Pernah suatu hari, ketika anak-anak kita masih kecil. Seperti biasa, jiwa seorang ibu yang lebih merasa cemas. Hujan deras di luar. Kamu mengizinkan mereka bermain hujan-hujan. Bahkan kamu juga ikutan bermain dengan mereka. Aduh, jiwa cemas ini membuatku was-was. Bagaimana jika mereka sakit?
Dengan enak kamu menjawab, "Santai Bun, anak-anak kadang butuh dilatih mentalnya. Agar kuat di kelak kemudian hari. Dengan bermain hujan-hujanan, mereka akan lebih mengenal alam. Tidak hanya berdiam diri di dalam rumah. Dengan begitu, mereka akan lebih mampu menghadapi dunia luar. Survive. Jangan sering dilarang. Agar mereka tidak menjadi penakut!"Â
Baiklah. Aku yang lebih pencemas, patuh dan menerima dengan cara mengasuhmu yang lebih ngerock. Asal tidak tiap hari dan hanya sesekali, ya.
Melatih mereka berenang, belajar sepeda, belajar motor, menyetir, bertukang, adalah caramu membekali mereka keberanian. Mengajak mereka mengenal alam, ke sawah, ke hutan kota, ke gunung, ke laut berburu kulit kerang, memancing, dan banyak hal. Kamu lebih ahlinya, sedangkan aku tidak.
3. Pinter Bikin Nasi Goreng dengan Bumbu Ajaibmu
Ketika kamu mulai meracik bumbu ajaib membuat nasi goreng, maka aku butuh menyingkir. Tak ada nasi goreng seenak buatanmu. Piring-piring yang tadinya terisi penuh nasi goreng buatanmu, sebentar kemudian akan ludes tak bersisa.
Entah apa rahasianya? Padahal kamu tak pernah menyimpan rahasianya. Sreeeng, dhok, sreeeng! Nasi tersaji. Sedap tiada tara.Â
Pernah aku meniru sesuai resepmu. Tetapi tetap saja berbeda rasa. Buatanku akan lebih soft hasilnya. Sedangkan buatanmu lebih strong dan mantap. Aku menyerah kalah. Nasi goreng ala Ayah, tetap menjadi ciri khasmu yang sulit ditiru.
4. Jika Aku sedang Galak Pada Anak-anak, Kamu adalah Penengahnya.
Ketika mendampingi anak-anak belajar memang harus sabar dan berjiwa lebar. Tak boleh marah, harus lemah lembut. Tetapi suatu saat ketika sedang capek mengurus macam-macam, kesabaran seolah berbatas.
Sedikit tersentuh hal yang tidak menyenangkan bisa menyulut kemarahan. Daripada marah-marah, lebih baik diam saja. Kamu sebisa mungkin menjadi penengahnya, membuat suasana menjadi lumer kembali. Dengan sedikit candaan, marah akan berakhir. Anak-anak kembali belajar dengan tenang.