Kubilang bahwa ada satu hal yang membuatku senang. Apalagi kalau bukan bertemu dengan teman Kompasianer. Bertemu dengan teman sefrekuensi. Sama-sama menyukai menulis di Kompasiana.Â
Hari Selasa, 22 Agustus 2023 lalu, kami sepakat bertemu di Sam Poo Kong, dalam Event Trip kolaborasi Koteka dan Semarkutiga.
Koteka adalah salah satu Komunitas Traveler Kompasiana, yang digawangi Mbak Gana. Semarkutiga adalah komunitas Kompasianer dari Semarang dan sekitarnya. Acara ini sudah direncanakan sejak lama, loh.
Mumpung Mbak Gana dari Jerman pulkam ke Semarang rumah tinggal masa kecilnya, maka acara ini direalisasikan.
Jam 10 pagi kurang sedikit aku sampai di Sam Poo Kong. Hanya butuh waktu 15 menit dari rumah. Sesampai di sana, ternyata Mbak Gana sudah di lokasi. Wow, ia memang on time. Bahkan setelah ketemu, ia bilang sudah datang satu jam sebelumnya.
Ternyata, di sana sudah ada Mbak Suprihati dan Mbak Anna. Wah, jadi tambah ramai. Sambil menunggu teman lainnya, kami ngobrol-ngobrol, lalu foto-foto, mumpung ketemu. Biasanya kan ketemu lewat medsos.
Kami langsung akrab, karena beberapa kali sudah pernah bertemu, baik secara langsung maupun saling sapa di Kompasiana.
Setelah terkumpul semua peserta, kami kemudian masuk ke klenteng yang luasnya sekitar 1 hektare.Â
Kami berkeliling dipandu oleh Mas Dita, GM dari Sam Poo Kong dibantu oleh Mbak Muna yang lancar memberikan penjelasan tentang sejarah bangunan.
Mbak Muna langsung menjelaskan beberapa sejarah tentang Sam Poo Kong.
Enam ratus tahun lalu, sebuah kapal dari Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho seorang pelaut dan penjelajah muslim mendarat di Simongan daerah Gedung Batu Semarang, karena Juru Mudi kapalnya yang bernama Wang Jiang Hong sakit keras. Ada sebuah goa yang bisa dijadikan tempat istirahat dan pengobatan.Â
Pada masa lampau, lokasi ini merupakan bibir pantai. Nah, sekarang tempat ini sudah menjadi daratan, karena pantai utara Jawa mengalami pendangkalan.
Kemudian Laksamana Cheng Ho meneruskan perjalanan dengan berlayar kembali melanjutkan misi perdamaian.
Sedangkan juru mudi atau Wang Jiang Hong menetap dan membuat rumah di sini. Lalu bertani dan beradaptasi dengan penduduk sekitar, hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di lokasi ini.
Beberapa awak kapal lainnya juga ada yang tinggal di Simongan yang akhirnya menikah dengan penduduk sekitar dan meneruskan keturunannya di daerah ini.
Klenteng Sam Poo Kong sendiri dibangun oleh masyarakat sekitar Gedung Batu untuk mengenang jasa-jasa Laksamana Cheng Ho.Â
Bangunan yang dibuat setelah 300 tahun pendaratan kapal Cheng Ho oleh masyarakat setempat, sebagai peringatan dan pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah.Â
Meskipun Laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim, tetapi masyarakat menganggapnya sebagai dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Konghucu atau Taoisme menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.
Di sela-sela berkeliling, tak lupa untuk foto-foto. Satu hari yang tak terlupakan dan susah untuk move on!
Aku sendiri sebetulnya baru pertama kali masuk ke Sam Poo Kong. Kalau melewati sih sering, tapi tidak mampir. Bangunan yang berdiri kokoh, terdiri dari beberapa bangunan terpisah, berlokasi di Jl. Simongan No.129, Bongsari, Kec. Semarang Barat, Kota Semarang.
Ada sebuah patung besar Laksamana Cheng Ho tampak dari kejauhan. Kata Mbak Muna, patung itu didatangkan langsung dari Tiongkok dengan bahan perunggu. Patung yang mencolok karena ukurannya yang besar, sering dijadikan latar untuk berfoto.
Acara berlanjut hingga mengitari beberapa bangunan. Cuaca panas terik, tak menghalangi kami untuk tetap menyimak penjelasan dari Mbak Muna. Bahkan Mbak Gana siap dengan payung pink untuk menghalau panas di atas kepala.Â
Sampailah pada lokasi terakhir. Tak terasa, lebih dari satu jam trip ini berjalan. Rasa senangku membuncah, karena bertambah ilmu dan lebih mengenal bangunan bersejarah Sam Poo Kong.
Setelah selesai menjelajah Klenteng Sam Poo Kong, kami menuju ke daerah Bangkong untuk makan soto. Soto Bangkong adalah soto yang identik dengan Soto Semarang. Berkuah bening, tapi segar.
Dari Sam Poo Kong ke lokasi daerah Bangkong, membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit berkendara. Melewati alun-alun Simpang Lima, lalu menuju jalan Ahmad Yani hingga perempatan Bangkong.Â
Huh, rasa haus karena terik matahari yang menyengat, membuat aku memesan minum terlebih dahulu daripada sotonya. Hehehe...
Soto Bangkong ini populer loh. Warung soto yang sudah lama ada dan melegenda, sangat khas di Kota Semarang.Â
Nah, akhirnya tertuntaskan sudah rasa haus dan lapar setelah tadi berkeliling Sam Poo Kong.
Aduh, dan ini harus terjadi. Setelah acara makan soto selesai, tiba juga saat berpisah. Huhuhu... rasanya tak ingin beranjak. Tapi, perpisahan ini harus terjadi.
Kami berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing. Sedih, sih. Tapi ada hal yang menyenangkan, yaitu bisa bertemu teman-teman Kompasianer. Tidak setiap saat bisa bertemu. Ah, jauh di mata, dekat di hati. Iya, kan?
Suatu saat pasti juga akan bertemu kembali, di acara yang berbeda, di lokasi yang berbeda pula.
Sampai jumpa lagi, ya. Sumpah, acara ini bikin susah move on. Masih terasa gempitanya hingga sekarang.
Salam hangat selalu.
Wahyu Sapta.
Semarang, 24 Agustus 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H