Â
Perkawinan  merupakan sunnatullh yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya. (Abd. Rozak A. 2011) Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
   Oleh karenanya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun bagaimana dengan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA, bukan beda agama. Masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba paspasan. Tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum.
Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif Indonesia
  Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:
Pasal 4: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan".
Pasal 40: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
 b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragam Islam
Pasal 44: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam"
Pasal 61: " Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien"
 Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Peranan  Yang Harus Dilakukan Oleh KY Dalam Putusan Hakim PN Surabaya
  Dalam hal ini Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Deding Ishak mengatakan, MUI akan melaporkan hakim tersebut ke Komisi Yudisional (KY) untuk diperiksa. Bahkan, MA diminta untuk turun tangan memeriksa hakim tersebut. Langkah itu diambil karena keputusan hakim tersebut bertentangan dan menyimpang secara subtansial dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang tersebut, jelas bahwa sahnya perkawinan adalah harus sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Solusi Perkawinan Beda AgamaÂ
  Cara pertama adalah salah satu pihak mempelai melakukan perpindahan agama secara sementara. Lalu, mempelai itu mengikuti upacara perkawinan yang sah berdasarkan salah satu agama. Setelah menikah, masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing.Namun, upaya ini dianggap sebagai penyelundupan hukum untuk menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU Perkawinan. Cara ini pun sangat tidak disarankan.
  Cara kedua, bisa ditempuh berkat Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986, Kantor Catatan Sipil memperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan beda agama.Di Indonesia terdapat dua lembaga yang bertugas mencatat pernikahan, yakni Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama (KUA). Putusan itu dikeluarkan MA dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen Protestan.Dalam putusannya itu, MA membolehkan keduanya menikah beda agama, karena pasangan dianggap tidak menghiraukan peraturan agama, sehingga tidak ada halangan untuk menikah secara sah.
  Artinya, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam) sehingga Kantor Catatan Sipil dapat melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H