Hobi memasak? Kenapa malu? Mungkin bagi sebagian orang, memasak itu hanya pekerjaan perempuan, nota bene ibu rumah tangga. Suatu hal yang biasa dan nggak penting dibahas. Tetapi sebenarnya memasak itu bagi sebagian orang lainnya, merupakan hal istimewa dan menjadi hobi.
Tidak hanya perempuan, bisa jadi memasak adalah hobi para pria. Bahkan kebanyakan chef terkenal adalah pria. Apalagi sekarang banyak kreativitas kuliner yang menyenangkan dan menarik, sehingga banyak yang ingin mencobanya. Misalnya resep baru yang sedang viral. Praktis tutorialnya, bahan-bahannya mudah dicari dan gampang cara bikinnya
Tentunya bangga dong, bisa memasak. Langsung hasilnya dibagi ke media sosial. "Eh, aku bisa masak, loh. Ternyata gampang, enak, dan aku jadi ketagihan nih pengin mencobanya lagi." Begitu kira-kira captionnya.
Ya, ya. Memasak itu ibarat membuat sebuah karya seni. Membutuhkan proses, menggali daya kreativitas, mengolah rasa, agar menghasilkan masakan yang wow dan sempurna. Bercita rasa sedap dan disukai orang lain. Alih-alih mendapat pujian. Bahagia, deh, puas rasanya. Nah, seperti membuat karya seni lainnya, bukan?
Seperti halnya melukis. Tersedia kanvas, kuas dan cat. Kanvas sebagai media, kuas dan cat sebagai prasarananya. Agar menjadi satu kesatuan dan sebuah karya, butuh seseorang untuk mengekspresikan ide di atasnya. Jadilah sebuah karya seni.Â
Mengekspresikan suatu daya seni dan kreasi yang dimiliki seseorang, bisa menjadi hobi yang bermanfaat, bahkan kadang bisa menjadi pekerjaan yang menghasilkan uang. Padahal, jika suatu pekerjaan itu sesuai dengan hobi dan passion, akan membuat kita enjoy dan bisa menikmatinya. Wah, menyenangkan!
Karya seni itu sendiri tidak berbatas. Setiap orang boleh mengekspresikan jiwa seninya selebar yang ia punya. Ia boleh mengekspresikan kemampuannya, tanpa harus terkungkung oleh batasan-batasan aturan yang membelenggu.
Dalam kegiatan memasak, bisa jadi seperti melukis. Layaknya membuat sebuah karya, tersedia resep dan bahan. Kita boleh mengekspresikan kemampuan dan ide-idenya. Kadangkala, tidak harus sesuai resep pakemnya. Kita boleh berekspresi sesuai keinginan.Â
Bahkan bisa membuat resep baru yang inovatif serta praktis dalam mengeksekusinya. Berharap bisa menghasilkan masakan yang lezat dan disukai.
Memang tidak semua resep bisa dirubah pakemnya. Misalnya resep warisan leluhur yang dibagikan keluarga secara turun menurun. Resep rahasia, yang hanya dibagikan untuk anak turunnya saja. Hal ini berkaitan dengan cita rasa yang tidak boleh berubah.Â
Paling banter sih, jika ingin merubahnya agar tampak lebih kekinian dan tidak ketinggalan zaman, bisa dengan merubah cara penyajiannya. Membuat masakan lebih cantik dalam sajiannya, bentuknya, kemasannya, agar kekinian dan menggugah selera.
Sedangkan untuk resep lainnya, kita boleh berkreasi. Menambah atau mengurangi bahan-bahannya dan bumbu sesuai dengan selera. Nggak ada larangan untuk itu.Â
Saya juga sering begitu. Mengganggap bahwa memasak itu adalah sebuah ekspresi seni yang saya miliki. Dari menyiapkan resep dan bahan, lalu mengerjakannya. Menyajikannya di meja makan, layaknya sebuah karya. Butuh ide dan kreativitas.
Biasanya, keinginan memasak karena pernah merasakan suatu masakan tertentu. Kemudian mengolahnya dalam pikiran saya. Oh, bumbunya kira-kira ini. Di lain hari, ketika keinginan memasak timbul, saya mempraktekkannya. Mencoba bereksperimen, menyerupai masakan yang saya inginkan tersebut.Â
Contohnya, suatu hari saya membeli mi rebus. Menurut saya, mi tersebut enak. Lalu saya mencobanya, dengan bahan dan bumbu seperti yang saya bayangkan. Done! Taraaa... berhasil! Aduh, hati saya bahagia. Seperti menemukan harta karun!
Apalagi ketika masakan itu disukai keluarga. Mereka bilang, "Wah, masakan bunda kayak mi rebus yang beli di sana. Bahkan lebih enakan mi buatan Bunda." Nah, gimana coba perasaanmu? Bahagia, kan?
Saya juga senang bereksperimen ketika menyajikan masakan. Menatanya dalam wadah saji yang cantik, agar tampil menarik dan menggugah selera, sehingga masakan itu laris manis.
Kemudian menghiasi masakan dengan garnis menarik. Meskipun tidak secantik tampilan sajian dari chef terkenal, tetapi ketika menatap hasil karya sendiri, rasanya berbeda. Ada kepuasan tersendiri.Â
Lalu memotretnya. Cekrik... cekrik... padahal masakan itu sudah ditunggu perut yang lapar alias anak-anak. Hahaha... Tetapi sih, mereka sudah hafal. Jika Bunda masak, ketika masakan itu siap saji, pasti bertanya, "Bun, sudah difoto? Sudah boleh dimakan, belum?"
Seperti ketika saya membagi resep di Kompasiana, bagian penting yang saya lakukan selain memasak adalah pemotretan. Saya lebih senang apabila foto itu dari dokumentasi sendiri. Ada kepuasan, ketika memasak, memotret, dan masakan itu tampil cantik, adalah hasil karya saya sendiri. Kebetulan juga, saya hobi memotret masakan. Mau makan, potret dulu! Hahaha... klop deh.
Salam hangat,
Semarang, 27 Mei 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H