Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kelam Terang

15 Januari 2022   12:33 Diperbarui: 15 Januari 2022   23:30 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta.

Titik balik dari semua ini, Ghani berpaling dariku. Ia berselingkuh. Kembali pada mantannya. Rani. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat mereka berdua di sebuah mal.

"Kamu tega, Ghani." Kataku pelan, sepelan angin yang berdesir di sela-sela ruangan mal.

Ia hanya terdiam.

"Rani, kamu tahu, aku sedang mengandung anak Ghani," kataku di depan Rani sambil memegang perut buncitku.

Rani terpaku beberapa menit, lalu berlari meninggalkan aku dan Ghani dengan beruraian air mata. Huh, apa salahku hingga membuatnya menangis? Ini bukan salahku. Bukankah Ghani yang berselingkuh dengannya, lalu membiarkan aku dengan perut membucit?

Ghani masih terpaku di depanku. Memandang diriku tak berkedip. Pandangan itu, mengingatkan aku saat pertama kali bertemu dengannya. 

***

Gedung sudah ramai. Acara wisuda segera mulai. Aku berada di jajaran mahasiswa yang sebentar lagi meraih gelar sarjana. Raut wajah gembira terpasang tak pura-pura. Ini adalah sungguhan dan bukan mimpi. Akhirnya aku bisa melewati masa menegangkan.

Ini takdir. Bahwa masa lalu yang telah meluluh lantakkan kehidupanku hampir satu tahun lamanya, bagai hilang tak berbekas.

Aku meminta maaf pada nenek dan bersimpuh di pangkuannya. Nenek memang marah besar. Tapi kasih sayangnya melebihi marahnya. 

Aira terlahir dengan selamat, sedang lucu-lucunya. Bagaimana bisa dulu aku berpikiran untuk membuangnya ketika masih di dalam perut buncitku? Dosa yang kuperbuat akan menjadi berlipat ganda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun