekutor. Ia sebenarnya bisa menolak permintaan itu, karena sangat beresiko. Pada kasus penembakan Kennedi di Amerika, Lee Harvey Oswald terdakwa penembakan bukannya mati di tiang gantung ataupun regu tembak, ia justru mati di tangan seorang pembunuh bayaran lainnya. Tapi Malaikat Maut menyanggupinya karena ia pun telah menyiapkan antisipasinya. Pembunuhan itu berjalan sukses. Tak ada pembunuh bayaran yang mengicarnya seperti yang ditakutkan dan revolusi yang terjadi di negara itu kemudian hari membawa negara itu menjadi salah satu negara demokratis di Pasifik Selatan.

Pembunuhan terakhir yang dilakukan Malaikat Maut, adalah terhadap seorang gembong narkoba, yang memiliki jaringan internasional, dan bahkan merajai seluruh peredaran narkoba di Asia Tenggara. Indonesia memang salah satu produsen dan pasar narkoba terbesar di dunia. Beberapa lokasi produksi narkoba jenis shabu sudah banyak ditemukan, dan biasanya merupakan sindikat internasional di mana Indonesia menjadi pusat produksi dan peredaran dari barang haram itu. Korbannya kali ini bukanlah kelas kacangan, seperti seorang wanita yang kesepian ataupun preman kampung atau politisi korup yang cenderung tidak menyiapkan pengamanan khusus bagi diri mereka, karena mereka, para politisi itu, mungkin berpikir dapat menggunakan kemampuan diplomasi mereka untuk berkonfromi dengan kematian. Mereka tentu saja salah, karena Malaakat Maut tidak mengenal kata konfromi.

Taipan ini, begitulah ia disebut oleh media, memiliki sejumlah pengawal yang bersenjata di balik jas mahal mereka. Pengamanan bisa mencapai tiga lapis. Bahkan seorang yang terlihat sebagai clean service boleh jadi menyimpan magnum di balik pakaian orange mereka. Atau bisa pula sapu yang mereka gunakan adalah senjata yang siap ditembakkan setiap saat. Tapi Malaikat Maut, selain seorang perencana handal, juga adalah pengamat lihai yang mampu menilai situasi dan gerak-gerik yang tidak wajar orang di sekelilingnya.

Dari informasi yang diperolehnya ia mengetahui bahwa Taipan yang berkebangsaan Hongkong ini ketika datang ke Jakarta akan menginap di salah satu suite hotel berbintang lima ternama, yang sehari sebelum kedatangannya akan sudah ‘dibersihkan’ oleh tim keamanannya. Ia selalu berada di kamar yang sama, karena ruangan itu selain terasa nyaman baginya, juga memiliki konsep pengamanan tersendiri, yang tentunya atas permintaan sang Taipan tersebut.

Setelah menyatakan menerima pekerjaan itu, Malaikat Maut pun melakukan perencanaan secara matang. Ia tentu saja tidak akan datang begitu saja ke hotel itu ala Rambo lalu menembak membabi buta dan meninggalkan tempat itu dengan tanpa terluka sedikit pun. Perencanaan yang matang harus selalu untuk memaksimalkan hasil dan mengeliminir tingkat kerusakan hingga skala kegagalan mencapai nol koma nol sekian persen. Dalam sebuah perang tertutup, strategi lebih sulit diterapkan karena kita tak pernah tahu tingkat kemampuan musuh kita.

Secara garis besarnya pengamanan sang Taipan adalah tiga lapis yang terdiri dari pengamanan terbuka dan tertutup. Pengamanan lapis pertama dan kedua tentu saja adalah pengamanan tertutup. Mereka berada di sekeliling area sang Taipan dengan menjadi apa saja. Mereka bisa menjadi siapa saja. Pengamanan pada lapis pertama adalah juga tim survei. Mereka memantau lokasi sebelum kedatangan sang Taipan. Mereka secara jeli mengenali setiap benda yang ada di lokasi itu sehingga ketika suatu saat ada yang berubah maka akan segera diketahui adanya ketidakberesan atau sesuatu yang bisa segera menjadi target kecurigaan. Pengamanan jenis ini baru akan meninggalkan pos mereka setelah sang Taipan meninggalkan lokasi dan akan berada di lokasi tujuan Taipan lainnya terlebih dahulu.

Pengamanan lapis kedua, yang juga tertutup adalah tamu-tamu yang lalu lalang di hotel itu. Mereka ada dimana-mana dengan posisi siaga, meskipun tetap terlihat biasa-biasa saja seperti tamu biasa. Ia bisa saja seorang berdasi yang duduk di lobi samblil membaca koran yang sama berkali-kali. Ia bisa juga seorang yang sedang berada di kantin hotel, dengan segelas kopi yang terus diisi berkali-kali dengan pandangan selidik ke segala penjuru. Atau bisa jadi ia adalah seorang wanita tua yang sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang dan terus menerus mengamati handpone, seperti menunggu telpon atau pesan, padahal sebenarnya mereka sedang menyadap setiap pembicaraan di ruang lobi itu. Di sekeling kamar VIP sang Taipan, pengamanan mungkin terlihat longgar, padahal tak pernah sedetik pun tempat itu luput dari pengamanan sang pengawal yang menjadi pelayanan kamar, cleaning service atau tamu yang tersesat.

Pengamanan terbuka akan segera dikenali dari pakaian dan postur tenaga pengaman yang digunakan. Dan tentunya dimana mereka selalu berada. Ya, mereka selalu berada di sekitar sang Taipan dengan alat komunikasi tersembunyi, senjata di balik jas hitam yang menyolok, pandangan selidik kemana-mana. Pengamanan ini sebenarnya lebih bersifat preventif. Dengan berlaku provokatif, maka semua orang akan tahu kualitas orang yang sedang dikawal dan jangan pernah ada yang macam-macam dengannya.

Pengamanan berlapis ini sebenarnya bukanlah hal yang berlebihan jika melihat apa yang terjadi pada sang Taipan sebelum-sebelumnya. Beberapa kali ia menjadi sasaran pembunuhan yang selalu luput, dan bahkan pada usaha terakhir pembunuhan atas dirinya hampir saja berhasil jika saja ia tidak menunduk secara tidak sengaja merapikan bagian bawah celananya yang terlipat. Peluru yang meluncur dari jarak 50 meter hanya mengenai bahu pengawalnya, yang kebetulan berdiri di belakangnya. Pelaku tak pernah diketahui, meski motif dari usaha pembunuhan itu sudah diketahui secara pasti. Menjadi seorang Taipan dengan kerajaan bisnis narkoba yang menggurita dimana-mana selalu merupakan incaran pembunuhan, apakah itu dari lawan bisnis ataupun dari pemerintah yang sudah frustasi untuk melakukan upaya-upaya hukum formal.

Malaikat Maut mengetahui semua itu. Ia punya peta hotel itu, yang diperolehnya dari orang yang membayarnya. Ia tidak hanya memiliki foto Taipan itu, tapi juga semua pengawal yang selalu menyertai disertai profil mereka. Dari profil yang dimilikinya, Malaikat Maut tahu ia sedang berhadapan dengan sekumpulan pembunuh paling mematikan di dunia. Mereka adalah para predator yang direkruit dari pasukan khusus. Mereka bergaji tinggi, yang tentunya harus dibayar dengan loyalitas mereka pada atasan. Mereka adalah orang-orang terlatih dengan pengalaman tempur di banyak peperangan.

Malaikat Maut tahu ia sedang berhadapan dengan reflikanya sendiri. Mereka sama dengan dirinya, para pencabut nyawa profesional, yang akan menghabiskan waktu dengan tertawa penuh kebahagiaan setelah melakukan pembunuhan mereka. Bedanya bahwa Malaikat Maut lah yang sekarang menjadi sang predator, sang pemangsa yang tak pernah mereka ketahui.

Malaikat Maut selalu bekerja secara rapi dengan sebisa mungkin tersembunyi dan tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Ia mendapat informasi tentang jadwal kunjungan sang Taipan, dan ia telah memesan kamar di hotel itu seminggu sebelumnya. Ia sengaja memesan kamar di dua kamar bersebelahan dengan kamar yang tepat berada di atas kamar Taipan tersebut. Pemilihan kamar itu tentunya bukan tanpa pertimbangan. Dalam beberapa kasus pembunuhan di hotel maka kamar yang akan selalu dicurigai adalah yang terdekat dari kamar korban, sehingga ia memesan kamar yang agak jauh namun tetap memberinya akses ke kamar Taipan itu.

Dalam beberapa hari ia terus melakukan survei, dengan mencocokkannya dengan peta yang dimilikinya. Satu-satunya akses ke suite di mana itu berada adalah melalui jendela yang kemungkinan nanti akan dipasangi dengan kamera pengintai, mengantisipasi adanya penyusup. Malaikat Maut memperkirakan dimana kemungkinan kamera itu dipasang yang secara ideal dapat memantau dengan jangkauan lebih besar. Tak sulit baginya untuk melakukan analisis karena ia selalu tahu segalanya. Ia pun mensurvei tingkat kesulitan untuk menyusup melalui jendela. Dengan peralatan yang cukup dan nyali yang besar ia memperkirakan ia dapat menjangkau jendela itu dengan mudah. Ia pun mencatat semua peralatan yang dibutuhkan, mulai dari tali, katrol hingga rompi yang tahan terhadap tarikan yang kuat. Masalah kamera pun bukan hal yang sulit. Ia punya seperangkat teknologi pengalihan kamera yang diperolehnya dengan membeli secara online internet di sebuah situs alat-alat anti-pengintai. Berbekalkan teknologi sekaligus kemampuan menyusup dengan cepat, ia memperkirakan kamera yang memiliki sensor gerakan itu dapat dikelabuinya dan tidak menyadari keberadaannya sedikit pun. Ia sudah pernah mencoba cara ini berkali-kali dan selalu berhasil.

Masalah lainnya adalah cara bagaimana Taipan itu dibunuh. Ia punya banyak alternatif. Yang paling konvensional tentu saja dengan membubuhkan racun di minuman sang Taipan. Hanya saja masalahnya sang Taipan ini mungkin telah mengantisipasi adanya upaya pembunuhan dengan cara ini atas dirinya sehingga jauh-jauh hari ia telah menyiapkan pil-pil anti racun di kantongnya, yang akan segera membuatnya pulih dalam sekejap. Ia tahu hal itu bisa saja terjadi.

Alternatif lainnya adalah dengan menjerat leher sang Taipan lalu menggantungya di lampu gantung besar yang berada di ruang itu. Cara ini juga tidak efektif dan membutuhkan waktu serta energi yang lebih besar.

Alternatif yang paling memungkinkan adalah dengan menembak langsung sang Taipan dengan pistol berperedam. Cara ini juga lebih memungkinkan karena kliennya meminta agar pembunuhan itu harus dilakukan secara bersih dan terkesan sebagai bunuh diri agar tidak menimbulkan kehebohan dan kecurigaan bagi siapa pun. Ia akan menembak Taipan itu tepat di pelipis dengan pistolnya sendiri atau setidaknya terkesan seperti itu. Satu-satunya yang menjadi hambatan dari skenario ini adalah ia tidak tahu secara pasti pistol yang biasa dibawa oleh sang Taipan. Sebagai seorang gembong narkoba terbesar, ia pasti punya pistol yang dibawanya kemana-mana. Pistol itu haruslah kecil dan tidak terlihat menyolok bagi orang lain. Ia bisa saja menyimpannya di bagian dalam jas yang dipakainya, terselip di pinggang ataupun di bagian kaki, yang telah dipasangi sabuk senjata tertentu. Benda itu bisa dimana saja. Pengetahuan akan pistol yang dimiliki si Taipan sangat penting, agar ia bisa menyiapkan jenis peredam yang cocok untuknya. Setiap pistol akan memiliki jenis peredam yang berbeda sesuai dengan ukurannya. Terlepas dari itu, pengetahuan akan jenis pistol yang dimiliki si Taipan adalah tantangan profesionalisme untuknya. Ia ingin semuanya dilakukan secara detil, yang berarti bahwa ia harus tahu secara menyeluruh dari diri korbannya.

Ada dua alternatif untuk mengetahuinya. Dengan menanyakannya langsung atau dengan mengamati secara saksama sang Taipan. Dua pilihan ini sama konyolnya, namun pilihan kedua tentu saja lebih memungkinkan dilakukan. Di sinilah ilmu penyamarannya dapat diaplikasikan.

Bicara tentang penyamaran, ia sebenarnya awalnya telah mempelajari semua profil pengawal si Taipan itu. Namun ada sedikit masalah dengan postur tubuh. Dari tujuh pengawal yang selalu menyertai si Taipan itu semuanya memiliki tinggi badan di atas 185 cm dan berotot. Ia sendiri tidak memiliki tinggi badan setinggi itu. Tingginya hanya 175 cm, meski pun memiliki postur yang berisi. Ia tidak bisa mengambil resiko itu, sehingga bila pun penyamaran dilakukan itu semata-mata agar ia tidak terlihat mencurigakan dengan sering terlihat di lorong hotel itu. Dalam sehari ia bisa berganti wajah dalam berkali-kali. Kadang ia terlihat sebagai seorang akuntan yang culung berkacamata tebal. Kadang ia terlihat sebagai wanita gemuk berkacamata hitam yang sedang menunggu suami atau pacar menjemputnya. Ia juga menyamar sebagai Tukang Antar Pizza, yang memungkinkannya mendatangi setiap kamar di hotel itu tanpa terlihat mencurigakan sedikit pun. Ia jarang menggunakan wajah dan profesi yang sama. Ia memiliki ribuan bentuk penyamaran sehingga kadang ia lupa dengan wajah aslinya sendiri. Ia juga telah berpuluh-puluh kali melakukan rekonstruksi wajah dengan menggunakan dokter bedah yang berbeda-beda. Tak heran jika ia sangat susah untuk diidentifikasi. Pada salah satu kasus pembunuhan yang dilakukannya, salah seorang saksi sempat memergokinya. Ketika saksi itu tengah diinterogasi oleh kepolisian, dimana ia mengaku sangat mengenal wajahnya sebagai pelaku pembunuhan itu, ia telah berganti wajah menjadi orang lain. Semua itu sangat mudah baginya karena ia punya daftar ribuan dokter beda di seluruh dunia yang mampu mengubah wajahnya menjadi siapa pun yang diinginkannya secara rahasia. Dokter di mana pun mungkin punya kode etik, namun dokter di mana pun di dunia ini juga takkan pernah menolak uang dalam jumlah banyak.

Maka ia pun menyusun rencana secara detil untuk semua yang akan dikerjakannya. Dua hari sebelum kedatangan si Taipan itu, sesuai dengan informasi yang diperolehnya, ia telah memahami secara detil dan menyeluruh lokasi dimana ia akan beraksi. Ia bahkan hafal seluruh lekuk hotel itu, sehingga ia memiliki begitu banyak skenario pelarian, tidak hanya dua atau tiga tapi lima. Semua alternatif kemungkinan kejadian yang akan terjadi telah tersusun rapi di kepalanya, yang memungkinkannya akan segera tidur nyenyak di sebuah tempat yang tak diketahui siapa pun setelah pekerjaannya rampung. Rumitnya pekerjaan ini setidaknya setara dengan bayaran yang akan diterima. Begitu pun dengan resiko. Siapa yang menjamin bahwa orang yang memesannya itu akan membiarkannya lolos begitu saja setelah pekerjaan itu dilakukan. Mungkin saja ia pun menjadi incaran pembunuh bayaran lainnya saat ini. Hal ini membuatnya selalu berhati-hati dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, dan karena hal ini pula lah sehingga ia tidak akan pernah mengggunakan wajah yang sama di setiap pembunuhan yang dilakukannya.

Awalnya ia berpikir memasang kamera pengintai dan alat penyadap di kamar yang akan digunakan Taipan itu sehari sebelum tim mereka melakukan hal yang sama. Namun ia mempertimbangkan kemungkinan akan ketahuan, karena mereka pasti telah mempertimbangkan akan kemungkinan adanya penyusup sehingga semua teknologi yang bertujuan mendeteksi segala penyusupan telah mereka miliki. Satu-satunya cara melawan segala bentuk peralatan berteknologi adalah dengan tidak menggunakan teknologi sedikit pun. Kelincahan Osama bin Laden menghindari semua peralatan pengintai dan pencari Amerika yang berteknologi tinggi membuktikan hal ini. Dan dalam kondisi seperti itu maka strategi yang baiklah yang akan sangat menentukan kesuksesan sebuah operasi.

Si Taipan itu pun datang seperti yang diperkirakan. Informasi itu pastilah dari orang dalam yang disisipkan atau oleh anak buah si Taipan sendiri yang kemungkinan mengincar posisinya, atau pernah dipermalukan oleh si Taipan, ataupun karena alasan-alasan dendam masa lalu dan wanita. Wanita memang sering menjadi unsur yang terpenting dari sebuah konspirasi, selain harta dan kekuasaan tentunya.

Sehari sebelum kedatangannya, seperti perkiraannya, suite dimana Taipan itu akan menginap telah disterilkan. Kamera pengintai otomatis, juga telah dipasangkan di bagian luar jendela pada titik-titik yang juga sudah diperkirakannya. Ia dapat mengetahui semua itu melalui kamera pengintai yang dipasangnya di hotel lain yang berseberangan langsung dari hotel itu. Untuk bagian dalam ruangan itu sendiri dapat dipastikan bebas dari alat pengintaian. Taipan itu tak mungkin membiarkan dirinya dan semua aktivitas pribadinya diketahui orang lain, meskipun itu berkaitan dengan keamanannya sendiri. Sedangkan di bagian depan, dekat pintu, sudah pasti akan berdiri dua atau lebih penjaga yang bekerja secara bergiliran.

Ia sedang berada di lobi hotel, sebagai seorang wanita muda yang sedang sibuk dengan laptopnya, di hari kedatangan Taipan itu. Orang-orang akan melihatnya sebagai sekretaris yang sedang menunggu bosnya dan menghabiskan waktu yang menjemukan itu dengan menyapa teman-temannya di Twitter, sebuah situs pertemanan yang sedang banyak diminati segala usia di seluruh dunia. Tak ada yang memperhatikan kehadirannya, selain seorang tua ubanan di depannya yang sesekali melirik ke bagian bawahnya yang agak terbuka. Ia memang terlihat sempurna sebagai seorang wanita. Ia menutupi kekar badannya dengan menggunakan baju kerja berlengan panjang, sebagaimana halnya seorang sekretaris. Ia memiliki jari jentik terpelihara, memakai stocking hitam menutupi betisnya yang berbulu, rambut palsu berwarna kemerahan. Kulitnya yang memang putih mendukung semua itu. Dan yang pasti parfum yang digunakannya sangat feminim dan menggairahkan setiap orang yang menciumnya. Channel No 5.

Ia hanya melirik sekilas ketika sebuah rombongan kecil memasuki ruang lobi hotel itu. Sebuah pertunjukan yang sangat menyolok, dan hampir semua orang yang ada di ruang lobi itu sekilas melirik ke mereka. Di dekat pintu seorang berjas, kemungkinan manager hotel itu, berdiri menyambut tamu yang datang. Tamu itu, sang Taipan, memiliki postur tubuh yang lebih kecil dari dirinya, berkepala botak, dan kemungkinan memiliki tinggi 165 cm, yang sangat kontras dengan orang-orang yang mengelilingnya yang rata-rata memiliki tinggi 185-an cm. Salah seorang di antaranya bahkan setinggi 195 cm, yang terlihat lebih menjulang dibanding yang lainnya, yang membutuhkan keberanian dan nyali yang besar bagi siapa pun untuk menghadapinya secara langsung.

Sangat sulit memberi penilaian apapun pada mereka dari kejauhan. Malaikat Maut pun berpura-pura berdiri menuju lift dengan tergesa-gesa, seperti orang yang baru saja mendapat instruksi dari atasannya. Ia terlihat sebagai wanita yang canggung dan sesekali memperbaiki letak kacamatanya yang melorot. Para pengawal dan bahkan Taipan itu tampak tersenyum merasa lucu dengan dirinya. Ketika pintu lift sudah terbuka, seorang pengawal menghalanginya masuk dan menyatakan bahwa ia harus menunggu lift yang lain dalam bahasa Inggris bercampur dengan bahasa isyarat. Si Taipan, yang mungkin ingin terlihat gentlemen, ternyata sebaliknya mengizinkannya untuk menggunakan lift yang sama. Ia bahkan menanyakan lantai yang ingin ditujunya, dan memencetkan tombol. Mereka berdiri bersebelahan, diapit oleh dua pengawal kekar di kedua sisi mereka. Dalam situasi inilah Malaikat Maut melakukan aksinya. Ia berpura-pura menjatuhkan sesuatu, dan ketika Taipan ini ikut jongkok untuk membantunya, celananya tertarik ke atas, sehingga bagian bawah kakinya terlihat hingga beberapa senti. Dengan pandangan elangnya ia mampu melihat adanya sebuah sabuk kecil di kaki orang itu. Dan semakin tinggi tarikan celana itu semakin jelas pula ia melihat benda yang disembunyikan itu. Sebuah pistol kecil berwarna hitam, yang tidak begitu asing baginya. Baretta. Tak pelak lagi, pistol yang dimilikinya adalah Bareta, yang kemungkinan besarnya terisi penuh dan siap ditembakkan kapan saja. Malaikat Maut menunjukkan wajah berterima kasih dengan malu-malu. Si Taipan itu membalas dengan sopan dan tersenyum simpatik. Ia benar-benar bajingan tengik. Bajingan yang selalu berpikir mampu menutupi kebejatan dan kejahatan-kejahatan mereka dengan kebaikan-kebaikan kecil dan sikap simpatik pada orang lain, khususnya pada wanita. Atau mungkin saja saat itu ia sedang berpikir bagaimana mengajak wanita cantik di sampingnya untuk menemaninya dan ia merasa canggung melakukannya karena tidak percaya diri dengan kebotakannya. Puih. Malaikat Maut mencaci dalam hati.

Mereka pun berpisah setelah Taipan dan pengawalnya itu sudah sampai lebih dulu di lantai tujuan, disambut oleh dua pengawal lain yang rupanya telah lebih dulu berangkat ke atas melalui tangga. Taipan itu tersenyum penuh arti padanya, ketika lift perlahan tertutup kembali. Malaikat Maut juga tersenyum ketika pintu lift itu telah tertutup. Senyum penuh kemenangan. Dalam hati ia berharap Taipan itu akan kembali tersenyum padanya ketika pada saatnya nanti ia mencabut nyawanya dengan pistolnya sendiri.

Semua rencana berjalan lancar seperti yang diharapkan. Tinggal menentukan saat tepat bagi pembunuhan itu.

Salah satu hal yang memudahkan bagi terlaksananya pembunuhan itu secara baik adalah kebiasaan minum dari sang Taipan. Sebagai seorang yang tumbuh dan besar di jalanan, menenguk berbagai jenis minuman keras adalah hal yang tak terelakkan. Wiski dan Vodka adalah minuman favoritnya, karena efeknya yang membakar. Segelas kecil minuman itu telah mampu mengalihkanmu dari pikiran apa pun. Pada gelas-gelas selanjutnya kau akan telah punya kehidupan yang berbeda dimana tak ada lagi yang terasa tak pantas dilakukan. Jika mampu menghabiskannya hingga sebotol, tanpa campuran es sebagai katalisator, dunia telah benar-benar menjauh darimu dan semua hal yang semestinya kamu sembunyikan akan terkuak dengan sendirinya. Si Taipan tak pernah menyukai anggur dari jenis paling berkualitas sekalipun, karena anggur menurutnya hanya untuk seorang banci.

Melalui sebuah alat penyadap mini yang sengaja dijatuhkannya di sebuah pot bunga di dekat meja dimana sang Taipan dan pengawalnya akan melakukan pesta minuman keras, Malaikat Maut tahu kapan pesta itu berakhir dan semabuk apa si Taipan itu. Para pengawal tentunya tak pernah benar-benar mabuk. Mereka ikut minum sekedar menyenangkan bos mereka. Mereka selalu berpura-pura minum atau segera memuntahkannya secara sembunyi-sembunyi. Mereka tak boleh mabuk berat, yang bisa berakibat fatal bagi keselamatan orang yang seharusnya mereka lindungi. Beberapa orang juga ikut dalam pesta miras itu, yang kemungkinan rekan bisnis lokal si Taipan, yang kemungkinan besar kehadiran mereka juga hanya untuk menyenangkan hati sang Taipan. Bergantian mereka pamit ke toilet, dan kemungkinan besar karena tubuh mereka tidak mampu lagi menahan bara minuman yang mereka teguk.

Sekitar pukul dua dinihari, pesta itu telah benar-benar berakhir. Si Taipan, yang meski terlihat tetap tangguh dan melek, namun sebenarnya dunianya sudah terpisah setengahnya dari dunia nyata. Ia tetap mengenali sekelingnya dengan baik. Ia memberi tip pada pelayanan wanita dengan senyum menggoda dan berseloroh dalam bahasa mandarin yang tak jelas, sambil berusaha memegang payudara wanita itu. Matanya memerah, seperti halnya kulit wajahnya yang seperti membara. Ruangan tempat mereka minum sebenarnya adalah ruangan khusus, yang juga telah distrerilkan dari berbagai bentuk penyadapan ataupun hal-hal mencurigakan lainnya. Malaikat Maut dapat menyusupkan penyadap ke ruangan itu dengan menyamar sebagai pelayan yang bertugas mendrop minuman ke ruangan itu setelah ruangan itu disterilkan. Tentu saja tak ada yang curiga karena dilakukan pada saat pesta itu berlangsung dan karena penerang di ruangan itu yang remang-remang. Tak ada yang memperhatikan kehadirannya karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Malaikat Maut sudah memperkirakan dengan baik saat dimana seharusnya ia berada di kamar suite Taipan itu untuk menjalankan aksinya. Di kejauhan, dimana ia menyamar sebagai cleaning service, ia melihat Taipan itu langsung memasuki kamarnya, dan kemungkinan besar akan segera tertidur pulas setelahnya. Dua orang pengawal telah berdiri di depan pintu dengan sikap siaga. Apakah mereka telah memperkirakan akan adanya serangan atas bos mereka atau itu hanya prosedur pengamanan saja? Malaikat Maut sempat berpikir. Ia bahkan sempat berjalan dengan mendorong sebuah kereta kecil yang berisi alat-alat bersih di depan para pengawal itu. Pengawal bodoh, bisik Malaikat Maut dalam hati. Semestinya mereka curiga untuk apa seorang cleaning service bekerja selarut itu?

Malaikat Maut pun berbelok di ujung lorong dan segera masuk lift yang membawanya ke lantai atas, ke kamarnya, dimana semua peralatan yang akan digunakan sudah dipersiapkan sebelumnya.

Ia memakai pakaian serba hitam, kaus tangan kulit dan penutup wajah hingga hanya matanya yang terlihat, ala ninja. Ia tahu penghuni kamar sebelah, yang tepat di atas kamar Taipan itu, sedang keluar. Ia sudah membuat sebuah telpon palsu dengan mengaku sebagai utusan bos orang itu dan menyuruhnya menunggu di ruangan lobi. Dengan menggunakan sebuah kunci duplikat yang ‘dipinjamnya’ dari bagian reservasi kamar, ia pun memasuki ruangan itu, membuka jendelanya dan mulai memasang katrol yang akan membawanya ke satu lantai di bawahnya. Ia memeriksa jamnya, dimana ia memperkirakan semua proses itu hanya akan berlangsung tak lebih dari 5 menit.

Ia telah menentukan titik tepat dimana kamera itu tidak akan menjangkaunya dengan baik, ditambah dengan sebuah alat pengalih berteknologi tinggi yang dimiliknya. Hanya dalam waktu satu menit ia sudah berada di depan pintu jendela kamar Taipan itu dan membukanya dengan mudah, tanpa menimbulkan kegaduhan. Dengan menggunakan sebuah alat berinframerah ia memeriksa keberadaan alarm di ruangan itu, yang ternyata tidak ada seperti perkiraannya, yang membuat tugasnya menjadi semakin gampang. Dalam hitungan satu menit ia sudah berdiri di dekat Taipan itu yang memang benar-benar sudah tertidur pulas dengan mulut menganga dan ngorok. Di meja kecil di sampingnya tergeletak pistol, yang seperti dugaannya, berjenis Baretta. Diambilnya pistol itu dan memeriksa isinya, yang ternyata memang terisi penuh. Dipasangkannya alat peredam di ujung senjata itu dan mulailah ia merasa telah berkuasa penuh atas jiwa orang itu. Ia pun mulai berkotbah dengan berbisik, yang sepertinya ditujukan pada Taipan itu.

“Suatu saat, di saat kau telah menyadari kematianmu, mungkin kau akan bertanya kenapa harus mati sekarang dan dengan cara menggenaskan seperti ini. Lalu mungkin kau akan berpikir bahwa itu adalah balasan atas semua kejahatan yang telah kau lakukan. Kamu salah jika berpikir seperti itu. Setiap hari, bahkan setiap detik orang-orang menemui ajal mereka dan itu bukan karena mereka jahat atau baik. Orang jahat tetap akan mati sebagaimana halnya orang-orang baik. Kamu mati karena memang takdir telah memutuskan bahwa kamu harus mati dengan cara seperti ini. Takdir tak pernah memilah antara kejahatan dan kebaikan untuk membunuhmu, tetapi karena memang inilah yang telah digariskan padamu. Dan jika kau telah dipilih maka tak ada cara apapun yang bisa kau lakukan untuk mengelak darinya.

“Kamu mati hari ini bukan karena kamu jahat, tetapi karena waktumu yang memang sudah tiba. Kematianmu mungkin menjadi sedikit penting karena akan menjadi berkah bagi yang lain dan tidakkah kau menjadi bangga karenanya? Kematianmu tidaklah membuat kejahatan menjadi berkurang, karena kejahatan selalu beranak-pinak, tak pernah benar-benar bisa dienyahkan dari dunia ini. Kematianmu mungkin juga hanya akan menjadi penting bagimu, karena kau tak perlu lagi memikirkan bagaimana untuk bertahan hidup, sebagaimana mungkin alasan atas semua kejahatanmu selama ini. Kematian akan membebaskanmu, karena semua yang membelenggu hanya ada bagi yang hidup. Tidakkah kamu bersyukur karenanya?

“Lalu mungkin kau akan sedikit dendam padaku karena pembunuhan ini, meski harus kukatakan bukan aku yang membunuhmu. Takdirlah yang membunuhmu dan aku hanya alat baginya. Suatu saat kelak, jika memang kesadaran itu masih tetap kau miliki di alam sana, kau akan berterima kasih padaku atas semua ini, karena kematian ternyata sesuatu yang teramat indah, bahkan lebih indah dari kehidupan itu sendiri.

“Maaf jika mungkin akan terasa sakit. Tapi ini hanya sejenak hingga kau takkan menyadarinya sedikit pun, karena rasa sakit hanya bagi yang hidup.”

Ia pun merapatkan pistol ke kening Taipan itu dengan tanpa menyentuhnya dan langsung ditembakkannya dengan suara desingan kecil hingga nyaris tak terdengar. Mulut Taipan itu masih menganga meski tidak ngorok lagi. Perlahan Malaikat Maut menaruh pistol itu di tangan Taipan itu setelah melepas peredamnya. Tangan Taipan itu diatur sedemikian rupa hingga terlihat bahwa memang dia sendirilah yang menembak dirinya. Dengan cermat dan hati-hati ia meninggalkan tempat itu tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Katrol menaikkannya kembali ke ruang atas, dan ia pun bergegas ke kamarnya, sebelum pemilik kamar menyadari ada yang sedang mengerjainya. Dari dalam kamarnya ia menekan sebuah tombol kecil, sebuah pemicu ledakan jarak jauh. Sebelum ia meninggalkan kamar Taipan itu, ia memasang sebuah peledak kecil yang suaranya mirip ledakan pistol. Setelah mendengar ledakan itu para pengawal akan bergegas mendobrak masuk dan menemukan bos mereka sudah tak bernyawa bergelimingan darah dengan otak yang terburai. Mereka awalnya akan berpikir itu adalah tindakan bunuh diri, lalu karena dorongan intuisi mereka akan segera memeriksa jendela dengan waspada dan tak menemukan adanya penyusup ke ruangan itu. Dan mereka pun semakin yakin bahwa kejadian itu memang hanya kasus bunuh diri.

Taipan itu telah menemui takdirnya, sebagaimana takdir harapkan. Bukankah setiap manusia telah ditakdirkan kematiannya dan bagaimana wujud kematian mereka bahkan sebelum mereka dilahirkan? Terkadang orang-orang menangisi kematian yang menggenaskan dan lupa bahwa dalam wujud apapun, kematian sebenarnya bermakna yang sama, yaitu berpisahnya badan dan jiwa karena berakhirnya kontrak mereka. Sebaik apapun kematian itu terjadi tetap akan bermakna yang sama, adalah keterpisahan manusia dan berbagai urusannya di dunia ini. Kematian akan memiliki arti ketika ia bermakna bagi yang hidup. Orang-orang tak pernah mengenang kematian sebagaimana yang mereka kira, mereka hanyalah mengenang jejak-jejak yang tersisa dari hidup yang telah dijalani. Orang-orang tak pernah merayakan kematian, mereka hanya merayakan hidup yang tersisa sebelum kematian itu datang. Ketika orang merayakan kematian, sebenarnya mereka hanyalah merayakan kehidupan itu sendiri.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun