Suatu pagi menjelang siang di sebuah jalan kota atas Semarang, saya dan suami sedang melewati gang perkampungan di Jalan Ungaran. Tentu saja dengan berjalan pelan karena berada di jalan kampung yang nggak boleh ngebut.
Teng... teng... teng... suara piring yang dipukul sendok menggema tepat di depan kendaraan kami. Rupanya seorang penjual makanan dengan sebuah gerobak kecil di atas sepeda motor yang ia kendarai sedang berhenti.
Suami saya melirik ke arah samping. Ia meminta sebuah persetujuan, terlihat dari mimik wajahnya.
"Buk,"
"Apa?"
"Mau?"
"Iya, mau," jawab saya cepat. Wajahnya tiba-tiba berubah cerah seperti cuaca pada saat itu yang sedang tak berawan sama sekali di langit yang membiru. Lalu suami saya bertanya pada penjual tadi.
"Pak, mie kopyok?" tanyanya to the point. Penjual Mie Kopyok keliling memang khas dengan suara teng-teng.
"Betul, pak,"Â
Suami menunjuk sebuah lokasi di bawah pohon besar dan memintanya dengan memberi kode jari tangan berbentuk V.Â
"Dua, ya."
Kendaraan kami berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Penjual Mie Kopyok mengikuti dengan parkir di belakang kami. Saya turun menghampiri.
"Dua, pak," kata saya mengulangi permintaan suami.
"Pedas?"
Saya melongok ke arah panci yang mengepulkan asap panas dari seduhan air yang berada di dalamnya.
Beberapa cabai rawit pedas ada di dalam panci, yang diletakkan di atas saringan berisi air mendidih dengan mengepulkan asap panas.Â
"Satu saja cabainya."Â
Ya, masing-masing satu porsi memakai satu cabai agar tak terlalu pedas. Itupun saya rasa sudah cukup pedas karena memakai cabai rawit jenis pedas.
Penjual menyiapkan dua piring dan menghaluskan cabai rawit dengan sendok. Kemudian ia mengambil gayung panjang kecil khusus. Dengan cekatan ia memasukkan mie kuning dan kecambah dari kotak gerobak.Â
Diseduhkan ke dalam panci yang berisi air panas. Ditutupnya panci separuh, agar uap tak banyak keluar dan makanan cepat matang.
Saya tak kalah cekatan membuka layar handphone mengklik kamera bersiap untuk memotretnya. Rupanya ia sadar kamera, dan memberi kesempatan saya untuk memotretnya.Â
"Lebih bagus lagi, kalau ibu memotretnya saat sajian untuk sudah lengkap. Sudah ada kerupuknya." katanya.
Ahai, rupanya ia tidak tahu kalau saya memang suka memotret apa saja.Â
Saya memotret proses pembuatannya. Itu yang mengasyikkan menurut saya. "Bisa jadi bahan tulisan, loh," kata saya dalam hati.
Ia kemudian mengambil satu buah lontong, diiris dan ditaruh di atas piring menjadi dua bagian.Â
Hanya butuh satu menit, bahan mie dan kecambah berpindah ke atas piring yang berisi lontong. Ia membuat sajian satu per satu. Jadi, mie dan kecambah yang direbus tadi, hanya untuk satu piring.Â
Kemudian ia menambahkan tahu pong yang sudah diiris tipis di atas sajian. Ia mengambil sebuah botol yang berisi bumbu cair.Â
Saya rasa, botol itu berisi bawang putih yang dihaluskan, lalu diberi air. Mungkin jika dimasukkan ke dalam botol, akan mempermudah pada saat penyajian, karena tinggal menuangkannya ke atas piring. Oh, ternyata ini bumbu utamanya.
Disusul kecap manis, sekitar satu sendok teh, yang dikucurkan cepat, yang juga ditaruh dalam sebuah botol. Remukan kerupuk gendar menyusulnya, lalu sentuhan terakhir diberi irisan seledri dan bawang goreng. Siraman air satu sendok sayur dari panci memungkasi.Â
Sudah jadi! Piring berisi mie kopyok diberikan kepada saya.Â
Penjual dengan cekatan kembali menyeduh mie kuning dan kecambah untuk piring kedua.
Saya berjalan menuju kendaraan, memberikan mie kopyok kepada suami.
"Taraaa... ini untuk Bapak."Â
Segera disantapnya dengan lahap, meskipun tadi dari rumah sudah sarapan. Tak berapa lama, piring kedua sudah siap santap. Penyajiannya cepat. Tak butuh waktu lama, saya pun bisa langsung menyantapnya.
Sempat juga penjualnya berseloroh, bahwa ia heran, kenapa banyak yang menyukai mie kopyok. Saya mengernyitkan dahi. Aduh, kan ini memang makanan khas banyak yang nyari, yak. Tiba-tiba saya jadi pengin tepok jidat.
"Iya, bu. Setiap saya lewat rumah yang ada di ujung itu, orangnya pasti beli. Katanya ia suka,"
Saya tersenyum mendengarnya. Mie Kopyok itu kalau Semarang merupakan makanan legendaris. Sudah lama ada. Disukai karena rasanya yang segar. Saya dan Suami juga bela-belain berhenti saat ketemu dikau, Pak. Hahaha...Â
Mumpung sih, karena jarang-jarang ada penjual yang berkeliling menjual mie kopyok. Dulu sih sekitar lima tahun lalu, ada penjual di depan rumah saya. Tapi entah kenapa tidak berjualan lagi.
Ada sih, yang menjual stay di sebuah warung. Seperti di Mie Kopyok Pak Dhuwur di Jalan Tanjung. Atau tempat lainnya di Banyumanik. Tapi saya jarang sempat bisa khusus datang untuk menikmati. Selain lokasi yang jauh dari rumah, terkadang tidak terpikirkan dan kalah dengan makanan lain.
Mie Kopyok ini ringan, karena berisi irisan lontong, mie kuning, kecambah, tahu diiris tipis, dan toping kerupuk gendar. Siraman air bawang putih, kecap, dan sedikit air. Irisan seledri dan bawang goreng menambah segar sajian ini.
Rasanya asin, manis, gurih. Rasa bawang putih mentah yang dominan, membuat rasanya khas. Tidak eneg karena tidak mengandung daging-dagingan sama sekali. Â
Mie kuning yang empuk dan kecambah yang masih kres-kres akan menambah sensasi segar dan nagih. Sarannya, disantap pedas lebih nikmat, ya.
Ketika tadi saya membatin, apakah saya mampu menghabiskan sepiring mie kopyok ini, ya? Karena sajiannya menjulang penuh dalam satu piring. Sudah pesimis sebelumnya. Eh, ternyata habis juga. Kuliner ini memang enak dan nikmat. Hanya ada di Semarang, loh. Bisa dinikmati jika sedang berkunjung ke sini.
Sepiring habis, saatnya membayar. Dua porsi hanya duapuluh empat K. Murmer, ya. Kenyang dan membuat kesegaran. Rasa penasaran ingin menyantap Mie Kopyok tertuntaskan karena sebenarnya sudah lama pengin mencicipnya.
Nah, selamat mencari nikmatnya Mie Kopyok jika sedang berkunjung ke Semarang, ya. Ada yang dijual stay di warung, atau dijajakan keliling dengan bunyi khas teng... teng... teng... piring ketemu sendok dengan irama khusus Mie Kopyok.
Salam kuliner,
Wahyu Sapta.
Semarang, 18 Juli 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H