Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suara-suara yang Tak Terdengar

25 Januari 2010   01:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:17 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Reina tak henti-hentinya mengumpat dalam hati perihal perilaku norak kakaknya Gery dan juga reaksi diri yang tak seharusnya ditunjukkannya di depan Kris. Sesampai di rumah, Reina benar-benar melabrak habis kakaknya yang dinilainya tak berkeprimanusiaan dan pelanggar HAM terberat.

”Kakak tuh lebih jahat dari Pol Pot! Bahkan lebih jahat dari Hitler dikali sembilan ditambah sepuluh Stalin! Ini pencemaran nama baik terberat yang pernah ada.” Reina benar-benar memaki kakaknya, yang justru membuat kakaknya terpingkal-pingkal.

Ia sebenarnya sedang ada kegiatan dengan teman-temannya di pantai ketika Gery datang menjemput. Emergency. Pastilah hal yang sangat penting jika tiba-tiba kakaknya yang selalu memandang sinis aktivitasnya menjemputnya ketika ia di tengah aktivitas yang disogok dengan apa pun akan enggan ia tinggalkan.

”Ada apa kak? Sangat penting ya? Ada apa-apa di rumah ya? Koq nggak nelpon dulu sih?” Reina terlihat panik.

”Kamu harus ikut sekarang juga atau kamu akan menyesal seumur hidup,” Gery seperti menyeretnya menuju mobil sementara ia sibuk berpamitan dengan isyarat tangan kepada teman-temannya yang mengangguk mengikhlaskan dengan tatapan prihatin.

”Ada apa sih? Ini benar-benar gawat ya?” Reina hampir menangis. Ia malah merasa matanya sudah sangat panas dan siap menumpahkan semua isinya. Ia tinggal menunggu pemicunya. Kabar buruk yang mungkin akan diterimanya.

Duduk di jok depan, Gery berusaha menenangkannya. “Tarik nafas dulu, Rein! Kamu harus serileks mungkin.” Reina menuruti instruksi kakaknya dengan setengah mati. Ia benar-benar hendak menjerit saat itu. Dalam hati ia mencoba menguatkan diri untuk mendengar berita terburuk apa yang akan didengarnya. Di benaknya ia membayangkan ikan koil kesayangannya sudah menjadi santapan Jeng Noni kucing peliharaan mamanya, yang memang sejak dulu mengincarnya. Ia mengelengkan kepala. Ia mencoba membayangkan yang lebih parah lagi. Ia membayangkan kakaknya memperoleh nilai tertinggi di permainan Onet mengalahkan rekornya yang tak terkalahkan bertahun-tahun...ia kembali menggeleng.

”Kamu harus kuat mendengar ini, Rein. Mungkin akan membuat jantungmu tiba-tiba ada di dengkul.” Meski terdengar lucu namun Reina benar-benar tak punya waktu memikirkan kelucuan itu.

”Kamu harus....”

”Duh kelamaan...cepat bilang. Rencana ke Bali batal kan?! Ya udah, kalau itu aku udah tahu dari kemarin, bay…” Reina mencoba membuka pintu tapi tangan kekar kakaknya mencegah.

“Dengar dulu, Rein. Kan nggak seru kalau tidak terdengar dramatisir gitu.”

“Ya udah. Aku kasih waktu tiga detik. Satu...

”Kamu benar-benar siap?”

”Dua...”

”Benar kamu...”

”Ti...”

”Kris. Kita akan segera bertemu dengannya!”

Reina menjerit tertahan, lalu tergeletak di sandaran jok seperti tak sadarkan diri. Gery yang agak kaget dengan reaksi itu mencoba menyadarkan adiknya dengan memegang kedua lengan Reina sambil menggoncangkannya dan tiba-tiba tanpa disangkanya Reina memeluknya histeris. Dan kemudian lompat-lompat kegirangan seperti bocah yang dapat es krim gratis, atau lebih tepat tukang becak yang habis menang lotre.

Let’s go, apa lagi yang ditunggu!” ujarnya penuh semangat.

Gery yang sempat kaget lalu mengacak-acak rambut adiknya. Mereka pun menuju arah tujuan mereka sambil tertawa saling menganggu satu sama lain.

”Dasar perkutut bakar!” maki Reina, ”jangan ulangi kedua kali kejadian seperti tadi kak. Apa salahnya sms kek terlebih dahulu. Benar-benar kurang sopan...tapi thanks ya kak..hehehe..”

”Kamu adik yang tak tahu diuntung. Lutung kasarung yang lupa pakai sarung. Kirain tadi kamu keok beneran...kamu yang nggak boleh mengulang hal seperti tadi,” giliran Gery yang mengumpat.

Sudah menjadi rahasia umum bagi mereka berdua kalau Reina tergila-gila pada Kris semenjak ia masih SD. Dulu Ia sering malu-malu kalau Kris datang ke rumahnya dan sering menggodanya atau mencubit pipinya yang dulu memang lebih montok dibanding sekarang. Bagi Kris mungkin ia boneka yang lucu, dan menggemaskan ketika itu. Ia tak pernah bisa marah karena Kris selalu membawakannya coklat batang yang sangat digandrunginya, yang juga kemungkinan penyebab kebongsorannya di usia dini.

Kebaikan hati Kris dan kepiawaiannya menyanyi dan memainkan gitar membuatnya semakin tergila-gila di saat ia sebenarnya belum memahami arti cinta. Meski tak memahami, namun ia selalu merasa senang ketika Kris datang ke rumahnya. Ia akan berpura-pura lalu lalang di depan kamar kakaknya atau mencari sesuatu yang sebenarnya tak ada sambil sesekali mencuri pandang.

Cinta monyet itu kemudian berakhir ketika ia dipindahkan sekolah ke Jakarta dan tinggal dengan kakek neneknya di sana. Sekian lama ia melupakan sosok lelaki itu hingga akhirnya ia kembali ke kampung halaman setamat dari SMA. Kuliah di tempat di mana Gery dan juga Kris juga kuliah memberi arti tersendiri baginya. Awalnya ia tak merasakan perasaan apa-apa sampai ia melihat album foto kakaknya dan melihat sosok itu ada di sana sambil tertawa ceria dengan rambutnya yang panjang dan awut-awutan. Gery pun seperti tak kehabisan bahan ketika menceritakan temannya itu. Seperti sebuah kekaguman yang luar biasa. Ia bercerita betapa Kris dulunya adalah mahasiswa yang tidak hanya idealis namun juga memiliki kepedulian yang luar biasa pada sesama dan juga alam. Gery bahkan menggambarkannya sebagai manusia terhebat yang pernah dikenalnya.

“Ia memulai hidupnya dari ketiadaan, lalu muncul sebagai tunas muda yang terus berkembang dan kini dia adalah pepohonan yang hijau dan tegar di mana seluruh dunia, impian-impiannya, kini mampu digenggamnya.”

Cerita yang berulang-ulang, yang akhirnya menjadi mitos, ditambah dengan cinta monyetnya dulu, sosok Kris tiba-tiba menjadi tokoh legenda di hatinya. Ada sebuah keinginan kuat dalam dirinya bukan hanya sebatas suka yang sangat tapi menjelma menjadi keinginan untuk menjadi diri ‘Kris’ dan itu berarti ia harus mengikuti semua aktivitas yang dulu Kris lakukan. Semua cerita-cerita kakaknya diam-diam ia merekamnya dalam ingatannya. Jika kau mencintai sesuatu maka kau akan berupaya menjadi seperti diri yang kau cintai itu. Begitu lah gambaran yang tepat tentang Reina kini. Dan benar kata Gery yang menilai mereka mirip, karena ia memang imitasi dari diri Kris yang sejati. Setiap saat ia merasa mendengar ada suara-suara yang menuntunnya, tapi ia tak pernah mengenali suara-suara itu. Suara-suara yang tak terdengar itu datang setiap dia memikirkan lelaki itu. Meski tak terdengar, namun seperti merasuk secara pasti dalam dirinya.

Di dalam kamar, meski masih dongkol dengan pengalaman pertamanya bertemu Kris setelah penantian yang panjang, Reina merasakan kesejukan yang sangat amat dalam hatinya. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu hidup dan bermakna. Suara-suara itu kembali menghampirinya dan untuk pertama kalinya ia merasa mampu memahami suara-suara itu.

***

“Seperti yang aku bilang tadi, Reina, adikku yang manisnya minta ampun ini sangat mirip denganmu. Bukan dari fisik ya. Kalau itu sih jauh. Tapi setiap melihat dia aku pasti teringat kamu, Kris.”

Reina yang duduk di samping Gery hanya diam mematung, sementara tangannya di bawah meja sibuk mencubit paha Gery.

”Mirip gimana, Ger. Kalau aku sih senang-senang aja. Dianya, tuh lihat mukanya manyung melulu, yang tampaknya enggan menerima pleidomu itu.”

”Mungkin manyungnya itu kali ya yang mirip. Kamu kan dulu punya kebiasaan yang sama.”

Kali ini kakinya yang kena sasaran. ”Waduh..” teriaknya tertahan.

”Kenapa?” tanya Kris pura-pura tak tahu apa yang terjadi.

”Ini, kaki kursinya nggak balance, jadinya suka nginjak-nginjak.”

”Dipotong aja kaki itu.”

”Enak aja...ups,” Reina spontan menjawab yang kemudian disesalinya dengan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Gery dan Kris cekikan melihat tingkah Reina yang lucu.

”Ini anak benar-benar super aneh. Ngomongnya gede-gede. Revolusi lah, reformasi lah, pas ketemu kamu malah jadi seperti kingkong diketok kepalanya.”

”Biarin, ye...,” Reina menjulurkan lidahnya dan ketika merasa Kris memperhatikan tingkahnya menjadi malu-malu.

Reina benar-benar menghujat dalam hati. Perilaku kakaknya benar-benar tak termaafkan. Tunggu pembalasan si Pitung, gerutunya dalam hati. Ia juga merasa benci dengan dirinya yang tak mampu berlaku normal, meski sejak dulu ia sudah merencanakan semua apa yang akan dikatakannya di depan Kris jika bertemu kelak. Dan kini di depan Kris ia benar-benar merasakan syndrom, perasaan yang sama yang dirasakannya di masa SD dulu. Mungkin ini yang namanya Syndrom SD, bisiknya dalam hati.

Kris yang menyadari ketidaknormalan itu berusaha mengalihkan pembicaraan lain. Karena semua yang ingin ditahunya perihal teman-temannya sudah terbongkar pada acara reunian tadi, maka satu-satunya bahan pembicaraan yang memungkinkan adalah tentang Gery sendiri.

”Gimana kerjaan kamu Ger?”

”Lho bukannya kamu sudah nanya tadi?”

”Iya, aku mau tahu lebih banyak lagi. Aku tahu kehidupan kamu tidak sesederhana yang kamu ceritakan tadi ataupun yang kau ceritakan sebelum-sebelumnya.”

Gery menatap lurus ke wajah Kris. Ia tiba-tiba menjadi sangat serius dan putus asa. “Apa yang kamu dengar cerita tentang aku selama ini, Kris?”

”Ya, tak banyak. Yang aku tahu, kamu tuh melanjutkan usaha papa kamu. Menjadi pengusaha yang cukup sukses. Ya, mungkin seperti itu lah.”

”Pengusaha yang tak cukup sukses mungkin, Kris. Aku ralat perkataanmu tadi.”

Reina yang mulai merasakan suasana yang tak begitu mengenakkan tiba-tiba berdiri. ”Aku ke belakang dulu. Kalian ceritalah sampai babak belur.”

Kris tersenyum mengangguk. Sementara Gery tampaknya sedikit emosional.

“Aku iri sama kamu, Kris. Aku benar-benar nggak bisa menjangkau sedikit pun dari dirimu. Kamu memulainya dari benar-benar nol dan kamu bisa sampai ke taraf hidup sekarang, menjadi Wakil Presiden Direktur dari sebuah perusahaan multinasional hanya dalam waktu beberapa tahun. Sementara aku yang sebenarnya tinggal melanjutkan apa yang udah ada tetap seperti jalan di tempat,” Gery benar-benar sudah sangat emosional.

Beberapa orang pelayan kemudian datang membawa pesanan makanan mereka dan menatanya di atas meja.

“Boleh aku tahu definisi kamu tentang gagal itu apa, Ger? Kalau pendefinisianmu tentang gagal karena merujuk pada pencapaian papamu yang dulu membangun perusahaan itu dari nol maka kamu sebenarnya nggak gagal. Kamu juga tidak boleh membandingkan capaianmu dengan apa yang aku capai karena kita berada di jalur yang benar-benar berbeda. Semua yang kuperoleh ini nggak benar-benar karena aku hebat atau super atau sedahsyat yang kau bayangkan. Aku mungkin hanya seorang bajingan yang sangat beruntung dan itu semua hanya karena kebetulan semata. Aku nggak bisa menceritakan semuanya sekarang, tapi kelak kau akan tahu dan kuyakin kau akan berpandangan lain tentang diriku. Jadi berhentilah menghujat dirimu dan berhentilah memuji diriku berlebihan. Kenapa kita nggak menghabiskan malam ini dengan sesuatu yang lebih ceria seperti tadi. Tuh, kamu benar-benar berhasil mengacaukan keceriaan adikmu malam ini. Panggil dia kemari.”

Gery berbalik dan melihat adiknya sedang duduk di sebuah kursi di jarak yang agak jauh dengan tatapan prihatin. Dalam hati ia menyesaIi gejalak emosi yang tak mampu ditahannya di depan adiknya. Benar kata Kris, ia telah mengacaukan keceriaan mereka malam itu. Ia lalu memanggil Reina dengan lambaian tangan sambil berusaha tersenyum. Reina yang merasa kondisi sudah cukup kondusif segera mendekat, meski masih terlihat agak ragu.

”Ke belakangnya lama amat sih, Rein. Tuh makanannya keburu dingin,” ujar Kris yang dijawab Reina dengan tersenyum sambil melirik sekilas ke kakaknya. Ia tampaknya tidak mampu melihat kakaknya dalam keadaan terpuruk, seperti yang sering ia lihat secara diam-diam. Meski mereka senang bercanda dan menghujat satu sama lain, namun ia sangat menghormati kakaknya sebagaimana kakaknya juga sangat menyayanginya.

”Kamu ingat nggak film Kungfu Shaolin di TVRI yang diputar sekali seminggu itu?” tanya Gery pada Kris dengan wajah sedikit tersenyum. Sepertinya keceriaannya sudah muncul kembali.

”Yang tokohnya senang berkelana kemana-mana itu?”

”Ya, benar sekali.”

”Kenapa emangnya?”

”Inilah murid terakhirnya sebelum ia meninggal. Reina the Last Shaolin Kungfu, sang pengelana yang jarang pulang rumah,” ujar Gery sambil cekikan.

Reina yang tak menyangka akan menjadi bulan-bulanan kakaknya secara refleks melayangkan cubitan ke lengan kakaknya. Tidak sembunyi-sembunyi lagi seperti tadi.

”Aku selalu pulang koq. Kak Gery aja yang jarang di rumah,” bela Reina.

”Pulang setelah mama marah-marah dan ngancem boikot jajan selama seminggu.” Tawa Gery semakin menjadi-jadi.

”Plis dong Kak Ger..”

”Emangnya apa sih aktivitas Rein di kampus. Kenapa harus telat pulang segala?”

Seperti mendapat mikrofon setelah sekian lama beredar entah kemana, Reina merasa mendapatkan kesempatan menceritakan semua yang ingin diceritakannya selama ini. Tombol mode on diaktifkan dan ia pun menceritakan semua aktivitasnya sedetil-detilnya. Sekali-sekali Kris memberi pujian, yang sejenak membuat Reina berhenti bercerita, namun setelah mengambil nafas panjang ia nyosor kembali, bercerita setuntas-tuntasnya. Ia menjelma menjadi sang pemilik panggung sejati.

”Membosankan...,” celutuk Gery di akhir cerita Reina dan Reina sepertinya tidak perduli dengan umpatan itu, yang mungkin karena sudah sering didengarnya atau karena Kris sedari tadi hanya memuja-memuji apa yang dilakukannya.

”Sangat menarik...,” ungkap Kris dan Reina hampir melompat dari kursi mendengarnya, ”sekali-sekali boleh aku ikut kegiatannya?”

Refleks Reina mengangguk hampir menumpahkan minuman yang baru saja diteguknya, sementara Gery masih sibuk dengan hujatan-hujatannya.

”Nah, ini yang aku bilang sedari tadi. Kalian itu memang mirip, bagai pinang di belakang truk. Sama-sama gilanya. Sama-sama sok merasa harus perduli segalanya. Superheroes.”

Mendengar itu Reina malah merasa sangat bangga dan melupakan kekikukannya sebelumnya. Apalagi Kris tampaknya setuju dengan semua pemikiran dan kegiatannya. Dan yang paling membahagiakan bagi Reina bahwa Kris bahkan ingin terlibat langsung dengan kegiatannya. Ini harus dirayakan, bisiknya dalam hati, karena mungkin hanya terjadi sekali dalam 100 tahun. Hore..hore..Reina bersorak dalam hati. Ia kembali tersenyum, sangat tipis, dan sekali lagi hanya Gery yang mampu menerjemahkan senyum itu. Sebuah kebahagiaan yang enggan diungkapkannya. [2]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun