Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Malaikat Maut (11)

4 Desember 2009   09:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:04 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berapa harga sebuah nyawa? Ia bisa sangat sangat mahal atau tidak malah berharga sama sekali. Terkadang ia hanya seharga sepuluh ribu perak.

“Ia mengambil uang sepuluh ribu dari kantong saya secara paksa. Saya refleks dan mulai memukul wajah orang itu hingga tak sadar sampai orang itu ternyata sudah jatuh tersungkur dan mati,” ungkap seorang pelaku pembunuhan, yang membunuh temannya sendiri demi uang sepuluh ribu rupiah. Ia membunuh bukan demi uang itu, tapi demi sesuatu yang lebih besar dan menghantui setiap eksistensi manusia: harga diri.

Di kasus lain, seorang yang putus asa bertahun-tahun menjadi pengangguran, lalu seseorang menawarkan sebuah proyek pembunuhan bernilai dua juta rupiah. Tanpa pikir panjang orang itu menyangggupinya dan ia benar-benar melakukannya. Plus. Dengan sangat sadis lebih dari yang diinginkan.

Bisnis pembunuh bayaran mungkin benar-benar sedang marak saat ini. Bahkan ada yang berani mengiklan diri melalui internet, baik lewat iklan baris maupun melalui email. Sebuah email yang berisi tawaran pembunuh bayaran sempat meresahkan dan membuat gerah pihak kepolisian. Email itu berbunyi:

date May 1, 2007 11:41 PM

subject pembunuh bayaran

Yth Bapak/Ibu

Dengan hormat,

Kami ingin menawarkan kepada anda sebuah jasa yang
istimewa, yakni pembunuh bayaran.

Mungkin bapak/ibu memiliki dendam terhadap seseorang atau
punya saingan bisnis yang ingin dilenyapkan secara singkat
(kebanyakan klien kami adalah para pengusaha). Maka kami
siap untuk membantu bapak/ibu untuk melakukan pembunuhan
ini. Dan bapak/ibu bisa tenang karena segala identitas
bapak/ibu akan selalu terjaga kerahasiannya.

Kami melayani untuk kota-kota besar di indonesia. Dalam
melaksanakan sebuah operasi kami perlu mensurvey korban
terlebih dahulu. Lama survey 3-7 hari. Lalu kami akan
melakukan aksi.

Metode pembunuhan terserah bapak/ibu. Bisa langsung
ditembak (disamarkan dengan perampokan), kecelakaan
lalulintas (seperti sabotase rem), atau diracun dengan
racun yang tersamarkan (akan tampak seperti serangan
jantung).

Mengenai biaya. Ini akan disesuaikan dengan tingkat
kesulitan dan juga teknik pembunuhan.

Jika anda tertarik, silakan anda menghubungi
email:pembunuhbayaran@—edit—.xxx dan tinggalkan nama,
nomor telepon, serta jam berapa anda ingin di telepon.

Terima kasih

nb:
-Kami juga menyediakan bom. Bom akan langsung dikirimkan
ke tempat korban. Bom diletakkan di dalam ransel atau yang
sejenis. Mengenai besar, target dan waktu akan menentukan
biaya.

Pada tahun 2008, Internet Crime Complaint Center(ICI3) yang dikelola FBI Amerika, memperingatkan para pengguna internet tentang email-email spam yang mengaku sebagai pembunuh bayaran di internet. Modusnya adalah dengan mengancam pengguna internet lewat email bahwa orang yang disayanginya telah menjadi target pembunuhan mereka dan mereka meminta pengguna untuk menghubungi nomor telepon yang disediakan dalam waktu 48 jam. Untuk membuat pengguna percaya pembunuh bayaran menyebutkan informasi rinci tentang targetnya tersebut dan lalu mengatakan kalau kontrak untuk membunuh target telah dibuat dan untuk membatalkannya mereka meminta sejumlah uang. Jumlah email 'scam' atau spam yang isinya menakut-nakuti ini pun terus mengalami kenaikan setiap bulannya.

Malaikat Maut sendiri tidak punya harga tertentu untuk setiap pembunuhan yang dilakukannya. Yang jelas akan sangat mahal. Maka jangan heran jika yang menjadi kliennya kebanyakan adalah konglomerat-konglomerat kaya, politisi-politisi korup berkantong tebal, janda-janda kaya dan profil-profil elitis lainnya dengan penghasilan tak terbayangkan. Dalam beberapa kasus, harga yang diperolehnya jauh lebih mahal dari apa yang bisa dibeli dengan uang.

Setiap nyawa memang selalu punya harga. Begitulah filosofi hidup sang Malaikat Maut. Dan harga yang dibayarkan haruslah benar-benar sepadan. Malaikat Maut pernah membunuh seorang preman kampung yang kerjaannya meneror warga. Harga yang dibayar kliennya benar-benar sepadan dengan apa yang dilakukannya. Kliennya adalah sekelompok warga yang entah bagaimana mengetahui prosedur kerjanya. Malaikat Maut penasaran dengan apa orang-orang miskin itu akan membayarnya.

“Kami akan membayarmu dengan rasa respek seumur hidup. Setiap malam setiap orang di kampung kami akan mendoakan keselamatan anda. Kami akan membuat prasasti kepahlawanan anda, jika memang anda menginginkannya. Dalam prasasti itu akan terukir anda sebagai orang yang telah sangat berjasa bagi kemanusiaan dan masa depan masyarakat kami, dan ini akan dikenang sepanjang masa. Lalu kami akan membuatkan dongeng tentang kisah kepahlawanan anda, yang akan diceritakan secara turun temurun pada anak cucu kami. Nama anda, saya jamin, akan selalu abadi di hati kami.”

Malaikat Maut menyanggupi permintaan itu, bukan karena janji sebuah prasasti dan dongeng yang akan diceritakan secara turun temurun. Bukan pula akan doa keselamatan, yang ia yakin tanpa dilakukannya pun akan selalu selamat, karena dia adalah malaikat maut, atau setidak-tidaknya titisan darinya. Ia menyanggupinya karena merasa harus melakukannya dan melihat betapa besarnya tekad orang-orang itu untuk meminta sesuatu yang sebenarnya bukan haknya. Tekad dan pengharapan orang-orang itu yang sedemikian besarnya adalah bayaran yang tak ternilai harganya.

Membunuh seorang preman kampung bukanlah hal sulit baginya. Preman kampung selalu hanyalah orang-orang yang bermodal gertakan dan nyali besar dan kadang dengan raut muka yang dibuat sangar. Di mata Malaikat Maut, mereka bukan apa-apa. Membunuhnya hanya seperti membunuh lalat. Mereka bukan orang-orang yang terlatih seperti dirinya. Malaikat Maut bahkan tidak membutuhkan senjata apa pun untuk membunuhnya. Polisi mengidentifikasi kematian si preman itu karena terjatuh dari tangga hingga lehernya terpelintir. Orang-orang tahu bahwa itu adalah pekerjaan Malaikat Maut, sang pahlawan mereka, yang membebaskan dari jerit ketertindasan mereka selama ini.

Ia pun pernah membunuh seorang bandar narkoba yang cukup disegani. Tentu saja ia dibayar mahal untuk itu dari pesaing si bandar narkoba ini. Bandar ataupun pengedar narkoba adalah korban yang paling disukainya. Membunuh mereka sama halnya dengan menyelamatkan seribu nyawa yang lain. Mungkin kelak ia akan membunuh lebih banyak bandar narkoba lainnya, termasuk orang-orang yang telah membayarnya melakukan pembunuhan selama ini. Ia hanya menunggu orang-orang membayarnya untuk melakukannya, karena ia tak pernah ingin membunuh secara gratis. Semua nyawa punya harga. Harga yang sangat mahal.

Pernah pula ia membunuh seorang wanita muda yang cantik. Istri seorang pengusaha sukses dengan reputasi nasional. Meski klien yang membayarnya tak menyebutkan motif dari pembunuhan itu, dan ia memang tak pernah menanyakannya. Ia tahu. Butuh waktu untuk meyakinkan dirinya untuk menerima tawaran itu. Bukan karena masalah harga. Meski harga adalah penting, namun tujuan dan harapannya adalah jauh lebih penting. Jika ia membunuh wanita itu, apa yang diharapkan ingin dicapainya dengan melakukannya. Ia selalu punya tujuan atas tindakan yang dilakukannya. Ia sangat benci dengan para pembunuh amatiran yang selalu mengaku membunuh karena keterpaksaan ataupun karena kekhilafan. Ia pernah menonton di televisi, seorang yang membunuh istrinya dan selingkuhannya lalu menyesalinya kemudian. Mungkin karena ia mengharapkan keringanan hukuman, karena pengadilan akan senantiasa memberi keringanan bagi terdakwa yang menyesali perbuatannya, dan bahkan membebaskannya jika terbukti melakukannya di luar kesadaran atau gila. Biasanya bunyi putusan akan seperti ini, “Karena terdakwa terbukti menyesali perbuatannya dan menunjukkan etiket yang baik dan bekerja sama selama proses pengadilan maka majelis hakim memutuskan memberi keringanan hukuman….

Ia lebih senang jika pembunuh itu berkata dengan bangga, “Saya membunuh mereka karena mereka berdosa. Mereka mengambil sesuatu yang bukan hak mereka!”

Wanita yang menjadi korbannya itu sedang bermasalah dengan kehidupannya. Itu yang Malaikat Maut tahu. Bukan karena kekurangan. Tapi sebaliknya justru karena ia bisa mendapatkan segalanya dengan mudah. Ia istri seorang konglomerat terkemuka, yang menurut riwayat hidup yang ditulis di sebuah majalah bisnis, memulai kariernya dari bawah, dari seorang yang tak berpunya, namun karena tekad dan kecerdasannya ia mampu memperoleh semua kesuksesannya dalam sekejap. Tak banyak hal buruk yang diketahuinya tentang suaminya hingga ia menikahi, sampai akhirnya tahu bahwa suaminya adalah monster yang menakutkan bagi banyak orang. Suaminya mungkin tak pernah menyakitinya, tapi wanita itu tahu ia bisa melakukannya kapan pun karena ia selalu melakukannya pada orang lain.

Wanita itu tak pernah bahagia dengan pernikahannya, karena ia selalu mondar-mandir di dalam rumah yang dijaga ketat oleh belasan pengawal bersenjata, merokok tanpa henti, menelan sejumlah pil penenang dan sering seperti bertutur dan mengumpat sendiri entah pada siapa.

Ia hampir saja menolak tawaran itu jika saja ia tidak segera menyadari bahwa ia memang harus membunuh wanita itu. Bukan karena permintaan dan harga besar yang ditawarkan padanya. Tapi demi wanita itu sendiri. Wanita itu mungkin telah sekian ribu kali berdoa dan Tuhan akhirnya, setelah doa yang bertubi-tubi itu, mengabulkannya dengan mengirim dirinya sebagai jawaban dari doa wanita itu.

Pada suatu malam, Malaikat Maut sudah berdiri di depan pintu kamar wanita itu, yang mungkin karena pengaruh obat penenang yang diminumnya, tidak menjerit sama sekali dan malah melihatnya syahdu dan penuh pengharapan. Tak ada satu pun penjaga yang menyadari kehadirannya di rumah itu.

“Apakah kamu sang Malaikat Maut?” tanya wanita itu.

Malaikat Maut mengangguk. Wanita itu mungkin benar-benar telah menunggu kedatangannya.

“Aku sudah lama menunggumu,” ujar wanita itu setengah sadar, setengah tak sadar. “Aku tak pernah mengunci pintu kamar dan jendela karena kutahu suatu saat kamu akan datang.”

“Kamu terlalu tampan untuk menjadi malaikat maut,” senyum wanita itu seperti hendak menggodanya.

Malaikat Maut hanya tersenyum risih.

“Dulu sewaktu kecil, aku selalu membayangkan sosok malaikat maut sebagai sosok yang tinggi besar dan menakutkan, yang berekudung menyembunyikan sisi gelap dari dirinya, yang senantiasa membawa pisau pancung untuk mengeksekusi korban-korbannya. Aku melihatnya di film-film bagaimana mereka menggambarkanmu sebagai sosok yang menakutkan dan tak kenal konfromi. Apakah dunia yang berubah telah membuatmu seperti ini?”

Wanita itu lalu berdiri menghampirinya dan menuntunnya ke pinggiran kasur dimana mereka kemudian duduk berdampingan dengan begitu akrab. Wanita itu bahkan merebahkan kepalanya di paha lelaki itu, lelaki yang justru akan menghancurkan semua kesenangan hidupnya. Wanita itu pun bercerita banyak hal, tentang masa kecilnya yang indah dan mimpi-mimpinya.

Wanita itu dulunya adalah gadis ceria, yang selalu memimpikan ketenaran dan kelak bertemu pangeran yang tampan dan kaya raya. Ia mengikuti banyak kontes kecantikan dan selalu tampil bernyanyi di pesta-pesta keluarga. Semua orang di keluarganya mencintainya dan mengharapkannya menjadi model ataupun penyanyi tenar di kemudian hari.

“Lalu suatu hari, di usia saya yang ke enambelas, saya mengikuti sebuah kompetisi nyanyi di sebuah stasiun tv swasta. Saya lolos bersama dengan lima orang lainnya. Lima orang dari provinsi dan sepertinya semua orang hanya mencintai saya. Mereka mengirim berjuta-juta sms untuk mendukung saya, walaupun mungkin kualitas nyanyi saya tidaklah lebih baik dari yang lain. Mungkin karena saya lebih cantik dan dari awal media-media mengekspos diri saya sebagai pribadi sederhana, alim dan anak rumahan. Sesuatu yang sebenarnya jauh dari gambaran diri saya. Tapi mereka memaksa saya seperti itu, karena katanya, penonton senang dengan idola yang tak jauh dari gambaran kehidupan keseharian mereka. Saya menjadi seseorang yang saya sendiri sebenarnya tidak kenali. Apakah saya punya daya atas semua itu? Tidak, mereka dan kalianlah yang menentukan kehidupan saya. Apakah saya bahagia? Ya, saya bahagia dengan semua capaian hidup saya yang fantastis. Saya telah menjadi seseorang yang semua gadis impikan: kecantikan, ketenaran dan kekayaan, dikejar-kejar cowok-cowok, punya banyak koleksi baju bikinan desainer ternama, punya berbotol-botol parfum berkualitas dunia. Apa lagi yang kurang dari semua itu? Apakah saya bahagia? Ya, saya bahagia. Saya bahagia karena untuk pertama kalinya ibu saya tidak lagi mengharap apa-apa dari saya, tak lagi menyuruh-nyuruh mengikuti kontes ini dan itu, tidak lagi membangga-banggakan diri saya ke teman-teman arisannya, karena tanpa dia lakukan semua orang sudah tahu perihal diri saya. Saya bahagia karena ibu saya pun mengikuti ketenaran saya. Ia menjadi ibu yang mampu membesarkan anaknya hingga mencapai kesuksesan dalam sekejap. Saya bahagia karena ibu saya kini lebih sibuk dengan dirinya dan ketenarannya sendiri. Ia pun kini menjadi bintang sinetron sebagai ibu yang teraniaya dan penuh kasih. Saya bahagia karena untuk pertama kalinya saya menikmati diri saya sebagai pribadi yang mandiri. Bukan sebagai burung pipit yang pandai bernyanyi, namun terkurung dalam sangkar emas.

“Lalu kamu pikir saya tidak bahagia? Kamu salah. Saya bahagia karena menemukan seorang pasangan hidup yang sepadan dan bahkan jauh lebih kaya dan tenar dengan saya. Saya menikahi suami saya telah empat tahun dan itu terasa sebagai empat puluh tahun. Saya bahagia untuknya. Mencintainya lebih dari apapun. Kamu salah jika menilainya sebagai suami yang jahat. Mungkin ia memang orang yang sangat jahat, tapi sebagai suami dia tak ada tandingannya dengan suami mana pun di dunia ini. Saya mencintainya terlalu dalam hingga begitu takut tak mampu menghadapi kenyataan lain. Bagaimana jika tiba-tiba tidak lagi menganggapku sebagai istrinya? Bagaimana jika ia tiba-tiba menyesali menikahi seorang gadis manja yang tak pandai masak dan hanya mampu mengagumi dirinya sendiri di cermin? Tega benar dikau mengatakan saya tidak bahagia. Saya bahagia dan saya tidak ingin melepas kebahagiaan itu sekejap pun. Jika pun saya akan mati saat ini, karena kau menginginkannya, maka saya ingin mati dengan benar-benar bahagia. Saya sudah lama menunggu kedatanganmu karena hanya engkau yang mampu mengekalkan cinta di hati ini. Bukankah hanya kematian yang mampu mengekalkan cinta?”

Wanita itu lalu menggengam tangan Malaikat Maut sambil berkata penuh harap, dengan tatapan mata berbinar-binar penuh kebahagiaan, “Jika saya memang harus mati saat ini, jangan pernah ragu melakukannya. Kematian bukan sesuatu yang asing bagiku. Saya sejak lama selalu memimpikannya. Saya selalu membuat puisi dan nyanyian untuknya. Saya bahkan telah menjalaninya secara mental selama ini.”

Malaikat Maut sepertinya bimbang dengan kenyataan yang dihadapinya. Tadinya ia membayangkan wanita itu akan panik dan kemudian memencet tombol bahaya yang ada pegelangan tangannya yang mirip jam tangan. Lalu belasan pengawal yang bersenjata lengkap akan datang dan mendobrak pintu, yang kemudian hanya menemukan tubuh wanita itu yang telah terbujur kaku. Ia kemungkinan akan segera menghilang, melompat melalui jendela. Atau kemungkinan terburuknya ia akan memberondong para pengawal itu dengan senjata otomatis yang telah dipersiapkannya, tergelantung di lehernya. Kenyataannya, wanita itu malah menyambutnya seperti halnya kekasih yang dinanti-nantikan sejak lama.

“Apakah kamu bahagia?” tanya wanita itu kemudian, menatap penuh kasih padanya, menyentuh wajahnya dengan lembut.

Apakah itu penting aku bahagia atau tidak? bisik Malaikat Maut pada diri sendiri. Apakah penting bahagia atau tidak jika semua konsepsi akan kebahagiaan benar-benar telah menjauh dari hidupnya. Kebahagiaan hanyalah ilusi dari pemilik ketidakbahagiaan. Orang-orang yang merasa bahagia pastilah sering merasakan ketidakbahagiaan dalam hidupnya.

Mulutnya tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum, sesuatu yang jarang ia lakukan pada calon korbannya. Ia tak ingin para korbannya merasa ia kasihan padanya dan lalu mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin korbannya merasa ia ragu melakukan tugasnya. Jika ia harus membunuh para korbannya, maka ia ingin orang itu merasa terhormat dan pantas mendapatkan kematiannya.

“Maukah kau berjanji satu hal. Sesuatu yang saya ingin kamu lakukan suatu hari nanti. Kau harus berjanji suatu hal pada saya dan setelah itu saya tak akan meminta apa-apa lagi. Sesuatu yang akan mengekalkan kebahagiaan ini jika kau benar-benar melakukannya.”

Malaikat Maut mengangguk. Wanita itu lalu berbisik sesuatu padanya dan setelah beberapa lama Malaikat Maut menyanggupinya. Ia membelai rambut wanita itu dengan lembut dan berjanji apa pun yang diinginkan wanita itu.

Malaikat Maut pun lalu mengeluarkan sebuah jarum suntik dari dalam saku bajunya. Senjata yang sebenarnya jarang ia gunakan. Dalam hitungan detik ia menusukkan jarum itu ke jantung wanita itu hingga 2 ml sianida, racun yang sangat mematikan, dalam jarum suntik itu mengalir lembut ke jantungnya. Racun yang tak mudah dikenali setelah kematian si korban. Dalam hitungan detik pula jantung wanita itu berhenti berdetak dan kemudian jatuh terkulai ke belakang. Ia masih tersenyum ketika kematian menjemputnya. Jika di surga kelak ia ditanya, apakah kau bahagia? Maka mungkin ia benar-banar menjawab sangat bahagia. Ia telah bertemu dengan kekasih yang telah lama dinantinya: sang kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun