Stoikisme adalah salah satu aliran dalam filsafat yang membawa obor pencerahan atas kehidupan yang tak terkendali ini. Aliran ini menerangkan bahwa kita semua bisa punya kesempatan untuk bisa mengenali diri sendiri, mengenali banyak hal bagian eksternal yang ada di hadapkan oleh kita.Â
Aliran stoiksime menjadi satu aliran filsafat yang masih relevan untuk dipelajari hingga hari ini, karena secara khusus kita sebagai manusia diberikan obor pengetahuan bahwa kita punya hak untuk hidup semestinya dalam mengendalikan diri.Â
Salah satu ciri khas dalam filsafat stoiksime adalah dikotomi kendali, yakni sebuah prinisip dalam filsafat stoisisme yang memberikan Kesadaran bagi setiap orang untuk bisa memahami bagian-bagiany mana yang mereka bisa kendalikan dan bagian mana yang mereka tidak bisa kendalikan. Dikotomi kendali menerangkan kepada semua orang untuk hidup apa adanya, menjalani apa yang memang bisa kita akses sendiri, menerima apa yang telah kita usahakan secara maksimal. Dikotomi kendali dalam stoiksime memberikan pengarahan bahwa kedamaian pikiran manusia sebenarnya dapat dicapai dengan belajar untuk fokus dan bertindak berdasarkan apa yang berada dalam kendali diri sendiri, atas keyakinan, penilaian, dan tindakan kita sendiri. Lalu sambil menerima dan melepaskan hal-hal yang tidak, seperti tindakan, pendapat orang lain, atau bahkan sebuah hasil yang tak pernah diketahui akhirnya.Â
Prinsip hidup stoikisme membawa arah untuk setiap orang untuk percaya, bahwa diri mereka punya kendali atas apa yang seharusnya mereka pilih dan kendalikan dan apa saja yang harus mereka abaikan. Sehingga prinsip hidup dalam filsafat stoikisme ini masih relevan diterapkan hingga hari ini oleh siapapun, baik itu guru, siswa, masyarakat biasa, pejabat, dokter, dan lain sebagainya. Dengan prinsip hidup secara stoikisme, mereka bisa lebih menetralisir segala hal-hal yang membuat diri mereka cemas, karena sejak awal mereka tidak pernah mengetahui sama sekali apa yang semestinya mereka kendalikan dan apa yang semestinya harus mereka Terima saja dalam kehidupan ini. Kematian, kehidupannya, kegagalan, kesuksesan, lapar, minum, dan masih banyak lagi, bagian-bagian itu tidak pernah bisa kita kendalikan sama sekali, namun hal itu pasti akan terjadi pada kita dengan secara sadar atau tidak sadar, maupun secara langsung atau tidak langsung. Sehingga, kita perlu untuk memahami hal itu akan pasti terjadi, namun ada hal-hal penting yang perlu kita kendalikan dan memang memiliki hak atas kendali kita seperti apa yang kita putuskan soal cinta, soal belajar hari ini apa, mau makan apa dengan banyak pilihan, mau olahraga atau tidak, memilih banyak Perguruan tinggi yang ingin dimasuki, memiliki kesempatan untuk memilih seorang pemimpin, memilih peluang untuk bersaing, dan masih banyak lagi. Ketika kesadaran itu dilekatkan dan menjadi inheren dalam diri, maka secara sadar kita akan memahami bahwa apa yang memang kita bisa kita kendalikan itu adalah akses, kesempatan dan proses. Sedangkan untuk persoalan akhir, seringkali dalam hanya hal tak bisa kita kendalikan.Â
BAHAYANYA HIDUP KITA TERLALU STOIK
Di balik senyum dan suasana orang-orang memandang filsafat stoikisme sebagai sesuatu yang paling relevan untuk di terapkan. Sebab, prinsip hidup stoikisme adalah cara paling rasional dan logis untuk setiap orang untuk berkesempatan memilih hidup seperti apa dengan tanggungjawab atas individu.Â
Prinsip dikotomi kendali adalah buah nyata dan inti penting dari prinsip stoikisme, kita akan memperoleh satu jalan kehidupan dengan sebuah cara pandang sekaligus cara hidup di era penuh keragaman ini mengenai mana saja yang bisa dikendalikan dan bagian mana yang tak bisa dikendalikan.Â
Ini memang cukup terdengar sempurna dan sangat sederhana untuk diterapkan. Akan tetapi, stoikisme adalah prinsip hidup yang tak bisa dikatakan sempurna, pastinya ada ruang kritik dan pertanyaan yang bermunculan. Jika jatung stoikisme adalah mengenai dikotomi kendali, maka kritikan tajam yang akan muncul menjadi diskusi panjang mengenai stoikisme adalah mengenai bias kendali.Â
Bias kendali dapat difahami secara singkat adalah dimana subjek atau kita-kita ini merasa memiliki kendali lebih dan bahkan total atas segala sesuatu hal. Ilusi dalam bias kendali muncul karena seseorang tidak memiliki pemahaman langsung tentang apakah mereka mengendalikan suatu peristiwa. Hal ini disebut ilusi introspeksi. Sebaliknya, mereka sering menilai kendali mereka melalui proses yang tidak selalu dapat diandalkan, sehingga merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang sebenarnya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada hubungan kausal. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian, mahasiswa berada di lingkungan realitas virtual untuk mengatasi rasa takut ketinggian menggunakan lift. Mereka yang diberi tahu bahwa mereka memiliki kendali, meskipun sebenarnya tidak, merasa seolah-olah benar-benar mengendalikan lift, sama seperti mereka yang memiliki kendali penuh. Sebaliknya, mereka yang diyakinkan tidak memiliki kendali merasa seolah-olah hanya memiliki sedikit kendali dan cenderung rasa takut karena tak ada kendali atas lift tersebut, jelas ini memainkan fikiran manusia yang biasa disebut sebagai placebo effect.
Bias Kendali menjelaskan kepada kita bahwa kita sebagai seorang yang berfikir merasa bahwa segala-galanya bisa dikendalikan, dan serba tau atau sok tahu atas segala hal yang terjadi. Kita beranggapan bahwa kita bisa Menyelesaikan semua hal yang terjadi dengan kemampuan kita mengendalikan sesuatu fenomena.Â
Disinilah titik terang dan kritik atas stoikisme dalam dikotomi kendali, bahwa dalam bentang seperti apa seseorang bisa mengetahui jarak antara mana yang mereka bisa kendalikan dan mana yang mereka tidak bisa kendalikan. Jika hanya merujuk kepada sesuatu proses yang bisa dikendalikan dan hasil yang tidak bisa dikendalikan, maka itu bisa saja diperdebatkan.Â
Seperti halnya ketika proses yang tak bisa kita kendalikan ketika merasa kita lebih aman menjadi penumpang daripada menjadi tukang supir, ataupun contoh lain merasa bahwa dalam sebuah webinar seorang pemateri menyampaikan materinya, lalu kita merasa lebih baik daripada pemateri tersebut.Â
Kemudian dalam aspek hasil seperti kita merasa bahwa kita tidak akan bisa mengerjakan tugas tersebut dan berpasrah diri karena tadi malam Kita belum belajar. Padahal sama sekali kita tidak pernah mencoba untuk mengerjakan, aspek hasil seperti yang lain kita selalu pesimis mengerjakan pekerjaan tertentu dengan alasan tidak pernah mencoba dan melakukannya.Â
Contoh-contoh yang di berikan di atas adalah bentuk bias kendali kita terhadap kritik kepada pandangan stoikisme. Dengan bertanya, sejauh mana dan apa jarak yang menjadi indikator bagian-bagian untuk mengatakan yang bisa dikendalikan dan tak bisa dikendalikan dalam dikotomi kendali?.Â
Di abad ini, di mana kita hidup dalam arus deras informasi yang tak terbendung, kita sering merasa kebingungan oleh banjir berbagai versi "kebenaran." Dalam situasi ini, banyak yang memilih berpegang pada prinsip stoikisme sebagai solusi, meyakini bahwa menjauh dari hiruk-pikuk dunia dan fokus pada dikotomi kendali, memilah antara hal yang dapat kita kendalikan dan yang tidak adalah jalan keluar terbaik. Namun, tanpa disadari, pendekatan ini justru membuat kita semakin terasing dari dinamika dunia modern. Kita seperti menjadi orang asing di tengah keramaian dan kecepatan pergerakan zaman ini.
Mengklaim bahwa kita mempraktikkan dikotomi kendali sering kali berujung pada jebakan bias kendali. Ilusi bahwa kita mampu bertahan hanya dengan mengelola hal-hal yang berada dalam kendali kita. Akibatnya, muncul sikap egoisme dan penolakan terhadap kompetisi yang, secara tak langsung, menjadi implikasi dari interpretasi stoikisme yang berlebihan. Kita merasa cukup dengan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan, meski kenyataannya proses ini sering kali terlalu lambat untuk mengimbangi ritme kehidupan modern yang serba cepat.
Prinsip stoikisme, yang bertujuan memberikan ketenangan batin, justru dapat menjauhkan kita dari ruang debat dan diskusi yang vital di era informasi ini. Ada kecenderungan untuk merasa bahwa posisi kita selalu benar, menciptakan ilusi kebenaran yang tak terbantahkan. Ironisnya, ilusi ini menjadi bukti nyata bahwa stoikisme, meskipun bernilai, bukanlah prinsip hidup yang sepenuhnya ideal.
Kelemahan stoikisme semakin terlihat di era di mana kecepatan informasi melampaui kemampuan kita untuk memilah apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Orang-orang yang terlalu berpegang teguh pada stoikisme sering kali terjebak dalam bias kendali, tidak mampu merespons dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Prinsip yang awalnya dirancang untuk memberi arah dan ketenangan justru dapat menjadi penghalang dalam menghadapi realitas dunia yang terus bergerak cepat daripada keputusan atas kendali seperti apa yang akan diambil.
Sumber bacaan
1. Forbes. Think You're In Control? The Surprising Ways Illusions Of Control Fool Us. Akses di https://www.forbes.com/sites/brycehoffman/2024/09/29/think-youre-in-control-the-surprising-ways-illusions-of-control-fool-us/
2. Stoic. What is Dichotomy of Control in Stoicism?. Akses di https://www.getstoic.com/blog/what-is-dichotomy-of-control-stoicism
3. Wikipedia. Akses di https://en.m.wikipedia.org/wiki/Illusion_of_control
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H