Mohon tunggu...
Wahyu Arifin
Wahyu Arifin Mohon Tunggu... -

- kompleks - susah dimengerti - keras kepala

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Melihat Soekarno dari Kacamata Soviet

23 April 2010   12:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesimpulan tentang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Jepang tak lepas dari kerjasama Soekarno dan Hatta yang mau tak mau harus mendukung Jepang dalam perang Asia Raya melawan sekutu. Hal ini merupakan taktik dari Soekarno Hatta yang mencoba mengulur waktu untuk membangun kesiapan rakyatnya dalam merebut kemerdekaan. Dalam konteks ini, penulis begitu memihak Bung Karno yang menegaskan bahwa Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini bukanlah kolaborator.

Meskipun buku ini merupakan biografi politik Soekarno, penulis tak menafikan peran Hatta sebagai sosok pendamping ideal Soekarno yang terus mengkritisi kebijakan yang ditempuh oleh Soekarno. Ini bisa dilihat dari kritik Hatta yang merupakan intelektual lulusan Belanda, dimana dimasa menjelang kemerdekaan Hatta mengkritik Soekarno yang begitu menitikberatkan praksis perjuangan yang diambil Soekarno dimana massa menjadi tumpuan Bung Karno.

Bagi Hatta, massa rakyat yang belum tersadarkan bisa menjadi bumerang bagi perjuangan politik kemerdekaan. Hatta lebih menitikberatkan pada pembangunan kesadaran kritis massa rakyat lewat pendidikan sehingga akan lahir Soekarno-soekarno muda. Tak heran jika ada dualisme PNI, dimana PNI Soekarno berupa partai dan Pendidikan Nasional Indonesia-nya Hatta.

Soekarno Terjungkal

Setelah Indonesia merdeka, perbedaan pendapat antara Soekarno dengan Hatta semakin menajam. Terlebih saat Soekarno menerapkan politik Demokrasi Terpimpin, yang menjadikan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Menurut Hatta, keputusan Bung Karno tersebut merupakan pembunuhan terhadap sistem demokrasi Indonesia. Dampak dari itu, Hatta pun mengambil langkah mundur sebagai wakil presiden.

Namun, jika dilihat dari langkah Bung Karno mengambil langkah Demokrasi Terpimpin ialah untuk menyelamatkan Indonesia dari pengaruh demokrasi liberal parlementarian yang tak sesuai dengan karakter Indonesia. Pasalnya, bagi Bung Karno sistem parlementarian merupakan sistem barat liberal yang mengutamakan kepentingan golongan untuk mengejar kepentingan kelompok lewat kekuasaan. Baginya itu tidak sesuai dengan jalannya revolusi menuju sosialisme indonesia.

Memang, saat kita melihat melihat konsepsi Bung Karno yang menggunakan persatuan klas atau aliran politik dalam Nasakomnya (Nasionalis Agama dan Komunis) demi merebut kemerdekaan telah tercapai. Namun, saat kemerdekaan telah dicapai dan revolusi Indonesia tengah berjalan, Bung Karno tak lagi memikirkan kelas politik mana yang harus digandeng dan mana yang harus ditinggalkan.

Sosialisme Indonesia yang dicita-citakan oleh Bung Karno merupakan hasil kompromi dari tiga aliran klas politik yang sebenarnya bagaikan air dan minyak, saat tujuan kemerdekaan telah tercapai pastinya akan ada pertentangan kelas. Hal ini merupakan konsekuensi logis jika menggunakan teori marxis yang menggunakan jalan pertentangan kelas.

Sosialisme Indonesia sendiri bagi penulis bukanlah Sosialisme ilmiah yang berdasarkan marxisme-leninisme, karena bagi penulis komunis hanya ada satu sosialisme, yakni marxisme leninisme. Sedangkan sosialisme indonesia ciptaan Bung Karno merupakan paksaan dari persatuan klas yang mengingkari sosialisme itu sendiri.

Terpelesetnya Bung Karno yang terlalu memaksakan persatuan klasnya menjadi senjata yang dimainkan oleh militer dalam menjungkalkan Bung Karno dari kursi kepresidenannya. Bagaimana tidak, saat Bung Karno mendengungkan persatuan klas atau aliran demi revolusi indonesia, banyak pihak melihat Bung Karno terlalu merapat pada PKI yang mewakili klas komunis.

Digambarkan pula dalam buku ini selain untuk memutuskan politik liberal, Demokrasi Terpimpin dijadikan alat untuk membungkan kaum kanan (Masyumi, PSI dan militer kanan ) yang menjadi oponen Soekarno. Namun, Bung Karno pun salah dalam prediksinya dimana justru kauma kanan lebih cepat mengakumulasi kekuatannya dimana kekuatan finansial dikuasai oleh militer lewat nasionalisasi perusahaan asing yang berada dibawah kontrol militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun