Kota Pati adalah tempat di mana saya dilahirkan. Masa kecil hingga sekolah menengah atas, tinggal di sini. Kemudian melanjutkan studi dan berumah tangga berpindah ke Semarang. Kadangkala ketika saya sedang berkunjung untuk menengok pusara orangtua dan orangtua mertua di Pati, putaran ingatan seperti kembali, lalu terpental jauh ke tahun yang telah berlalu.
Hari itu siang tak begitu terik. Agaknya mendung sejak pagi menggelayut manja di langit. Suasana sendu suram abu-abu. Sebenarnya tidak begitu sendu. Hanya saja jika mendung, saya selalu teringat suasana masa lalu. Apalagi didukung sepi, karena bukan jam sibuk di jalan.Â
Saya sedang mengantar orangtua (mertua) untuk mengantre dokter, kontrol rutin tiap bulan. Lokasi di sekitar pusat kota. Tak banyak yang antre. Hanya tiga pasien. Karena sudah langganan, pagi telepon terlebih dahulu, kemudian ditentukan jamnya.Â
Dokter datang hanya sebentar untuk pasien, kemudian pergi meninggalkan tempat prakteknya setelah selesai. Dengan berpakaian sesuai prokes, memakai masker, juga tempat praktek yang dihalangi media plastik lebar sewaktu konsultasi.Â
Suasana sepi saat pulang ke rumah. Hem. Sepi itulah yang membuat kenangan melesat pada suasana masa lalu. Tanpa bising kendaraan yang berlalu lalang. Nyatanya itu membuat saya sedikit rileks.
Saya mengerjapkan mata. Dahulu teringat, jauh sebelum masa sekarang. Pada saat sepi, alunan suara orang sedang mengaji dari masjid seberang masih bisa terdengar merdu. Samar-samar suara itu mendayu membuat hati tentram. Jika bising, mana bisa terdengar?
Sepi kota yang nyaris tak berubah pada siang hari, membuat saya selalu merindukan kota ini. Memang sih, tempat-tempat tertentu ramai dan berubah. Semakin banyak tempat kuliner yang bermunculan. Kreativitas bidang kuliner tidak melulu pada makanan klasik, tetapi juga kekinian. Jika malam hari, lampu-lampu dari tempat kuliner berpendar menarik hati. Ramai dan berisik.
Tetapi yang saya rasakan siang itu, dengan suasana mendung dan awan kelabu yang menggelayut di langit, sedikit membebaskan diri saya dari suasana sehari-hari. Lepas dan rileks. Saya seperti anak kecil di masa lalu di tempat yang sama. Tanpa beban hidup. Hanya riang yang dirasa.
Karena hujan yang tak berhenti juga, saya nekat menerobos hujan untuk pulang. Saya lebih takut pada marahnya orangtua karena bermain yang terlalu lama, daripada terkena air hujan yang deras.Â
Tahukah? Ketika sampai rumah, tetap terkena marah karena sengaja kehujanan. "Kalau kamu sakit, bagaimana?" tanya mereka. Nah, kan? Serba bingung. Tetapi untungnya saya tidak sakit. Hahaha...
Nah, pernahkah merasakan kembali suasana masa kecil yang tiba-tiba datang di masa sekarang? Kerinduan akan suasana masa lalu menyeruak. Atau apakah jika ingin merasakan suasana itu kembali, harus sering mengunjungi kota kelahiran di masa kecil bertumbuh menjadi dewasa bagi perantau?
Suasana lebih sepi dari biasanya, membebaskan diri dari kebisingan. Tanpa lalu lalang kendaraan. Bagai menapaki sebuah jalan tanpa halangan. Terasa lebih cepat sampai ke tujuan dengan nyaman.Â
Saya merasa jauh lebih rileks.Â
Semarang, 19 Oktober 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H