David Kaplan dan Robert A. Manners, 2002, The Theory of Culture, diterjemahkan oleh Landung Simatupang, Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, xxi + 294 hlm. ISBN 979-09675-71-8.
Pengantar
Budaya merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari manusia, karena kebudayaan selalu dipengaruhi oleh dinamisasi manusia dari cipta, rasa, dan karsa. Dewasa ini masalah budaya masuk dalam kajian antropologi. Namun, teori-teori tentang budaya belum terlalu berkembang di masyarakat. Selain itu, untuk membedakan teori dan bukan teori itu juga masih menjadi masalah dalam kajian antropologi, selain masih banyak lagi permasalahan yang lain. Oleh karena itu, David Kaplan dan Robert A. Manners mencoba memberikan pemahaman tentang teori-teori kebudayaan melalui bukunya yang berjudul The Theory of Culture, yang telah diterjemahkan oleh Landung Simatupang. Dalam buku Teori Budaya ini terdiri dari lima bab, antara lain adalah Antropologi: Metode dan Pokok Soal dalam Penyusunan Teori; Oreientasi Teoretik; Tipe-Tipe Teori Budaya; Analisis Formal; dan Epilog: Beberapa Tema Lama dan Arah Baru. Masing-masing dalam setiap bab masih diuraikan lagi menjadi sub-sub bab. Dalam review ini, saya mencoba untuk menyajikannya dengan format yang terdiri dari pengantar, ringkasan dari keselurahan isi buku, kemudian dianalisis kekurangan dan kelebihan dari buku, dan yang terakhir berisi kesimpulan.
Ringkasan Buku
Dalam bab satu, Antropologi: Metode dan Pokok Soal dalam Penyusunan Teori, David Kapplan memberikan ringkasan kepada kita bahwa ada dua hal pokok masalah antropologi, yaitu bagaimanakah bekerjanya berbagai sistem budaya yang berbeda-beda? Bagaimanakah maka sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu menjadi seperti keadaannya kini? Jadi, permasalahan utamanya adalah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharaan budaya maupun perubahannya dari masa ke masa. Untuk melihat persamaan budaya, maka menggunakan kacamata psikobiologis, yaitu kesamaan bentuk dan pola budaya yang cenderung bertitik temu adalah pertumbuhan, perubahan atau perkembangan. Namun, jika melihat perbedaan budaya digunakanlah “infra-spesifik”, yaitu dengan mempelajari mekanisme, struktur, serta sarana-sarana di luar manusia (alat yang digunakan manusia untuk mentransformasikan dirinya sehingga dapat diketahui perbedaan keyakinan, perilaku, nilai, dan bentuk sosial antara kelompok). Hal inilah yang oleh antropolog disebut budaya. Menurut David Kapplan dan Manners, budaya adalah suatu golongan fenomen yang diberi muatan makna tertentu oleh antropolog dalam rangka menghadapi soal-soal yang mereka coba untuk memecahkannya. Dua alasan bagi antropolog untuk mempertahankan konsep budaya itu dan menjaganya agar tetap dibedakan dari struktur sosial, yaitu (a) organisasi sosial tidaklah merupakan sesuatu yang unik pada manusia, karena sistem sosial manusia adalah sistem sosiokultural yang sejati; dan (b) antropolog telah mempermasalahkan interaksi antara subsistem-subsistem atau institusi-institusi seperti struktur sosial, ideologi dan teknoekonomi sehingga budaya adalah nama yang tepat untuk menyebut sistem yang lebih besar dan induk dari subsistem. Ada dua reaksi para antropolog dalam menyikapi keragaman pengaturan budaya, yaitu (a) perbedaan budaya dipandang sebagai sesuatu yang ada begitu saja untuk dicatat atau sebagai variasi-variasi dalam suatu tema besar yang bernama relativisme budaya; (b) dipersoalkan sehingga menuntut adanya teori.
Relativisme dan komparatif adalah dua hal yang berbeda. Relativisme cederung disebut sebagai tesis ideologisnya, sedangkan komparatif disebut sebagai tesis metodelogis. Budaya dalam pandangan kaum relativis adalah sebagai kebulatan tunggal dan hanya sebagai dirinya sendiri, sedangkan pandangan kaum komparativ adalah sebagai suatu institusi, proses, kompleks atau ihwal, harus dibedakan dari matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga dapat diperbandingkannya. Maka, yang benar dari pandangan ini adalah kaum komparatif karena tidak ada dua kebulatan sosiokultural yang benar-benar sama sehingga harus dipisahkan. Perbedaan lain, para relativis tercengkram oleh soal perbedaan, sedangkan para komparatif memperhatikan persamaan maupun perbedaan. Bagi relativ, setiap budaya adalah unik; sedangkan bagi komparatif tidak ada keunikan karena tertutup oleh kesamaan antarbudaya. Relativisme dipandang sebagai dasar metodelogis karena berguna sebagai peringatan dalam mempelajari budaya yang berbeda-beda sehingga agar tidak terpengaruh oleh prakonsepsi kebudayaan sendiri. Maka, komparativ ini hal penting dalam pembentukan teori karena dengan perbandingan ini diperlukan upaya penyeleksian. Maka Leach mengatakan jantung segala persoalan adalah teori.
Tipe struktural adalah suatu klasifikasi fenomen yang dikaji menurut cirinya yang penting dan menentukannya, ketika mendefinisikannya. Dua hal penting dalam struktural adalah bangunan yang mengandung teori, dan tipe stuktrural yang bervariasi. Masalah dalam pendefinisian teori adalah generalisasi, sedangkan generalisasi itu bemacam-macam jenisnya. Yang di maksud teori dalam antropologi disebut kuasi-toeri aatu teori semu (quasitheory). Ilmu terdiri dari penyataan empirik tentang fakta yang didapat dari pengamatan, obeservasi; dan pernyataan teoritik yang dipandang spekulatif serta dapat berubah dan berbeda seiring dengan pergerseran pendapat. Masalah-masalah khusus dalam pembentukan teori antropologi adalah masalah perbedaan konsepsi metodelogis dalam antropologi. Objektivitas pelaporan antropologis diupayakan dan ditingkatkan secara kumulatif dari masa ke masa sehingga mengurangi bias dan mengakui adanya standar nonpersonal. Dalam upaya pembentukan teori, salah satu hal terpenting adalah verstehen atau pemahaman dalam menjelaskan. Ada empat hal yang penting dalam verstehen: historisitas/ kesejarahan, sistem yang terbuka, isu-isu sosial dan ideologi.
Bab kedua Orientasi Teoritik yang akan dikaji empat pendekatan, yaitu evolusionisme, fungsionalisme, sejarah dan ekologi budaya. Keempat tersebut disebut orientasi teoritik karena keempat tersebut lebih dari sekedar metodelogi formal, tetapi belum merupakan teori yang utuh dan lengkap. Evolusionis pada abad kesembilan belas merupakan peletek dasar suatu disiplin yang tertata yang menghasilkan tiga pemikiran dasar dalam antropologi, yaitu diktum bahwa fenomena kebudayaan harus dikaji dengan cara naturalistik; premis tentang “kesatuan psikis umat manusia”, yakni perbedaan kultural antara dua kelompok tidak disebabkan oleh perbedaan kelengkapan psikobiologis, tetapi perbedaan sosial-budaya; dan penggunaan metode komparatif sebagai ganti teknik eksperimen dan laboratoris dalam ilmu ragawi. Kemudian, lahir pula evolusionisme modern (Childe, White dan Steward). Hasil pemikiran mereka antara lain: rekaman arkeologis menunjukkan keseluruhan pola perubahan bersifat evolutif dan progresif; bagan evolusi menjadi multilinear dari unilinear; adanya konsep dasar evolusi, yaitu perubahan terarah bukan perubahan siklis; evolusionisem spesifik, lahir pula tipe-tipe struktural.
Fungionalisme adalah paham yang menekankan penelitian etnografis, yaitu hubungan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Tokohnya adalah Kingsley Davis. Dasar penjelasan fungsionalisme adalah asumsi (terbuka dan tersirat) bahwa semua sistem budaya memiliki syarat fungsional, atau memiliki kebutuhan sosial (pandangan Radcliffe Brown). Robert Merton memperkenalkan 2 konsep fungsi, yaitu fungsi manifes adalah konsekuensi obyektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut; dan fungsi laten adalah konsekuensi obyektif dari suatu ihwal budaya yang tidak dikehendaki maupun disadari oleh warga masyarakat. Kesulitan dalam analisis fungsional adalah mempersoalkan pemeliharaan-diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan perubahan struktural. Merton mengenalkan konsep dysfunction (disfungsi/fungsi negatif), yaitu suatu institusi negatif budaya dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu dan disfungsional apabila melemahkan adapatasi. Maka, timbullah syarat-syarat fungsional, yaitu (a) jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya rekruitmen seksual; (b) difernsiasi peran dan pemberian peran; (c) komunikasi; (d) perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama; (e) pengaturan normatif atas sarana-sarana; (f) pengaturan ungkapan afektif; (g) sosialisasi; (h) kontrol efektif atas bentuk-bentuk perilaku mengacau (dusruptif).
Ekologi budaya tidak hanya sekedar membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu, melainkan membahas cara manusia (berkat budaya sebagai sarananya) memanipulasi dan membentuk ekosistem itu sendiri. Ciri-ciri dalam ekologi budaya adalah memperhatikan adaptasi dalam dua tataran, yaitu sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya, sebagai konsekuensi adaptasi sistemik itu, maka perhatian terhadap cara institusi-institusi dalam sesuatu budaya beradaptasi atau saling menyesuaikan diri. Adaptasi ini berfungsi untuk melihat kemunculan, pemeliharaan dan transformasi berbagai konfigurasi budaya. Umumnya, ekologi kultural cenderung menekankan teknologi dan ekonomi dalam analisis terhadap budaya, karena dari sisi waktu dan sisi budaya akan terlihat jelas perbedaannya. Menurut Charles O. Frake ekologi budaya memberikan penekanan penting pada konseptualisasai dari tafsir pribumi mengenai lingkungan (faktor ideologis dan psikologis). Dua konsep sentral ekologi budaya dalah ekologi lingkungan dan adaptasi. Pandangan posibilisme lingkungan (environment possibilism), yaitu pandangan yang memperhatikan ciri-ciri habitat alami bukan sebagai penyandang peran penentu melainkan peran pemberi kemungkinan atau pemberi batas. Kaitan lingkungan dengaan dengan budaya adalah lingkungan → budaya, atau budaya → lingkungan, maka lingkungan dan budaya adalah dua hal yang timbal balik dan tidak bisa dipisahkan. Adaptasi ini sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Dengan adanya pergeseran ekologi lama menuju ekologi baru, maka budaya sebagai obyek kajian hendak diganti dengan populasi organisme sebagai unit dasar analisis. Dalam pergerseran ini budaya sangat penting sebagai mekanisme adaptasi manusia agak diturunkan hingga sebagai salah satu segi dalam perilaku manusia.
Bab Tiga: Teori-Teori Budaya. Pada bab ini mengkaji teori-teori budaya dari evolusionisme, fungsionalisme, sejarah dan ekologi budaya, yang hakikatnya bersifat metodelogis. Dalam upaya menjelaskan bentuk institusi pada berbagai latar masyarakat, dan cara institusi itu saling berhubungan, antropolog merasa perlu membuat abstraksi yang lebih tinggi tarafnya daripada konsep status, peran dan fungsi; pada taraf abstraksi tersebut, institusi diletakkan dalam konteks analisis tertentu yang disebut subsistem. Subsitem-subsistm ini terdiri dari ideologi, struktur sosial, teknoekonomi, dan kepribadian dalam matra sosial maupun psokobiologisnya. Teknoekonomi tidak hanya mengacu pada teknologi saja, tetapi juga cara benda-benda itu diorganisasikan dalam penggunaannya, dan bahkan juga pengetahuan ilmiah yang memungkinkan hadirnya benda-benda itu. Maka, suatu budaya yang memutuskan untuk membiarkan teknologi memegang kendali atau memutuskan untuk mengendalikan teknologi demi perbaikan sosial, merupakan produk sejarah dan pengaturan sosioekonomis beserta ideologi yang mengiringkannya.
Orientasi ekologi-budaya dan permasalahan teoritik mengenai variabel taknoekonomi sebagai sesuatu yang boleh dikatakan sama, karena ekologi-budaya adalah teori dan bukan orientasi teoritik maupun orientasi metodologik; dan variabel-variabel kunci yang digunakan dalam memberikan penjelasan memang memiliki sifat teknoekonomis yang kuat. Teori teknoekonomi dalam jangka panjang alat dan mesin-mesin mungkin menentukan wujud dan kerja semua subsistem dalam suatu budaya. Namun, hal-hal materiil itu tidak pernah bekerja secara terpisah dari sistem sosioekonominya beserta segala sesuatu yang mencakup pemanfaatan, penambahan sebesar-besarnya, penggalakan atau penindasan pertumbuhan maupun perluasan suatu bidang yang disebut teknologi. Jika fakto-fakto teknoekonomi dan struktur sosial bergabung, maka menimbulkan patrilokalitas band organization (eksogam dan virilocal) menurut Steward. Namun, jika masyarakat bergantung pada hewan besar, maka tipe struktur disebut composite band (sifatnya kurang eksogam dan tidak mempunyai peraturan eksplisit tentang tempat tinggal pascakawin). Menurut Karl Wittfogel bahwa hubungan antara pembuatan, pemeliharaan dan pengawasan saran-sarana umum (irigasi) dengan munculnya struktur sosial yang sentralistik, otokratik dan birokratik disebut depositisme oriental. Kemudian timbul kritik kepada Karl, yaitu banyak irigasi yang luas yang tidak disertai dengan munculnya despositisme dan penguasaan otokrasi yang tersentralistik. Menurut Marvin Harris bahwa strategi materialis-kultural jauh lebih berdayaguna daripada strategi-strategi lain dalam antropologi. Maka, faktor-faktor teknoekonomi mungkin dapat disebut determinisme lunak. Menurut Roebert Heilbroner bahwa menyusun teori teknoekonomi yang membantu menjelaskan hal-hal penting tertentu, seperti struktur sosial pemburu dan peramu tidak sertamera berarti bahwa jenis teori yang sama ini akan memiliki kekuatan penjelasan yang memadai dan tepat manakala diterapkan pada tipe struktural yang lainnya.
Struktur sosial menurut Evans Pitchar adalah konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap. Menurut Talcot adalah suatu sistem harapan/ekspektasi normatif; Leach mengatakannya sebagai seperangkat norma atau aturan ideal, Levis Strauss berpendapat bahwa itu adalah model. Semua teoriawan struktur sisual menolak bahwa budaya sebagai konsep induk yang bermanfaat karena menurut pandangan mereka konsep budaya terlalu luas dan amorf hingga kurang bermanfaat sebagai alat analisis, sedangkan konsep struktur sosial tidaklah demikian. Menurut Firth bahwa perubahan struktural dihasilkan oleh tafsir-tafsir ulang dan modifikasi perilaku peran. Selain itu, bahwa sifat struktur sosial dalam semua budaya adalah free play. Strategi penjelasan yang menjanjikan hal yang besar bahwa 1) putusan individu memunculkan modifikasi perilaku peran yang menghasilkan perubahan struktural; 2) unsur-unsur budaya muncul dalam struktur sosial atau memengaruhinya dari luar, maka alternatif-alternatif tertentu yang semula tidak ada menjadi ada. Struktur sosial Kipsing mengalami perubahan sebagai akibat dari kumulasi pilihan individu, tetapi pilihan yang tidak dilakukan sebelum masuknya pengaruh kekuasaan Inggris berikut perubahan struktural, teknoekonomi dan ideologi yang menyertainya. Percy Cohen memandang bahwa teori tindak sosial sebagai suatu cara telaah dan penolong dalam memberikan penjelasn, tetapi bukan sarana penjelasan yang berdiri sendiri. Cohen menunjukan kesulitan metodelogis jika berupaya menjelaskan struktur sosial sambil secara konseptual tidak beranjak dari kungkungan analisis struktur sosial. Maka, jelas bahwa struktur sosial berperan dalam menentukan jenis kehidupan.
Politik mempunyai arti kausal yang lebih penting dalam tipe organisasi negara daripada terwujudnya masyarakat yang institusi politiknya belum sepenuhnya terkristal dan terbedakan dengan sistem kekerabatan. Menurut Marshal Sahlins bahwa kekuasaan memunculkan kedudukan politik yang akan mereaksi struktur ekonomi dan merorganisasi jaringan produksi dan distribusi yang berbeda dengan ciri-ciri perekonomian sebelumnya. Menurut Coleh bahwa nilai-nilai dan ideologi memainkan peranan yang lebih menentukan dalam negara daripada masyarakat. Ideologi mencakup nilai, norma, falsafah dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya. Menurut Arthur Schlesinger, bahwa gagasan adalah wawasan atau pemahaman tertentu, sedangkan ideologi merupakan kristalisasi gagasan menjadi sistem yang bersifat universal. Menurut Leslie White bahwa manusialah satu-satunya mahkluk yang dapat dibunuh dengan sebuah lambang. Maka, masuk akal bahwa sistem simbol atau ideologi yang digunakan manusia untuk menjelaskan dan menata sistem sosial serta alaminya akan memainkan sesuatu peranan dalam pelestarian serta perubahan struktur kemasyarakatan. Masalah metodelogis dalam menetapkan batas subsistem ideologi adalah utamanya karena sifat ideologis adalah subyektif. Menurut S.F. Nadel bahwa lambang-lambang yang tidak dapat dipahami tidak mendapat tempat dalam telaah sosial; efektifitas sosial lambang terletak pada kemampuannya menunjukan sesuatu. Monica Wilson menggunakan tafsir-tafsir Nyakyusa mengenai ritual mereka sendiri karena tafsir-tafsir antropologi telah dinodai oleh tebakan-tebakan simbol, tafsir-tafsir etnografi mengenai ritual masyarakat atau bangsa lain.
Spiro membedakan lima taraf pembelajaran ideologi, yaitu 1) melalui arahan atau petunjuk formal, atau informal, aktor telah mempelajari segi tertentu dari ideologi budaya; 2) para aktor tidak hanya telah mengetahui pemikiran tertentu melainkan memahaminya sehingga dapat digunakan; 3) para aktor mempercayai segala hal yang valid dan benar; 4) peran kognitif sangat penting sebagai petunjuk menstrukturkan dunia sosial dan alaminya; 5) sisi kognitif juga berperan sebagai pendorong perilaku. Maka, faktor ideologis mempunyai efektivitas kausal yang sulit dipegang teguh dan juga kontroversial, yakni nilai, norma, tema, etos, dan semacamnya. Ely Devons dan Max Gluckman mengenalkan logika hal irrasional. Evans Pritchard mengungkapkan bahwa sihir Azande merupakan representasi teori atau penjelasan warga pribumi mengenai alasan musibah yang menimpa seseorang tertentu pada saat tertentu. Logika irrasional ini digunakan oleh antropolog untuk menjembatani dalam menemukan penjelasan yang tidak ditemukan dari logika rasional. Kepribadian digunakan dalam menjelaskan budaya, maka harus mengetahui otonomi psikologi dan antropologi budaya. Teori Wallace tentang mazeway (semacam cognitive map dalam memahami dunia dan menentukan jalan di semsesta sosial melalui mekanisme psikis) merupakan jemabatan untuk menelaah budaya kepribadian lama dengan baru. Karena 1) pergesaran dari psikologi Freudian yang menekankan segi afektif dan irrasional; 2) adanya pembaharuan minat di bidang etologi. Budaya baru lebih menekankan pada kognisi, tokohnya adalah Stephen Tyler, Romney dan D’Andrade, Marvin Haris.
Bagian keempat, Kapplan dan Manners membicarakan tentang analisis formal. Dalam bab ini Kapplan membicarakan dua skema teori, yaitu strukturalisme dan etnografi yang mencakup etnosemantik, etnosains dan analisis-komponen. Titik beratnya adalah pada kode budaya, kaidah konseptual, sistem lambang, dan sebagainya. Dalam strukturalisme gaya Levi-Strauss menjadi fokus telaah dan sumber penjelasan adalah sifat logis manusia itu, sedangkan dalam etnografi adalah kaidah konseptual, aturan kognitif, dan kategori yang digunakan orang dalam berbagai masyarakat untuk menara pengalamannya, dianggapa menjelaskan perilaku serta pengaturan sosial budayanya. Alasan strukturalisme dan etnografi dianggap sebagai perintis karena metodelogi, peristilahan, dan kerangka konseptual yang digunakannya banyak bersumber tidak hanya pada lingkungan struktural, tetapi juga pada perkembangan paling mutakhir dari ilmu-ilmu yang disebut high sciences: teknologi komputer, teori komunikasi, sibernetika, game theory, analisis sistem, dan logika simbolik.
Model menjadi hal penting dalam karya para strukturalis dan penganut etnografi baru. Sifat yang paling bermanfaat pada suatu model adalah kemungkinan heuristiknya, bukan presisinya. Analogi organik atau model organik mengenai suatu budaya menyarankan bahwa dalam hal-hal tertentu sistem budaya akan menunjukan hubungan dan proses serupa dengan yang terdapat dalam sistem organik. Namun, dalam menggunakan model harus memperhatikan: 1) suatu model selalu merupakan aproksimasi (penghampiran); 2) hubungan antara suatu model dengan fenomena empirik selalu bersifat isomorfis (sama bentuk), artinya hubungan antara keduanya ialah kesamaan struktur dan bukan identitas. Model formal adalah seperangkat unsur yang didefinisikan secara cermat-tepat, ditambah dengan aturan logis untuk menggabung-gabungkannya secara terampil. Untuk menilai kesahihan suatu proposi formal, harus mengetahui sistem formal tempat proposi itu menjadi bagian. Model formal mengalami keterbatasan manakala diterapkan pada situasi empirik, model itu dapat menjadi piranti heuristik penting yang akan membantu kita untuk sampai pada penjelasan meskipun tidak dapat menjelaskan fenomena empirik. Evan Pritchard menggunakan model formalisasi dalam menjelaskan masyarakat Nuer. Wallacae menyatakan bahwa persoalan transisi dari realitas struktural ke realitas psikologis. Robbins Burling menunjukkan adanya kemungkinan hipotesis untuk menyusun 124 model atau analisis formal hanya untuk ranah budaya yang terdiri atas lima butir saja. Menurut Eugene J. Meehan bahwa hasil yang porak-poranda akan muncul manakala para pengguna model formal...lupa bahwa model bukanlah teori.
Strukturalisme adalah paham yang mempersoalkan struktur, yakni cara bagian-bagian suatu sistem tertentu saling terkait. Perspektif dan metodelogi linguistik struktural yang dilakukan oleh Levis menghasilkan bahasa adalah sistem perlambangan yang disusun sewenang/artiber. Budaya bagi Levi adalah suatu sistem simbolik atau konfigurasi sistem perkembangan. Dia tidak mempermasalahkan referen atau arti lambang secara empirik. Namun, yang ia perhatikan adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkait secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan. Levi menyatakan bahwa struktur mite bersifat dialektis. Artinya dari sana ditampilkan oposisi dan kontradiksi tertentu. Menurut Kapplan, sumbangan terbesar Levis adalah lingkup asosiasi yang betul-betul puitis yang terungkap sepanjang analisis yang dilakukannya.
Etnografi yang ideal adalah mencakup semua aturan, kaidah dan kategori yang dikenal oleh warga pribumi sendiri guna memahami dan bertindak tepat dalam berbagai situasi sosial yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Manakala antropolog bertumpu pada konsep dan kategori warga pribumi, maka dia mengadaptasi ulang konsep dan kategori itu demi kepentingan teorinya sendiri. Pada proses itu, antropolog meng-etik-kan konsep dan kategori tersebut. Maka, semua konsep dalam berkomunikasi dengan antropolog lain atau masyarakat luas adalah konsep etik, dan pasti demikian. Salah satu sasaran etnografi baru adalah mengeliminasi atau menetralisir bias yang berpotensi menimbulkan kesenjangan di pihak etnograf. Sisi positif dari etnografi baru adalah telah mengingatkan kita agar tidak meninggalkan atau melalaikan suatu premis dasar antropologi, yakni semua bangsa atau masyarakat menata dan mengklasifikasi semesta sosial serta alaminya dengan cara yang tepat sama. Kontribusi etnografi baru adalah mengasah kepekaan kita terhadap fakta bahwa ragam pembedaan konseptual tidak boleh diterapkan pada budaya yang berbeda. Jadi, baik Levis atau etnograf baru sangat mengandalkan analogi linguistik. Dari segi konsep mereka memandang bahasa sebagai tata bahasa-logika, sebagai kode, atau seperangkat aturan struktural untuk meniadakan perilaku secara kultur. Namun, semua itu dikritik oleh Kapplan dan Manners bahwa penggunaan analogi linguistik harus hati-hati karena mempunyai keterbatasan yang akan membuat masalah baru.
Pada bab terakhir dari buku Teori Budaya, Kapplan dan Manners membicarkan mengenai tema lama dan arah baru. Tema lama para antropolog adalah kajian tentang dunia primitis. Alasan lahirnya arah baru dalam kajian antropologi karena dunia primitf sudah lenyap karena adanya pengaruh Barat. Padahal, dunia primitif adalah laboratorium yang menyuplai data yang sangat dibutuhkan antropolog. Kerja lapangan dan observasi partisipan merupakan piranti utama pengumpulan data antropologi. Namun, akhir abad ke lima belas, dunia primitif mengalami kontak budaya, difusi, dan eksplorasi. Kritik terhadap pandangan tradisional antara lain adalah asumsi-asumsi metodelogis yang menjadi tumpuan pendekatan tradisional tidak bebas dari unsur emotif, dan tidak netral; secara historis antropolog terikat pada ekspansi imperialistis Barat, maka antropolog lapangan umumnya mempunyai ikatan dengan Barat. Jadi, benang merah kritik tersebut adalah antropolog mengkhianati potensi manusiawi dan potensi ilmiah disiplin ini.
Adanya dua hal yang berbeda antara ilmu sosial dan antropolog, yaitu metode kerja. Namun, hal ini bisa dipertemukan manakal antropoloh memodifikasi holisme serta pengamatan secara langsung, ilmu-ilmu sosial lainnya cenderung bergerak ke arah yang berkebalikan (menjadi lebih holistik, komparatif dan bergantung pada teknik pengamatan langsung di lapangan). Maka, jelas ada pertemuan diantara keduanya dalam bidang metode. Perkembangan lain dalam antropologi adalah adanya kritik terhadap rekayasa sosial dan aspek terapan dari disiplin antropologi. Relevansi menurut Merton adalah memberikan pengukuhan, penjelasan, bahkan modifikasi yang bermakna terhadap tradisi suatu disiplin. Relevensi ini sangat penting dalam antropologi karena antropologi secara langsung terlibat dalam masalah sosial kontemporer dan pengetahuan khususnya dapat menciptakan dunia yang lebih baik. Lain halnya dengan aplikasi atau penerapan. Aplikasi ini justru mendorong peneliti untuk bertumpu pada hal yang telah diketahui dan menggunakan teknik, metode dan data yang telah tersedia guna menghadapi masalah khusus yang ditanganinya. Maka, ada kecenderungan masa depan bahwa antropolog dan ilmu-ilmu sosial lainnya akan menjadi lebih bersifat terapan serta lebih berorientasi pada kegiatan nyata, meskipun hal tersebut dilakukan karena ada unsur kepentingannya.
Komentar Terhadap Kekurangan dan Kelebihan
Menurut saya buku Teori Budaya karya David Kapplan dan A. Manners ini menarik, karena secara essensial memberikan pemahaman mengenai teori-teori budaya yang ada dari evolusionisme sampai pada strukturalisme, terutama dalam bahasa Indonesia. Di dalam buku ini juga diberikan contoh-contoh konkret dalam menjelaskan tentang hal-hal konseptual. Di sisi lain buku ini menyajikan beberapa contoh-contoh dan generalisasi yang digunakan antropolog, tanpa menjadikan buku ini sekedar suatu katalog. Selain itu, kelebihan lain adalah cover buku sampai halaman bukunya pun enak dipandang mata. Secara keseluruhan kelebihan buku ini banyak membantu dalam referensi, sub-sub pembahasannya juga tergolong lengkap dalam mengkaji aspek penting teori budaya dan pembahasannya juga terstruktur jadi pembaca tidak pusing lagi mencocokkan.
Adapun ada beberapa kekurangan yang ada dalam buku ini antara lain adalah buku ini tidak mencakup seluruh wacana teori antropologi yang berkembang sampai saat ini. Selain itu, Kapplan dan Manners belum memandang pentingnya refleksitas sebagai kriteria akedmik dalam ilmu antropologi. Kapplan dan Manners masih terbatas pada pandangaan positivistik bahwa bagaimanapun harus menemukan kebenaran obyektif. Buku ini juga belum mencakup wacana teori budaya yang terjadi pasca-Strukturalisme yang sangat menekankan pada flektivitas wacana antropolog dalam proses-proses sosial dan budaya. Wacana teoritik yang dihasilkan oleh kelompok ini sama sekali tidak tersentuh. Padahal, Indonesia menjadi wacana yang sangat penting pasca-Strukturalisme seperti yang dipelopori oleh James T. Siegel. Kekekurangan yang lainnya adalah bahasa terjemahan yang cenderung menyulitkan pembaca karena bahasa yang digunakan kurang berstandar KBBI dan EYD. Buku ini tidak terdapat kesimpulan, baik per bab maupun seluruh buku sehingga pembaca tidak bisa membaca secara langsung kesimpulan buku. Tulisan yang digunakan dalam buku ada beberapa bagian yang kurang jelas, terutama di bagian footnote. Buku ini tidak ada gambar-gambarnya, sehingga pembaca harus mencari dari buku lain. Ada sub bab yag tidak sesuai dan tidak ada yang ditunjukkan oleh daftar isi sub bab Ekologi Budaya halaman 109. Pada halam 87, ada prasayat yang membingungkan apakah bener untuk (e) tidak ada, atau ada, karena langsung f.
Kesimpulan
Dengan demikian, menurut saya terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini cocok digunakan sebagai buku referensi ketika membahas mengenai teori-teori budaya. Kapplan dan Manners memberikan penjelasan menganai teori-teori budaya secara kronologis, meskipun untuk teori pascarstruktural belum dijelaskan dalam buku ini. Menurut saya buku ini harus dibaca oleh seorang antropolong khususnya sebelum dia melangkah lebih dalam mengenai penelitian kebudayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H