Hampir tiga hari lamanya aku mengeram di rumah saja di kediaman ibu. Bukan karena aku memiliki waktu yang panjang untuk diriku sendiri. Bahkan hampir tidak memiliki me time. Aku hanya takut apabila meninggalkan rumah terlalu lama, ibu akan terbengkalai. Bagaimana makannya? Obatnya? Atau bagaimana jika Ibu bosan, siapa lagi yang bisa diajak berbincang?
Ini adalah suatu hal yang tak bisa kuminta dan kuhindari. Aku tak menyangka bahwa akan berada dalam sebuah pilihan. Antara ibu dan keluarga kecilku. Keduanya adalah prioritas utama.Â
"Jadi ini rasanya menjadi generasi sandwich?" Tanyaku dalam hati.Â
Tetapi memang hal yang demikian tak bisa kuminta agar sesuai keinginanku. Ibarat sebuah proses, bahwa setiap orang akan mengalaminya. Hanya butuh penyesuaian agar tidak menjadi ganjalan. Menjalaninya butuh pengorbanan.
Apalagi untuk bangkit dari tempat tidur, Ibu masih butuh bantuan karena masih lemah. Juga ketika berjalan, butuh pengawasan, meskipun Ibu memakai tongkat. Aku harus memiliki stamina yang lebih kuat dari biasanya. Melelahkan. Tetapi bagiku, apa sih yang tidak buat Ibu. Apapun akan kulakukan demi Ibu.
Waktu subuh Ibu sudah bangun. Dengan rutinitas yang tetap, Ibu akan menjalani harinya. Beribadah, lalu membersihkan diri, minum susu kesehatan dan makan camilan biskuit.
Ketika hari mulai terang, Ibu menuju teras rumah untuk berjumpa burung-burung merpati kesayangannya yang sudah menunggu.
Ada belasan burung merpati sahabat Ibu yang terbang mendekat. Ibu mengambil kaleng yang berisi biji-biji jagung yang ada di meja, kemudian dilemparkan. Seketika burung-burung itu menghujamkan paruhnya menikmati jagung pemberian Ibu.
Merpati-merpati itu jinak karena setiap hari diberi makan oleh Ibu. Wajah Ibu terlihat cerah setelah memberi makan mereka. Lalu Ibu masuk ke kamar untuk beristirahat. Â
Dulu kegiatan ini dilakukan bersama Bapak. Tetapi Bapak berpulang setahun lalu. Sempat tiga bulan lamanya Ibu tidak mau memberi makan merpati, karena teringat Bapak. Tetapi akhirnya ketika hatinya mulai pulih, Ibu melakukannya lagi. Ya, Ibu mengenang Bapak dengan caranya.Â
"Ibu, sarapan dulu yuk. Sinta sudah masak loh, makanan kesukaan ibu." Kataku lembut. Berbicara dengan Ibu memang harus hati-hati. Terlalu pelan, ibu susah mendengarnya. Tetapi ketika aku menambah volumenya, terasa seperti membentak. Ibu akan berubah wajahnya, kaget tentu saja. Padahal bukan maksud hati aku berbicara keras.Â
Sejak kepulangan Ibu dari rumah sakit seminggu lalu, aku bergantian berjaga dengan Mbak Dina.Â
Ibu menderita diare akut, sehingga harus dirawat. Sebenarnya ada Yu Nah yang setia menemani, pembantu ibu yang sudah lama ikut sejak aku masih sekolah.
Tetapi saat ini Ibu butuh perhatian lebih, agar tidak sakit lagi. Obat dari dokter juga harus diberikan, tidak boleh lupa. Syukurlah ibu relatif mudah ketika dirawat. Jadi aku dan Mbak Dina tidak begitu susah memikirkannya.
Anak Ibu hanya dua orang. Aku dan Mbak Dina. Bergantian menjaga ibu akhir-akhir ini. Mbak Dina hanya di akhir pekan saja, karena tidak bisa pamit di kantornya terus menerus. Selebihnya aku.
Beruntung Mas Gilang mengerti. Apa jadinya jika dia protes?Â
Bling!Â
Notasi ponselku berbunyi. Mas Gilang menelpon. Baru saja aku membatinnya. Umur panjang!
"Assalamu'alaikum Sinta, apa sih bumbunya sayur sop?" Tanya Mas Gilang di ujung sana. Aku tergelak. Suamiku memang ayah yang baik. Bahkan mau repot memasak untuk Dave dan Desy, anak kembar kami.Â
Merawat anak kembar memang merepotkan. Tapi kelelahan itu akan terbayarkan dengan hati yang senang melihat kelucuan mereka. Mas Gilang mau menggantikan posisiku sebagai ibunya.
Setelah memberi tutorial memasak sayur sop, aku memberi tutorial kegiatan sekolah untuk anak-anak secara daring. Selebihnya dibantu Marni pengasuh anak-anak yang datang pagi pulang sore.Â
Anak-anak sudah sedikit mandiri karena sudah beranjak besar. Mas Gilang harus berangkat kerja dan meninggalkan mereka bersama Marni.
Mas Gilang siap dengan pulpen dan kertas di ujung sana. Aku membayangkan Mas Gilang pasti kerepotan. Dia mencatat semuanya.Â
Biasanya aku yang melakukan semua pekerjaan rumah ini. Tetapi karena ibu sakit, agenda jadi berubah. Tak mengapa, toh, semua bisa diatur tanpa harus bingung.
"I love you, Sinta. Baik-baik di sana. Sungkem buat ibu. Besok aku jemput ya, kalau sudah ganti jadual sama Mbak Dina. Aku kangen."Â
Suara terkekeh Mas Gilang terdengar renyah. Iya, aku juga kangen padamu, Mas. Kataku dalam hati.
***
Kupandangi wajah Ibu ketika tidur. Lama sekali. Wajah lembut itu semakin cantik. Guratan-guratan keriput di sekitar mata dan pipinya, bahkan menambah anggun. Rambut yang memutih, membuat Ibu terlihat bijaksana.Â
Ibu menggeliat bangun. Mungkin tahu dan merasa ada yang memandanginya.Â
"Kamu sudah makan, Sinta? Sudah siang. Jangan sampai kamu menjadi sakit karena merawat Ibu."
"Sudah bu, tadi Sinta sudah makan. Ibu nggak usah memikirkan Sinta. Kan Sinta sudah dewasa."
"Bagi Ibu, kamu tetaplah menjadi anak gadis." Kata Ibu tersenyum.Â
"Gadis yang sudah memiliki Dave dan Desy, bu," jawabku tergelak. Ibu ikut tertawa lebar. Bahagia rasanya melihat ibu tertawa lepas. Tandanya ibu sudah membaik kesehatannya.Â
"Terimakasih kamu sudah merawat ibu," kata Ibu.
"Justru Sinta yang berterimakasih pada Ibu. Dulu Ibu merawat Sinta hingga sebesar ini. Maafkan kalau Sinta nakal, ya bu."
Kami saling berpelukan. Teringat dulu aku pernah membangkang Ibu ketika masih SMA. Aku ingin ikut kegiatan naik gunung, tetapi Ibu melarangnya. Aku marah dan mendiamkan Ibu berhari-hari karena akhirnya tidak jadi ikut naik gunung.
Benar saja. Sabda Ibu memang manjur. Kegiatan itu berakhir menyedihkan. Ada dua teman yang hilang dan tersesat. Sekolah jadi ramai dan ribut. Orang tua yang anaknya ikut kegiatan naik gunung menjadi cemas dan kalang kabut.Â
Aku bersyukur tidak jadi ikut dalam kegiatan itu. Setelah kejadian yang menegangkan seluruh sekolah, aku meminta maaf pada Ibu.Â
Ibu kemudian memberi banyak wejangan padaku. Memang pada waktu itu tidak begitu aku masukkan dalam hati, bahkan aku merasa sedikit jengkel.Â
Menurutku ibu sangat cerewet, tidak memahami aku sebagai anaknya, juga terlalu otoriter. Tetapi sekarang, wejangan itu semua benar. Apa yang dikatakan ibu adalah kebenaran yang bisa diterapkan dalam kehidupanku sekarang.Â
Lamunanku terhenti. Suara ribut dari depan rumah. Apakah ada tamu?
"Assalamualaikuuum..."
Suara ramai anak-anak kecil dari teras masuk rumah. Suara yang aku kenal dan kurindukan. Si kembar Dave dan Desy. Mereka berlarian menerobos ke kamar dan menuju Eyangnya, berebut minta salim. Lalu menuju aku dan memeluk manja.
"Bunda, aku kangen," kata mereka berbarengan.
"Bunda juga kangen kalian, sayang," kataku.
"Eyang juga kangen kalian," kata Ibu dari tempat tidur tidak mau kalah. Lalu anak-anak berlari ke Ibu dan memeluknya.Â
Memandang suasana yang seperti ini aku menjadi terharu. Betapa mereka adalah orang-orang yang aku sayangi. Bagiku mereka adalah pahlawan. Pahlawanku di masa lalu dan masa depan.Â
Tiba-tiba ada yang berbisik di dekat telingaku. Serius, ia membuatku terkaget!
"Kamu kangen aku juga nggak?" Bisiknya.Â
Mas Gilang. Membuat aku tersipu. Dia, adalah pahlawanku di masa sekarang.Â
Mataku berkaca-kaca. Ibu, Mas Gilang, anak-anak, apapun akan kukorbankan untuk kalian.Â
Semarang, 8 November 2021.
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H