Akan datang masa.Â
Dimana, kita memiliki seorang pemimpin yang tidak rajin membaca buku, namun akan sering berjalan kesana kemari dengan mengusahakan atas nama demokrasi.Â
Akan datang masa dimana.Â
Kita memiliki seorang wakil rakyat, akan bergerak kesana kemari. Sampai dikira ia tak ada waktu merefleksikan diri membaca konstitusi. Anggapan buruknya, ia buta baca. Namun masyarakat tak pernah bisa melihat bagaimana pemimpin itu memaknai konstitusi, namun masyarakat sibuk mengurusi kesalahan pemimpinnya setiap sisi.Â
Akan datang masa dimana.Â
Seorang utusan yang kita sendiri sepakati dan percayai, akan di hina-hina, dicaci maki karena kurang intelektual membaca.Â
Kita sadari betul, hidup di sebuah bangsa dijuluki wakanda, dimana para pemimpin selalu salah di mata rakyat. Di negara ini, lebih banyak pemimpin yang menghancurkan negeri ketimbang membangun nya. Sehingga, isi fikiran warga negara wakanda hanyalah pemimpin itu buruk untuk negeri ini.Â
Kita akan dihadapi dengan banyak fenomena, dimana pemimpin negeri wakanda harus ideal dengan kemauan-kemauan beragam dari rakyatnya. Namun, ketika mereka ditanya seperti apa?, jawabannya ada dalam ruang kisi-kisi pancasila sebagai dasar segala dasar bangsa.Â
Hari ini, atau mungkin bisa saja di masa depan, kita akan mendapatkan seseorang yang tak faham arti konstitusi, namun berani hadir untuk mengubah negeri. Meskipun tindakan tidak bisa dibenarkan, namun ada ruang harapan hanya merekalah yang patut di naikan. Itulah politik, seni sejauh ia mampu memanipulasi dengan cara dan usaha dengan kemampuan privilege yang dimiliki.Â
Kita akan dihadapkan, dimana pemimpin di masa depan atau hari ini yang tak lagi membaca buku, sehingga mereka sesat fikir dalam membuat kebijakan. Namun saya yakini, tidak semua pemimpin yang tidak membaca buku buruk, namun mereka memiliki satu hal yang luar biasa, yakni pengalaman untuk sebuah perubahan.Â
Orang-orang yang dianggap tidak perlu banyak teori, lakukan saja semaksimal mungkin. Mereka tahu diri mereka bodoh dalam berdebat soal "teori-teori" Sempurna itu. Namun, mereka ada harapan untuk mengubah dengan kemampuan mereka dengan mengandalkan pengalaman. Mereka berusaha, untuk tidak peduli dengan nyinyiran orang-orang yang iri, dengki dan sok tahu. Namun, ketika mereka diberikan kuasa di depan mata. Mereka tidak biasa berbuat apa-apa, karena telah terjebak pada dunia idea yang tak pernah mereka buat antisipasi ketika berada dalam dunia praktis.Â
Kita di masa depan mungkin akan memiliki permasalahan yang lebih besar, Sekaligus yang besar itu rumit. Kita akan memiliki pemimpin yang tidak rajin membaca buku, namun akan ada pemimpin yang tidak rajin membaca buku, namun mereka bertindak untuk bangsa dan negeri ini berdasarkan pengalaman mereka. Tidak semua juga kan, orang-orang yang membaca bisa mempraktekkan bacaan mereka. Jadi, usaha mengkritik orang-orang tidak membaca buku oleh orang-orang yang membaca buku tentu satu hal wajar, namun ketidakwajaran muncul ketika orang-orang membaca buku sombong dengan pencapaian mereka, lalu ketika mereka diberikan ruang dunia ini untuk mereka ubah, mereka bahkan tidak bisa apa-apa. Itulah kebodohan sejati dan kebodohan yang nyata, berani berbicara dengan seideal mungkin, namun tak bisa berbuat atau bertindak dalam dunia real.Â
Kita akan sadari, negeri wakanda memiliki banyak pemimpin yang tak suka baca buku. Namun apakah kita pernah bertanya mereka itu bodoh atau tidak ketika menjadi pemimpin?. Kita bahkan sok tahu dan sok semuanya atas urusan negara, kita tiba tiba menjadi ahli dalam bidang sesuatu hal dengan teoritik, namun praktek pun kita tak berani. Karena apa, kita yang membaca buku tahu secara sadar konsekuensi atas ketika menjadi seorang pemimpin yang baik atau ideal pun, tak luput dari kritikan dan hinaan para warga negara yang tak pernah puas.Â
Kita tak bisa mengelak, kita punya pemimpin yang banyak tidak membaca buku. Namun, setidaknya kita memiliki pemimpin yang tidak membaca, berani memberikan perhatian terhadap bangsa besar ini. Berani untuk peduli terhadap negeri wakanda ini. Walaupun, kita akan menemukan, negeri ini penuh dengan kebohongan dan kebisingan dengan watak seseorang mendapatkan kekuasaan. Dan itulah yang tak mungkin bisa kita sama sama hindari Kita akan mendapatkan satu kasus, dimana sistem konstitusi dijual belikan. Harga demokrasi hanyalah harga keluarga seberapa orang. Demokrasi hanyalah formalitas, yang ada hanyalah pertengkaran kepentingan mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan.Â
Kita sebagai rakyat yang dianggap terpinggirkan oleh negara wakanda ini. Hanyalah dilibatkan sebagai partisipan, namun tidak dengan keikutsertaan dalam demokrasi yang memiliki pengaruh dalam mengambil keputusan. Kita, di negeri wakanda ini melahirkan banyak jenis pemimpin yang aneh-aneh, dari pemimpin narsistik, pemimpin egoistik, pemimpin demokratis, pemimpin monarkis, pemimpin oligarkis, pemimpin teknokratis dan lainnya. Semua tipe ini muncul di negeri wakanda ini, dan itulah demokrasi dengan sejuta misteri yang di kendalikan sebagai kenyataan demokrasi formalitas. Yang ada, hanyalah ruang ketidakpuasan dan kepentingan. Sehingga bukan pemimpin yang tak rajin membaca yang kita hasilkan, namun pemimpin yang begitu banyak karakteristik dan watak muncul dengan kita sendiri tak bisa kendalikan.Â
Dan ketika kita mulai bertanya-tanya kapan pemimpin ideal di negeri wakanda itu terwujud, jawabannya adalah mustahil dan tak akan mungkin.Â
Namun sebagai penutup yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan singkat ini, bahwa negeri wakanda menganut sistem demokrasi yang telah banyak melahirkan pemimpin pemimpin narsistik, pemimpin egoistik, pemimpin demokratis, pemimpin monarkis, pemimpin oligarkis, maupun sampai pemimpin teknokratis. Soal pemimpin tak pernah baca buku adalah salah satu dari sekian problem negeri ini dalam melahirkan pemimpin. Namun problem yang lebih besar adalah kebijakan dan kepemimpinan seorang pemimpin di negeri wakanda bisa atau tidak mengakomodir warga negara. Membaca atau tidak adalah salah satu persoalan, namun persoalan lain juga menjadi faktor, sehingga dapat dikatakan negeri wakanda dengan masa depan yang tidak pasti. Seperti bagaimana pemimpin yang dilahirkan pun tak pasti. Namun pada intinya, demokrasi melahirkan pemimpin yang dipilih karena sedikit melakukan kesalahan. Namun pertanyaan nya adalah, apakah itu semua terjadi di negeri Indonesia ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI