Anak-anak sudah sedikit mandiri karena sudah beranjak besar. Mas Gilang harus berangkat kerja dan meninggalkan mereka bersama Marni.
Mas Gilang siap dengan pulpen dan kertas di ujung sana. Aku membayangkan Mas Gilang pasti kerepotan. Dia mencatat semuanya.Â
Biasanya aku yang melakukan semua pekerjaan rumah ini. Tetapi karena ibu sakit, agenda jadi berubah. Tak mengapa, toh, semua bisa diatur tanpa harus bingung.
"I love you, Sinta. Baik-baik di sana. Sungkem buat ibu. Besok aku jemput ya, kalau sudah ganti jadual sama Mbak Dina. Aku kangen."Â
Suara terkekeh Mas Gilang terdengar renyah. Iya, aku juga kangen padamu, Mas. Kataku dalam hati.
***
Kupandangi wajah Ibu ketika tidur. Lama sekali. Wajah lembut itu semakin cantik. Guratan-guratan keriput di sekitar mata dan pipinya, bahkan menambah anggun. Rambut yang memutih, membuat Ibu terlihat bijaksana.Â
Ibu menggeliat bangun. Mungkin tahu dan merasa ada yang memandanginya.Â
"Kamu sudah makan, Sinta? Sudah siang. Jangan sampai kamu menjadi sakit karena merawat Ibu."
"Sudah bu, tadi Sinta sudah makan. Ibu nggak usah memikirkan Sinta. Kan Sinta sudah dewasa."
"Bagi Ibu, kamu tetaplah menjadi anak gadis." Kata Ibu tersenyum.Â