Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Malaikat Maut (14)

6 Desember 2009   23:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Inspektur Alex Wibowo telah bercita-cita sebagai polisi sejak kecil, meski badannya ketika itu lebih kecil dibanding anak-anak lain seusianya dan sering sakit-sakitan. Jika ia menceritakan cita-citanya itu pada teman-temannya maka spontan mereka akan menertawakannya. Baginya menjadi polisi adalah sebuah pengabdian suci, pahlawan bagi masyarakat untuk menangkap para penjahat yang berkeliaran.

Cita-cita itu tak pernah lepas dari impiannya hingga kemudian ia mampu mewujudkannya. Kata seorang bijak, jika kau sangat menginginkan sesuatu, maka seluruh semesta akan turut membantumu untuk mewujudkannya. Semangat yang tak pernah luruh itulah yang menuntunnya seperti sekarang, berpangkat Inspektur Satu, seorang penyelidik dan penyidik yang disegani oleh polisi lainnya karena kecermatan dan kemampuan analisisnya yang tajam, meski terkadang terkesan gila.

Dengan analisis dan intuisi yang tajam, ia pun sempat bergabung di Densus 88, sebuah kesatuan khusus yang dibentuk untuk penanggulangan kejahatan terorisme di Indonesia, yang kono dibiayai oleh Amerika. Ia termasuk angkatan pertama kesatuan ini, meskipun kemudian ditinggalkannya karena suatu hal.

Selepas dari Densus 88, ia kemudian ditempatkan di kesatuan khusus lainnya, yang ditujukan untuk kejahatan-kejahatan internasional yang bersifat kekhususan dan sistem kerja yang bersifat tertutup, jauh dari pengetahuan publik. Kesatuannya dipimpin oleh seorang berpangkat Kombes atau setara dengan Kolonel dalam sistem kepangkatan polisi yang lama, dengan keanggotaan yang sangat terbatas. Dalam struktur Polri, kesatuan itu sebenarnya tetap berada di bawah Bareskrim, karena sebagian besar operasinya bersifat penyelidikan dan penyidikan kriminal, meski bersifat pengkhususan.

Meski bagi sebagian orang penempatannya di kesatuan baru itu sebagai suatu promosi, penghargaan atas kinerjanya selama ini, namun sebenarnya yang terjadi sebaliknya. Inspektur Alex tergolong polisi kritis dan cenderung pemberontak, yang kadang menyulitkan atasannya. Dalam kesatuan yang lebih besar dan sering bersentuhan langsung dengan publik ia bisa menjadi ancaman. Semua orang mengakui kehebatannya, namun ia kurang bisa bekerja dalam sebuah tim yang lebih besar. Ia selalu punya pemikiran tersendiri, yang sering kali sangat bertentangan dengan pemikiran atasannya, dan ironisnya bahwa ia selalu bersikukuh dengan pendapatnya dan terkadang mengabaikan keputusan tim.

Melihat potensinya secara positif dan negatif, maka sebuah pemikiran dari atasannya untuk menempatkannya pada kesatuan yang lebih kecil, dengan wilayah kerja yang lebih terbatas serta memang membutuhkan kemampuan individu dibanding kemampuan tim. Dan di sinilah ia sekarang.

Memang tak banyak kasus yang ditanganinya. Ketika terjadi kasus pembunuhan TKI di Malaysia, dialah yang diutus untuk berkoordinasi dengan kepolisian Diraja Malaysia. Terkadang ia hanya melakukan pendataan dan pemantauaan terhadap imigran gelap yang tertangkap oleh TNI AL, yang lalu di bawah ke salah satu pelabuhan terdekat. Dalam setahun pertama kerjanya tak banyak kasus yang penting ditanganinya. Hal inilah yang terkadang membuatnya gerah dan merindukan sebuah petualang baru, baik ketika masih di Densus 88 maupun di Reskrim sebagai seorang penyelidik.

Dalam kegusarannya ini tiba-tiba komandannya memanggilnya secara khusus. Meskipun koordinasi tiap hari dilakukannya terhadap atasannya, namun pemanggilan secara tiba-tiba selalu punya arti lain, dan itu biasanya sangat penting.

Ia baru saja memasuki ruangannya ketika ajudan komandannya menelpon perihal pemanggilan itu. Ia segera menuju ruangan komandannya diliputi sejumlah tanda tanya. Apakah komandannya mulai menyadari ia tak cocok dengan lingkungan kerjanya sekarang dan berniat memindahkannya ke tempat lain? Atau ia salah memberi laporan ‘Manusia Perahu’, para imigran gelap yang dipantaunya beberapa hari ini?

Inspektur Alex segera menghormat ketika memasuki ruangan komandannya, yang dibalas dengan anggukan. Tak ada wajah kusut dari komandannya sebagaimana yang dibayangkannya sesaat yang lalu. Yang ada hanya wajah sibuk seperti biasanya dan benar-benar jauh dari perkiraannya, komandan malah tersenyum ramah padanya.

“Duduklah Lex. Santai saja.”

Inspektur Alex yang masih diliputi rasa ingin tahu segeara menuruti perintah komandannya. Ia duduk di sofa, berhadapan langsung dengan sofa dimana kemudian komandannya duduk. Komadannya lalu memberinya selembar kertas yang berlogo asing.

“Surat ini datang beberapa hari lalu dari biro kerjasama FBI. Saya baru mendapatkannya kemarin langsung dari Ka Bareskrim. Sebagaimana tertulis di surat itu hari ini kita akan kedatangan dua orang agen FBI dan semuanya diserahkan ke kita.”

Inspektur Alex membaca surat berbahasa Inggris itu dengan teliti. Tak ada penjelasan alasan kunjungan itu. Mereka hanya meminta kesediaan Kepolisian RI untuk sebuah pertemuan tertutup dengan pihak yang terkait dengan misi mereka. Atau tepatnya meminta bantuan penyelidik yang berpengalaman dari kepolisian RI dalam rangka kelancaran misi mereka. Mereka pastinya sudah memberitahu alasan kunjungan mereka ke Mabes melalui jalur khusus. Surat itu hanyalah formalitas belaka, sekedar bukti adanya pertemuan itu. Begitulah biasanya yang terjadi.

“Mereka sudah di sini, di Indonesia. Tadi mereka menelpon memberitahukan kedatangan mereka dan menanyakan jadwal pertemuan,” ujar komandannya sambil bersilang kaki.

“Maksud komandan, kita akan ada pertemuan dengan mereka siang ini dan saya harus hadir dalam pertemuan itu?”

Komandannya mengangguk mengiayakan. “Aku ingin kamu menemaniku menghadapi mereka. Bahasa Inggrismu kan jauh lebih baik dari kita semua dan kupikir apapun permintaan mereka kamu yang paling pantas mengerjakannya,” komandannya terkekeh kecil.

“Apa mereka sudah memberitahu tujuan pertemuan ini?”

“Yaa…palingan sekaitan dengan buron narkotika yang tak ingin diekspos karena mungkin bersifat politis. Tak begitu jelas penjelasan atasan kemarin. Intinya, mereka menginginkan penyelidik berpengalaman, dan kurasa itu adalah kau. Kehadiranku hanya sebatas formalitas saja.”

Inspektur Alex tak mampu menutupi keringkihannya dan kemudian tersenyum, mencoba mengendalikan diri, agar tak terlihat terpengaruh dengan pujian kecil itu. Pujian itu bisa berarti apa saja. Mungkin saja komandannya tulus mengatakannya, namun sebaliknya bisa saja hanya sebuah sindirian.

Ia lalu pamit untuk menyelasaikan pekerjaannya yang tertunda. Komandannya sekali lagi mengingatkan akan pentingnya pertemuan itu sebelum ia berlalu menuju ruangannya yang penuh dengan dokumen-dokumen tua yang seharusnya sudah disingkirkan ke gudang.

Tepat pukul 13.00, pertemuan itu dilakukan di salah satu ruang rapat kesatuan, dan hanya mereka berempat dalam ruangan itu. Inspektur Alex dan komandannya serta kedua agen FBI itu.

Kedua agen itu memperkenalkan diri sebagai William Tunner dan Bill Monroe atau agen Tunner dan agen Monroe. Terlebih dahulu mereka menyatakan permohonan maaf atas kunjungan tiba-tiba dan tak biasa itu dan menyatakan bahwa kunjungan mereka itu menunjukkan baiknya hubungan antara kepolisian di dua negara.

Agen Tunner lalu menyalakan laptopnya dan menyambungkannya ke sebuah LCD. Ia meminta izin mematikan semua lampu di ruangan itu sebelum akhirnya melakukan presentasi.

Pada dasarnya tujuan kunjungan mereka berdua dalam rangka mengejar seorang buron internasional yang selama ini banyak menganggu kepentingan Amerika di luar negeri, khususnya di kawasan Asia. Buron ini adalah seorang pembunuh bayaran profesional, yang kebetulan berkebangsaan Indonesia dan dicurigai saat ini berada di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai tempat domisili utamanya.

“Kami begitu yakin bahwa orang ini menetap secara permanen di Indonesia, meski sering melakukan perjalanan ke negara-negara lain, khususnya di kawasan Asia dan kemungkinan besar juga di kawasan Pasifik, untuk menjalankan aksinya.

“Ia sangat berbahaya, profesional dan sangat sulit dikenali karena kemampuannya menyembunyikan identitas diri. Kabar buruknya bahwa pencarian kita ini seperti mencari sesuatu yang tak pernah ada: hantu. Kita tentunya punya profil orang ini, namun sangat tidak membantu. Satu-satunya hal yang bisa menjadi acuan kita untuk menemukan si target ini adalah dari jenis korbannya, yang akan selalu berasal dari kalangan atas.”

Baik Inspektur Alex maupun komandannya tampak sedikit takjub dengan penjelasan agen itu. Ini bukan pekerjaan yang mudah karena harus benar-benar dimulai dari nol, dari ketiadaan. Dalam semua kasus yang pernah ditanganinya biasanya selalu ada petunjuk awal yang lebih spesifik. Dari petunjuk inilah kemudian penyelidikan akan terus berkembang dan berkembang hingga cukup bukti yang bisa dijadikan acuan pengambilan kesimpulan. Dalam kasus-kasus seperti ini yang paling berperan sebenarnya adalah intiusi, yang meski penyelidik di kepolisian memilikinya, karena berbagai pengalaman di lapangan, namun tak semua penyelidik berani bertindak berdasarkan intiusi belaka. Hanya penyelidik yang ‘gila’ yang melakukannya dan itu termasuk Inspektur Alex di antaranya.

Setelah hampir dua jam melakukan pertemuan, mereka pun membangun kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam proyek tersebut. Kedua agen itu senantiasa menekankan pentingnya upaya pencarian itu dan berjanji akan memberikan sumber daya yang tak terbatas dalam membantu penyelidik kepolisian Indonesia. Mereka tentunya tidak bisa bergerak bebas meskipun mereka menginginkan keterlibatan penuh atas setiap temuan yang diperoleh di lapangan. Mereka pun memberikan sejumlah peralatan berteknologi tinggi yang diharapkan membantu kelancaran penyelidikan polisi, termasuk tenaga ahli untuk pengoperasiannya. Diantaranya seperangkat adalah alat penyadapan yang bersifat mobile atau bisa digerakkan kemana saja dengan radius jangkauan yang jauh lebih besar, sangat jauh dari teknologi penyadapan yang dimiliki kepolisian Indonesia selama ini.

Setelah mendapatkan penjelasan yang cukup kedua agen itu pamit dan memberi jalur akses dimana mereka bisa berkoordinasi setiap saat. Mereka akan berada di Indonesia untuk beberapa lama. Sebuah handpone yang berteknologi tinggi diberikan atau tepatnya dipinjamkan kepada Inspektur Alex. Konon HP ini hanya dimiliki oleh FBI, CIA dan sejumlah agensi Amerika lainnya dan biasa digunakan dalam operasi khusus.

Setelah kedua agen itu pergi, Inspektur Alex dan komandannya masih tetap mendiskusikan tugas baru yang harus mereka emban. Meski sulit namun bukannya tak mungkin untuk dilakukan. Mereka pun membicarakan hal-hal teknis sekaitan dengan penugasan itu dan yang paling penting adalah koordinasi dengan sejumlah pihak yang dapat membantu kelancaran misi tersebut. Tentunya itu harus dilakukan secara diam-diam sebagaimana yang diinginkan agen FBI tersebut.

Inspektur Alex meski merasakan sulitnya pekerjaan itu namun dalam hati kecilnya ia merasa gembira karena akhirnya ia mendapatkan tugas yang jauh lebih menantang dibanding dengan yang pernah dilakukannya selama ini. Apalagi ia kini memiliki mandat yang lebih besar, yang berarti bahwa ia bebas berkreasi dan mengandalkan segala potensi yang dimilikinya. Hal yang paling penting dilakukannya sebagai langkah awal adalah mengidentifikasi sejumlah kematian-kematian orang-orang penting ataupun terkenal, baik yang diketahui publik sebagai kematian wajar ataupun tidak. Bagian Reskrim ia yakini takkan banyak membantu, meskipun ia akan tetap mengunjungi nanti. Yang dibutuhkannya sekarang adalah data kematian orang-orang penting dan terkenal, baik itu politisi, artis, pejabat pemerintah, pengusaha dan ataupun kalau memungkinkan orang-orang jahat yang meski telah diketahui kejahatannya namun tetap bebas berkeliaran dan bahkan menjadi selebriti. Ia pun memerintahkan seorang anak buahnya yang paling terpercaya untuk membantunya mencari dalam pemberitaan media di internet.

Tak banyak kasus kematian dengan profil tersebut dalam tiga tahun terakhir ini, meski memang ada beberapa kasus kematian yang mencurigakan. Misalnya saja kasus kematian seorang artis yang dirahasiakan keluarganya dan baru diketahui beberapa bulan kemudian. Ada pula kematian anggota dewan yang terkena serangan jantung ketika sedang bermain tennis. Kematian seorang Kolonel yang ditembak bawahannya sendiri. Semua itu masih terasa hal-hal yang wajar.

Dua kasus kematian mencolok yang ditemukannya adalah kasus kematian istri seorang pengusaha terkenal karena over dosis hampir setahun lalu. Wanita itu dulu dikenal sebagai salah seorang Idol di sebuah stasiun televisi dan kemudian laris manis membintangi berbagai sinetron hingga akhirnya pacaran dengan seorang pengusaha muda yang sukses. Mereka menikah hanya dua bulan setelah masa pacaran. Kematian wanita ini memenuhi setiap halaman pemberitaan nasional dan lokal, karena setiap gosip tentang artis selalu menarik perhatian pembaca. Semua orang merasa tak percaya dengan kejadian itu, karena mereka tahu wanita itu, adalah sosok yang baik dan saleh sebagaimana tokoh yang selalu diperankannya di berbagai sinetron. Semua orang menangisi kematiannya, sebagaimana dulu semua orang menangis bahagia dengan perkawinannya yang glamour.

Kematian kedua, yang masuk dalam hitungan kecurigannya, adalah kematian seorang pengusaha asing di suite-ya di sebuah hotel ternama di Jakarta. Meski hanya sebuah berita pendek dan kemungkinan ditempatkan di halaman dalam koran yang memuatnya, namun tetap saja berita ini begitu menarik. Diceritakan bahwa pengusaha itu menembak keningnya sendiri beberapa saat setelah ia masuk ke dalam kamarnya. Tak ada indikasi pembunuhan, karena pintu masuk maupun jendela terjaga dengan baik dengan pengawal dan alat pengawas berteknologi tinggi. Berita pun memuat tentang spekulasi bunuh diri pengusaha itu karena stres dengan masalah-masalah persaingan bisnis yang dihadapinya.

Berbekal dua berita ini Inspektur Alex pun menemui salah seorang temannya di bagian Reskrim Polda Metro Jaya, AKP Ibrahim, teman sejawatnya sekaligus karibnya di Akpol dahulu, yang kini memiliki posisi lebih tinggi setingkat darinya.

AKP Ibrahim segera mempersilahkan duduk ketika Inspektur Alex sudah berada di depan pintu. Mereka terlihat sangat akrab.

“Wah tumben kau mau datang ke ruanganku ini. Bagaimana kabar dengan posisi barumu sekarang. Mudah-mudahan kau tidak membuat keonaran lagi di sana,” sindir AKP Ibrahim sambil tersenyum lebar.

Inspektur Alex tertawa lebar. Ia sudah terbiasa dengan segala macam sindiran dari sahabatnya itu. Sepahit apapun tetap selalu terdengar menyenangkan. Begitulah Bram, pikir Inspektur Alex selalu. “Jangan terlalu dilebih-lebihkan lah. Aku tak pernah membuat keonaran sedikit pun, orang-oranglah yang selalu merasa terancam dengan kehadiranku,” bela Inspektur Alex sambil terkekeh.

“Oke, Lex. Setiap kau ke sini pasti selalu membawa masalah dan beban baru padaku. Terakhir kau datang aku hampir dicopot dari jabatanku akibat informasi yang kau berikan tidak akurat. Nah, sekarang pertunjukkan apa lagi yang kau miliki?”

Inspektur Alex hanya tertawa lebar mendengar sindiran rekannya. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan selembar kertas berlogo kepolisian yang lalu diserahkannya pada AKP Ibrahim.

“Apa ini?” AKP Ibrahim menerima lembaran itu dan malah mengabaikannya. Ia sepertinya sudah tahu isi surat itu, ia mungkin lebih mempertanyakan alasan munculnya surat itu.

“Bacalah, Bram. Aku tahu kau sudah menebak inti dari isi surat itu. Tapi lebih baik kau baca lebih teliti.”

AKP Ibrahim mungkin lagi malas berdebat, sehingga menuruti begitu saja permintaan Inspektur Alex.

“Apa yang kau inginkan dari unitku sehingga harus butuh instruksi langsung dari Ka Bareskrim Mabes seperti ini? Kenapa kau tidak langsung minta padaku seperti yang dulu-dulu?”

Inspektur Alex lalu merapatkan tubuhnya agar lebih mendekat ke AKP Ibrahim. Ia sepertinya sangat berhati-hati dengan apa yang akan dikatakannya.

“Kau pasti sudah tahu betapa pentingnya tugasku saat ini, Bram. Aku bisa menceritakan semuanya padamu, tapi setelah itu aku harus membunuhmu.”

AKP Ibrahim awalnya sedikit terkejut, lalu keduanya tertawa bersama.

“Beginilah kalau terlalu banyak nonton film Hollywood,” ujar AKP Ibrahim kemudian.

“Ini serius, Bram. Aku sangat butuh bantuanmu saat ini.” Ia lalu memberikan dua printout bahan dari internet. AKP Ibrahim mengambil klipingan itu. Keningnya berkerut.

Kematian pengusaha itu memang pernah singgah di unitnya, meski kemudian kasus kematian itu dinyatakan sebagai murni kasus bunuh diri, bukan kasus pembunuhan sebagaimana spekulasi yang berkembang. Sedangkan kematian wanita selebriti istri pengusaha tenar itu malah tak pernah singgah di unitnya, namun ia yakin datanya ada di bagian Narkoba. Ia tahu melalui koran kalau kematian wanita itu akibat over dosis.

“Ada apa dengan dua kematian ini, Lex?” tanya AKP Ibrahim dengan ekspresi ketidaktahuan.

“Aku hanya ingin meminta kepastian dari kamu, baik sebagai seorang di unit kriminal ataupun sebagai seorang teman yang kuanggap memahamai masalah seperti ini,” ujar Inspektur Alex sambil tersenyum.

AKP Ibrahim terdiam sejenak. Ia tampak bimbang, namun sepertinya ia tidak punya pilihan lain. Surat instruksi langsung dari Ka Bareskrim bukanlah hal main-main dan hanya dikeluarkan jika memang ada kondisi-kondisi tertentu. Kasus yang ditangani Inspektur Alex pastilah bukan kasus biasa, apalagi dengan menghubungkannya dengan kematian seorang pengusaha asing yang di negaranya dikenal sebagai pimpinan triad, atau Mafia Hongkong, dan satu lagi adalah kematian wanita istri pengusaha tenar, yang bahkan tidak pernah diketahui kematiannya secara pasti. Terhadap kasus pertama ia memiliki penilaian tersendri, sedangkan pada kasus kedua ia justru tak mendapat gambaran apa pun. Dalam surat itu sangat jelas tertulis bahwa si penerima mandat harus diberi akses seluas-luasnya terhadap kasus yang tengah ditanganinya.

AKP Ibrahim mengambil nafas panjang. Ia sepertinya hendak mengatakan sesuatu lalu kemudian tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya.

“Apa ada sesuatu yang seharusnya aku tahu dari kedua kasus itu, Bram” desak Inspektur Alex.

AKP Ibrahim mengangguk, “Ini sangat kompleks, Lex.”

“Iya?”

“Memang ada sedikit masalah dengan kematian pengusaha itu, dan untuk kematian kedua aku tidak punya penjelasan apa pun untukmu.

“Kematian pengusaha Hongkong itu memang awalnya terlihat sebagai murni kasus bunuh diri. Hasil pengamatan sementara penyidik kami tidak menemukan adanya kejanggalan dari kematian itu. Laporan tim Forensik pun menguatkan hal itu. Kami tak bisa berharap banyak dari saksi karena memang tidak ada informasi yang bisa dikorek selain kesaksian dua pengawal di depan pintu yang mendengar adanya letusan pistol.

“Aku pun awalnya berpikiran bahwa tak ada yang aneh dengan penembakan itu sampai akhirnya menemukan adanya sebuah keganjilan. Setidaknya ini menurut penilaianku. Dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan peluru itu terlihat bahwa tembakan peluru melaju tidak secara maksimal. Ini bisa dilakukan jika pistol yang kau gunakan menggunakan alat pengatur kecepatan atau terhalang oleh sesuatu sebelum akhirnya mengenai sasaran dan satu-satunya penghambat kecepatan, yang sebenarnya lebih bersifat sebagai peredam suara, adalah alat peredam.”

“Maksudmu ia ditembak dengan pistol yang menggunakan alat peredam dan alat yang semestinya berada di ruangan itu tidak kau temukan?”

AKP Ibrahim mengangguk. “Di ruangan itu haruslah ada orang lain di saat kejadian dan anehnya tak ada satu jejak pun yang bisa memberi petunjuk ke arah itu. Di bagian pintu berdiri dua pengawal yang menjaganya setiap saat dan di bagian jendela terpasang kamera sensor gerakan yang akan merekam setiap aktivitas di sekitarnya. Asumsi terbaik yang bisa kami dapatkan bahwa kamera itu tidak berfunsgi sebagaimana mestinya atau adanya penghianatan dari kedua pengawal itu. Dua hal yang juga sama mustahilnya aku kira.”

“Jadi?”

“Itulah yang membingungkanku. Di satu sisi tak ada bukti kuat yang bisa menjadi peganganku, di sisi lain intuisiku sebagai penyidik selalu saja merasa ada yang salah dengan kematian itu.”

Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. AKP Ibrahim masih memelototi klipingan berita itu dan kemudian menghempaskannya di meja dengan putus asa.

“Mengapa ini menjadi penting, Lex?” tanya AKP Ibrahim kemudian.

“Anggaplah aku punya pemikiran yang sama denganmu, Bram. Ingat, aku dulunya penyelidik di Reskrim dan kemudian dimutasikan ke Densus 88, hingga akhirnya di tempatkan di posisi sekarang. Apakah kamu pikir reposisiku selama ini karena prestasi kerja yang kumiliki? Tidak sama sekali. Mereka hanya tidak memahami semua jalan pikiranku tentang sebuah masalah, karena aku memang selalu berbeda dengan orang lain. Di sisi ini kita memiliki persamaan. Perbedaan kita mungkin lebih pada sikap kita atas perbedaan-perbedaan itu. Jika kamu lebih senang menyimpannya untuk dirimu sendiri, sedangkan aku terkadang harus mencak-mencak agar orang lain memahami apa yang kupikirkan dan kuyakini kebenarannya.”

Keduanya tertawa kembali. Beberapa saat mereka hanya mengenang saat-saat kebersamaan mereka di Akpol dan bagaimana mereka selalu memecahkan setiap persoalan secara bersama. Mereka diakui memiliki keunikan tersendiri dalam melihat suatu persoalan, sesuatu yang terkadang tidak dibutuhkan oleh profesi mereka.

“Bagaimana dengan kematian wanita itu, Lex. Pada kematian pengusaha itu mungkin aku bisa memahami pemikiranmu, karena sejatinya aku pun berpikir demikian. Tapi kalau kematian seorang selebriti yang over dosis mungkin aku tidak bisa bersepakat. Bukankah hampir setiap selebriti punya masalah dengan hal ini?”

Inspektur Alex menyatakan spekulasinya, “Aku sebenarnya tidak begitu yakin, Bram. Mungkin, sebagaimana kau, aku hanya mengandalkan intuisi belaka. Satu hal yang pasti, ia sangat cocok dengan profil korban yang kuinginkan.”

“Profil korban? Maksud kamu?”

Inspektur Alex mau tidak mau harus menceritakan banyak hal tentang apa yang tengah dikerjakannya, meski tidak semuanya. “Para agen ini yakin bahwa satu-satunya petunjuk yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan pelaku adalah dengan melihat profil korban. Orang-orang tenar yang mati secara tidak wajar. Dua orang itulah yang masuk dalam kategoriku.”

AKP Ibrahim tampak takjub dengan penjelasan Inspektur Alex. Ini tentunya pendekatan yang baru baginya, bagaimana mengenali pelaku yang anonim dengan melihat para korban yang juga sebenarnya anonim. Ia memang pernah mendengar bahwa pendekatan ini biasa dilakukan dalam kasus pembunuhan berantai, dimana adanya seorang pembunuh telah diketahui. Mereka selalu memiliki pola dalam menjalankan aksi-aksinya. Tapi untuk kasus yang belum diketahui sedikit pun tentang status kriminal di dalamnya, ia belum mendapatkan gambaran sedikit pun tentang hal itu.

“Aku harap kamu merahasiakan apa yang akan aku sampaikan, Bram,” Inspektur berbisik mendekat ke Inspektur Ibrahim, “Kita sedang berhadapan dengan hantu. Pembunuh tak beridentitas yang mampu menjadi orang lain dengan mudah. Dan bagian yang paling menakutkan dari semua ini bahwa kita tidak akan pernah tahu bahwa ia mengincar kita sebelum ia telah benar-benar berdiri di hadapan kita.”

“Kenapa bisa seperti itu?” AKP Ibrahim sepertinya semakin kebingungan.

“Karena ia adalah seorang Malaikat Maut atau begitulah ia menyebut dirinya. Dan sebagaimana malaikat maut, ia mungkin kini telah berdiri di depan jendela kamarmu saat ini.”

AKP Ibrahim hanya tertawa mendengar penjelasan akhir rekannya, yang lebih terdengar sebagai lelucon. Namun dalam hati ia menyadari bahwa betapa berbahayanya orang yang sedang mereka cari saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun