Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Realitas dan Hiperrealitas

23 November 2021   06:17 Diperbarui: 23 November 2021   06:19 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosial media memang membuat candu dalam dunia yang penuh hiperrealitas. Bayang-bayang dalam dunia Maya dijadikan sebagai dunia realitas dalam kehidupan. Ketika Manusia memasuki dunia sosial media. Sebagian orang akan merasakan bahwa mereka merasakan dunia tersebut nyata. Dan ketika kehidupan mereka yang jalani seperti aktivitas sehari-hari dilakukan. Ternyata berbeda sekali.

Saat ini. Dunia penuh dengan kegiatan manusia ataupun ekspresi-ekspresi yang dikeluarkan bukan secara langsung ke orang lain. Melainkan melalui perantara teknologi yang dimanfaatkan seperti sosial media. Curhat melalui dunia maya saat ini memang lazim dilakukan, selain mendapatkan relasi teman yang banyak. 

Banyak pula yang menawarkan solusi solusi yang di mana ruang lingkup dari pertemanan dalam sosial media sangat luas. Yang bisa dikatakan, walaupun hanya bertemu dalam sekedar ketikan jemari, Dan berkomunikasi hanya lewat sekedar tulisan. Interaksi mereka, tetap terus berjalan. Malahan bisa di komparatif kan. Komunikasi di dunia nyata dengan di dunia sosial media berbanding jauh jika dilihat dari kondisi saat ini.

inilah yang membuat seseorang menganggap dunia sosial media sebagai dunia nyata mereka dan lebih ingin intervensi dalam kehidupan dalam dunia hiperrealitas disebut. Apakah ini akan menjadi problematika yang besar ketika manusia terus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka melupakan dunia realitas yang nyata yang mereka lakukan, dan apakah akibat-akibat yang timbul ketika manusia menganggap dunia hiperrealitas ini menjadi dunia nyata nya?.

Pertanyaan tersebut sangat menggelitik, disaat teknologi memang menjadi dewa dalam kehidupan manusia. Segala hal yang bisa dilakukan saat ini memang sudah didapatkan dalam dunia berbasis algoritma. Mencari teman dengan cepat bisa pula dilakukan dengan teknologi. Teknologi membantu kita memudahkan segala hal saat ini, yang terkadang dulu kita ingin bertemu dengan seseorang yang jauh. 

Namun saat ini Kita bisa menemui mereka bisa lewat virtual dengan memanfaatkan teknologi seperti sistem Videocall. Kemudian ada pula ketika kita mencari teman yang tidak kita kenal bisa lewat aplikasi aplikasi yang berbasis hanya sekedar mencari identitas nama saja. Bisa dikatakan hal tersebut memudahkan Manusia dalam berkomunikasi.

Namun, yang harus disayangkan adalah dunia nyata mereka menjadi bagian dari sekunder. Sehingga ketika mereka bertindak untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan dunia nyata mereka. Ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada di dunia cepat realitas sosial media. Semisalnya contoh disaat ketika seseorang menggunakan sosial media untuk mencari teman. 

Di dalam sosial media tersebut mereka berkomunikasi secara lancar dan interaksi mereka melalui sosial media seperti sudah akrab atau pun sudah memiliki hubungan batin jika dilihat dari kondisi bagaimana mereka berkomunikasi melalui virtual tersebut. Namun nyatanya, ketika mereka telah bertemu dan berinteraksi secara langsung di dunia realitas atau nyata. Tidak bersesuaian dengan apa yang dilakukan di dunia sosial media tersebut. Akibatnya adalah dunia hiperrealitas ini membuat manusia menjadi memanipulasi diri sendiri sehingga ini mengakibatkan ketidakjujuran ataupun emosional mereka menjadi tidak menentu ketika dibandingkan dengan dunia hiperrealitas dan dunia nyata.

Sungguh disayangkan sekali bukan, gimana teknologi tersebut bisa dimanfaatkan oleh manusia secara masif dan secara totalitas. Namun pemanfaatan ini membuat manusia menjadi relasi-relasi yang dimanipulasikan. Eksistensialisme mereka tentang kesadaran tidak mereka munculkan dalam dunia sosial media. Konsekuensi dari hal tersebut tidak akan bersesuaian ketika mereka menjalin hubungan dalam dunia nyata. Hidup di abad 21 ini memang tidak akan lepas dari dunia hiperrealitas. Gaya hidup yang manusia jalani selalu berkembang dan maju, singgah hakikat kehidupan sosial mereka akan bertransformasi ataupun berani dengan lebih manipulative lagi. 

Inilah yang perlu kita sadari sejak awal. Dimana kita harus memanfaatkan dunia sosial media ini dengan lebih baik lagi. Mungkin menemukan teman di dunia hiperealitas memang tendensius kedalam lebih cepat sebab ada fasilitas-fasilitas yang mendukung di dalamnya. Namun kita harus diimbangi dengan dunia nyata yang kita jalani setiap hari. Keseimbangan yang kita lakukan antara dunia hiperrealitas dan dunia nyata. Akan membuat kita lebih menjadi manusia yang jelas bijaksana dalam menjalani kehidupan ini.

#wahyutrisnoaji

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun