Dear (calon) Mertua, etapi sekarang sudah menjadi mertua loh. Jadi ya My dear Mertua. Iya, dulu saya mengenal suami ketika masih sekolah. Memang sih, dulu ketika bersekolah belum menjadi pacar atau kekasih. Tetapi memang dia adalah sahabat saya.Â
Nggak tahu kenapa, memang klik dari dulu. Ia senang melukis, saya senang menulis. Bahkan sebelum jadi kekasihpun sudah bercita-cita membuat buku komik. Ia yang membuat sketsa, saya yang membuat ceritanya. Cita-citanya begitu. Tetapi itu dulu. Sekarang sudah menjadi beribu-ribu sketsa dan tulisan meskipun tak harus terwujud dalam buku. Uhuks.
Dalam perjalanan hidup kami berdua, sketsa itu berwujud dalam berbagai macam cerita, baik yang senang atau sedih. Terangkum dalam sebuah biduk rumah, yang ternaungi oleh cinta. Cieee... Iya serius, jika tidak ada cinta dan kasih sayang, tak akan tercipta sketsa dan cerita indah yang mengalir.
Bisa dikatakan mengalir, karena kami berdua sama-sama menyenangi kehidupan yang mengalir. Arah jalan kemana yang harus dituju dan memang menjadi jalan untuk kami, itulah yang kami jalani. Tidak harus menjadi orang lain atau berpura-pura jika sedang bersama.Â
Eit, tidak semudah itu. Ada prosesnya loh. Panjang pula. Butuh waktu untuk menjadi bisa saling mengerti. Itupun belum sempurna saling mengerti seratus persen dan tak akan sempurna karena memang taksama. Kami kan beda kepala, jadi beda pula pemikiran. Hanya saja berusaha untuk mempersempit perbedaan. Dua manusia yang berusaha untuk saling menyamai, begitulah kira-kira.
Contohnya dalam hal-hal sepele, penting banget untuk bisa saling mengerti. Memang kehidupan berumah tangga itu, hidup bersama yang sehari-hari ketemu. Menjalani segala hal, juga harus bersama. Awalnya butuh penyesuaian, agar bisa berjalan beriringan. Jika tidak, bakalan menjadi ribut dan banyak tidak sesuainya. Kan nggak enak hidup seperti itu. Tidak nyaman.
Misalnya, saya kalau berjalan amat pelan, sedang suami jalannya cepat. Akhirnya karena saling menyesuaikan, maka jika melangkah, ada yang berusaha mempercepat langkah, ada pula yang mengerem agar tidak mendahului. Begitu saja, simpel dan nggak ribet.
Nah, itu penyesuaian dengan pasangan kekasih. Lalu bagaimana penyesuaian saya dengan orang yang dicintai oleh pasangan sebelum saya? Cinta pertama kekasih saya alias ibunda mertua tercinta? Butuh penyesuaian juga loh ternyata.
Ibu mertua adalah seorang pendidik atau guru. Sebenarnya tidak sulit bagi saya untuk menyesuaikan diri, karena ibu saya juga seorang pendidik.Tetapi memang berbeda, karena apabila ibu saya, bertemu sejak saya masih bayi bahkan sejak dalam kandungan. Sedang ibu mertua bertemu ketika sudah memasuki masa dewasa dan menikah. Butuh penyesuaian.
Apalagi dalam hal komunikasi. Sebagai orang Jawa, berbicara dengan orangtua harus sopan dan memakai unggah-ungguh. Misalnya memakai bahasa Jawa krama inggil atau krama halus.Â
Sedangkan saya jika berbicara dengan orangtua sendiri, memakai bahasa ngoko sehari-hari. Hanya memang untuk bahasa yang lebih menghormati orangtua seperti "makan" memakai "dahar", "tidur" dengan "sare" tetap saya pakai.Â
Berbeda dengan ketika berbicara dengan calon mertua pada saat itu. Harus memakai bahasa krama halus. Saya sampai butuh belajar loh untuk itu. Ya, ya. Saya memang mengerti dan tahu tentang bahasa krama halus. Di sekolah diajarkan. Tetapi untuk berkomunikasi dan ngobrol, harus dilancarkan dulu dan butuh berpikir. Karena kan jarang menggunakannya. Hahaha...Â
Alhamdulillah, lancar. Bisa dan membiasakan, akhirnya lancar berbahasa krama halus. Ada hikmahnya. Saya jadi lebih pintar berbahasa krama halus dari sebelumnya. Komunikasi dengan calon mertua pada saat itu menjadi lancar. Meskipun untuk masa sekarang kadang memakai bahasa Indonesia ketika sulit menemukan padanan kata untuk bahasa Jawa krama halus. Karena sudah saling mengenal, tidak lagi menjadi masalah. Hehehe...
Beda lagi ketika sudah menikah. Awal menikah, untuk mengetahui hal sehari-hari dan kebiasaan suami adalah melalui ibunda mertua. Beruntung ibu mertua mau mengajari saya bagaimana menghadapi suami di awal pernikahan. Apa makanan kesukaannya dan hal-hal lainnya, sehingga ketika saya dan suami hidup mandiri jauh dari orang tua, saya bisa lebih mengerti dan beradaptasi. Saya jadi tahu bagaimana menghadapi suami. Tidak kagok lagi.
Sekarang kami menjadi generasi sandwich. Dengan berbagai masalah yang ada dan telah dihadapi selama ini, kami berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Kami berusaha bisa menjalaninya dengan hati yang lapang. Intinya sih ada skala prioritas yang harus didahulukan dan ada hal yang dikorbankan dengan kesepakatan. Dicari solusi yang baik bagi semua. Daaan... itu tidak gampang, ya. Kami masih butuh belajar dan belajar lagi.Â
Meskipun sudah menjadi menantu kesayangan, masih tetap membutuhkan penyesuaian. Apalagi ketika usia semakin bertambah, ibunda mertua semakin sepuh, menghadapinya juga harus menyesuaikan umur, situasi, dan kondisinya sekarang. Sudah berbeda dengan dahulu.
Jika ingin menyayangi anaknya, maka raihlah hati ibunya terlebih dahulu. Hidup akan bahagia. Tiiing...!
Di masa sekarang, ketika zaman sudah berubah. Sudah masanya mendekati pergantian generasi. Mungkin pada masanya, saya juga akan mengalami hal yang sama apa yang dialami ibunda mertua. Anak saya akan mengalami hal yang sama dengan saya di masa awal dewasa. Berputaran. Bergantian. Seperti layaknya kehidupan yang harus ditempuh oleh setiap manusia pada umumnya. Berputaran, menyesuaikan zaman.
Semarang, 19 Maret 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H