Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nilai Moral dari Kisah Makanan Bos

25 Agustus 2024   13:13 Diperbarui: 25 Agustus 2024   13:15 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Allawi / Pinterest

Dalam sebuah kisah, terdapat seorang tokoh terkenal yang sangat kaya raya dan populer di masyarakat. Namanya menghiasi baliho-baliho besar di berbagai sudut kota, menjadi simbol kesuksesan dan pencapaian luar biasa. Ia adalah sosok yang dihormati, dihargai, dan sering dijadikan panutan. Kesuksesan yang ia raih tidak datang dengan mudah; ia bekerja keras, tanpa henti, dan tanpa kenal lelah. Berangkat dari latar belakang keluarga biasa dan sederhana, ia tumbuh dengan mimpi besar untuk menjadi seseorang yang sukses dan berpengaruh. Mimpi itu akhirnya terwujud, menjadikannya orang yang hidup dalam kemewahan dan kejayaan.

Suatu ketika, tokoh ini membeli makanan yang sangat ia sukai. Ia begitu menyukai makanan tersebut hingga ia memutuskan untuk membelinya dalam jumlah besar dan membagikannya kepada para karyawan sebagai bentuk apresiasi dan rasa terima kasih. Namun, seperti halnya manusia pada umumnya, ia tetap memprioritaskan dirinya dengan mengambil porsi yang lebih banyak untuk dirinya sendiri. Setelah makan bersama, ia menyimpan sisa makanan di kulkas pribadinya, berbeda dengan kulkas umum yang biasa digunakan oleh para karyawan.

Di rumah tersebut memang terdapat dua kulkas: satu kulkas pribadi yang hanya boleh diakses oleh anggota keluarga, dan satu kulkas umum yang diperuntukkan bagi semua penghuni rumah, termasuk para karyawan. Keesokan harinya, sang bos ingin menikmati sisa makanan tersebut. 

Namun, betapa terkejutnya ia saat mendapati bahwa makanan yang disimpan di kulkas pribadinya sudah hilang. Bingung dan kesal, ia segera bertanya kepada keluarganya siapa yang mungkin mengambil makanan tersebut, tetapi semua anggota keluarga dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak menyentuhnya.

Tak puas dengan jawaban keluarganya, ia lalu bertanya kepada salah seorang karyawannya. Karyawan tersebut mengaku dan menuduh melihat pembantu rumah membuka kulkas pribadi bos. Dengan segera, bos memanggil pembantu tersebut dan menanyakan perihal tuduhan itu. 

Pembantu menjelaskan bahwa ia memang membuka kulkas, tetapi hanya untuk memasukkan makanan, bukan untuk mengambilnya. Meski begitu, bos tetap merasa curiga karena tidak ada satupun yang mengaku. Akhirnya, ia memutuskan untuk memeriksa rekaman CCTV demi menemukan kebenaran.

Dari rekaman CCTV, terungkap bahwa karyawan pertama yang ia tanyai, yang menuduh pembantu itu, ternyata adalah pelaku sebenarnya. Karyawan tersebut diam-diam mengambil makanan yang bukan miliknya, kemudian mencoba mengalihkan kesalahan kepada orang lain. Bos merasa sangat kecewa, bukan hanya karena makanannya diambil, tetapi karena karyawan tersebut telah berbohong dan bersikap tidak jujur.

Meskipun karyawan tersebut dikenal sebagai pekerja yang kompeten dan memiliki kinerja yang baik, bos tetap memutuskan untuk memecatnya. Ada tiga alasan utama yang mendasari keputusan ini: pertama, karyawan tersebut telah melanggar batas dengan membuka kulkas yang bukan bagiannya; kedua, ia mengambil sesuatu yang bukan haknya; dan ketiga, ia berbohong, yang menunjukkan bahwa ia tidak dapat dipercaya. Bagi bos, profesionalisme dan etika kerja tidak bisa dinegosiasikan, dan kejujuran adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi di dalam pekerjaan.

Dari kisah ini, terdapat pelajaran penting yang bisa kita ambil. Tindakan bos tersebut bukan sekadar memecat karyawan karena masalah makanan, melainkan menunjukkan ketegasan dalam mempertahankan prinsip. Meskipun kehilangan karyawan yang berbakat dapat merugikan secara profesional, bos tersebut tetap berpegang pada prinsip bahwa kejujuran dan etika lebih penting daripada sekadar kemampuan teknis. 

Dalam bekerja, kejujuran bukan hanya tentang berkata jujur, tetapi juga tentang membuktikan bahwa kita adalah individu yang bisa dipercaya dan menghargai integritas. Terkadang, ketika kita melakukan kesalahan, kejujuran bisa menjadi jalan untuk mendapatkan pengertian atau bahkan pengampunan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun