Kami berdua di warung sate pinggir jalan di daerah Sondakan, Laweyan. Duduk di bawah pohon waru, menghadap sebuah meja bertaplak plastik melamin yang mengingatku pada alas lantai kamar saat kos di Papringan Jogja dulu.
“Kapan-kapan cobain satenya, Bro. direkomendasikan Pak Bondan, lho…” Ujar si Bro Penguasa 7 Bahasa dan 7 Kemampuan sambil mengaduk tongsengnya. Aku menyeruput es jerukku.
Orang ini, pikirku, cari kantor selalu yang aneh-aneh lokasinya. Dahulu kantornya berada di wilayah utara Solo dalam sebuah gedung yang modern dan funky plus colorful. Sekarang ini, menurut perasaanku, dia memindahkan kantor di selatan Solo, di dalam kompleks perumahan para saudagar batik Laweyan yang serba bergerbang dan serba gede, dan tidak funky sama sekali; karena kantornya yang sekarang amat cocok untuk uji nyali Trans 7 karena memang spooky.
“Weh, enak, Bro.” Kuseruput sedikit kuah tongseng yang bening kecoklatan itu. Sejauh yang kuingat, Di tanah kelahiranku tercinta Klaten, tongseng adalah makanan yang berkuah kental hitam kecoklatan yang berat, dan berbumbu berat pula. Sebuah ingatan yang selalu membuat aku dan istri ribut saat dia memasak tongseng. Eh, ternyata tongseng istri masuk kategori model Sondakan.
Di depanku si Bro sudah hampir meludeskan tongsengnya.
“Tambah ya, Bro?” Tawarnya. Belum sempat menjawab dia sudah berteriak, “Pak, krengsengane masih? Satu ya…”
Kemudian dia bercerita bahwa sebenarnya dia tidak boleh makan daging-dagingan oleh istrinya. Aku sepakat dengan sang Istri kalau melihat pola makannya yang dipamerkan di depanku itu. Untuk urusan perdagingan dia termasuk happy eater-lah. Termasuk saat mengganyang krengsengan yang tersaji itu. Matanya berbinar, mukanya mencerah, setiap 5 menit sekali akan finger licking good, persis si kecil kami di rumah saat mendapat hadiah Indomie sedap goreng ibunya.
“I love animal, Bro…It taste so gooud. Enak tenan, Bro…cobain nih…” Memang enak betul.
Adakah kaitan tekanan kerja dengan selera makan atau selera-selera lainnya? Beberapa minggu ini aku suka memperhatikan para workaholic bekerja.Pertama kusadari adalah bahwa tekanan kerja akan membuat orang sering pipis, seperti yang kebetulan kusaksikan di kantor Mas Bos Dua Huruf pada suatu ketika. Kulihat sendiri, melalui pintu yang kebetulan terbuka,para pegawai tetangga kantor Mas Bos pada bergiliran masuk WC sebelah ruangan Mas Bos setiap 15 menit sekali. Mas Bos sendiri mungkin mengurangi tekanan kerja dengan menata ulang kamar kerjanya; atau membuat pikiran-pikiran yang aneh. Seperti yang kusaksikan sepulang dari Muntilan, setelah pembicaraan yang serius dan penting, yang dia pikir bukan strategi bisnis, namun malah makanan, “Eh, tadi nasi bungkus dari Mbak B enak betul, ya Mas…Ikannya…Wes, sedep. Warunge di mana ya? Penasaran, deh…” Terakhir adalah si Bro itu. Dia sangat giat dan hepi dengan food. Weh, Mungkin setiap orang memiliki katup pelepasan mereka masing-masing. Dan mungkin katup ini harus dimiliki oleh setiap orang. Sesuatu sarana untuk bisa menjadi sarana pelepasan segala kepenatan kerja atau rutinitas. Suatukeasyikan yang bisa membangkitkan energi lagi, walau harus dikudap atau dinikmati dengan sembunyi-sembunyi dari istri…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H