Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kupat Tahu Magelang dengan Cita Rasa Legendaris

7 Oktober 2020   21:59 Diperbarui: 8 Oktober 2020   20:54 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu penjual memakai masker saat meracik pesanan makanan. (Foto: Wahyu Sapta).

Kemarin saya ke Yogyakarta karena ada suatu keperluan. Mengantar Ayah mertua ke RS Mata dr. Yap untuk kontrol. Sebelum pandemi, memang biasa kontrol paling tidak satu sampai tiga bulan sekali. Setelah ada pandemi, hampir sembilan bulan tidak kontrol lagi. Nah, karena ada keluhan tidak nyaman, maka terpaksa harus kontrol. 

Pagi sekali dari rumah kami berangkat. Kurang lebih tiga jam perjalanan dari Semarang ke Yogyakarta. Sesampai di RS dr. Yap, pasien dan pengantar di ukur suhu oleh petugas. 

Setelah aman, maka kami diberi stiker yang ditempel di lengan atas sebagai tanda lolos sensor alias suhu aman. Tentu saja dengan aturan prokes, seperti memakai masker, mencuci tangan terlebih dahulu, juga menjaga jarak. Di sana juga tersedia handsanitizer yang bisa dipakai oleh pengunjung.

Setelah diukur suhu oleh petugas, diberi stiker sebagai tanda. (Foto: Wahyu Sapta).
Setelah diukur suhu oleh petugas, diberi stiker sebagai tanda. (Foto: Wahyu Sapta).
Memang RS tidak seramai saat sebelum pandemi. Tetapi saya malah merasa aman, karena dipastikan tidak terlalu berdekatan dengan pengunjung lainnya. Apalagi tempat duduk untuk menunggu diberi jarak dua kursi antar pengunjung. Dipastikan aman. Juga tenaga kesehatan yang memakai baju sesuai dengan prokes.

Bersyukur, karena telah mendaftar secara online terlebih dahulu dan pasien yang tidak terlalu banyak, maka proses periksa mata bisa selesai cepat. Kami bisa pulang cepat tanpa mengantre banyak. Apalagi setelah diperiksa, Bapak tidak ada kondisi yang patut dicemaskan. Hanya diberi obat tetes mata yang harus rutin diberikan, karena dulu pernah operasi laser. 

Saatnya pulang kembali ke Semarang. Dalam perjalanan, ketika melewati kota Magelang, bertepatan jam makan siang. Karena pagi sekali berangkat dari rumah dan buru-buru, maka tidak sempat membawa bekal. Lalu saya bertanya pada Bapak, ingin makan apa? Beliau ingin makan kupat tahu.

Ya, kupat tahu memang merupakan kuliner legendaris. Makanan ini adalah salah satu klangenan atau makanan yang dikangeni saat berkunjung di kota Magelang, sudah lama ada.

Ada beberapa warung kupat tahu yang ada di Magelang. Kami memilih yang berada di Jalan Tentara Pelajar. Di sana juga ada beberapa warung kupat tahu yang legendaris. Bahkan beberapa petinggi negara menggemari. Kupat Tahu Pojok dan Kupat Tahu Pak Slamet. Pilihan kami jatuh pada Warung Pak Slamet sesuai keinginan Bapak.

Warung di siang terik ini sudah melebihi sedikit jam makan siang ketika sampai. Syukurlah, antrean tidak terlalu banyak, karena sudah lapar dan tidak sabar jika menunggu lama. 

Saat memasuki warung, penjual memakai masker sesuai dengan prokes. Ada tempat cuci tangan di depan warung. Saya salut, di masa pandemi ini, warung tetap sesuai prokes yang dianjurkan. Saya memang lebih banyak cemasnya ketika mampir pada suatu tempat. 

Ibu penjual memakai masker saat meracik pesanan makanan. (Foto: Wahyu Sapta).
Ibu penjual memakai masker saat meracik pesanan makanan. (Foto: Wahyu Sapta).
Kami kemudian memesan tiga porsi, makan di tempat. 

Proses peracikan sepiring kupat tahu tidak memerlukan waktu lama. Hanya beberapa menit sudah bisa tersaji. Bahan baku telah ada di ruang sajian. Tahu setengah matang tersedia di penggorengan, tinggal mengangkatnya saat ada pembeli. Ketupat atau kupat digantung, kemudian diambil satu persatu untuk disajikan di piring.

Di meja saji, terdapat wadah-wadah panci berjajar rapi. Bumbu yang sudah jadi, sayur untuk sajian berupa kecambah yang sudah di jerang air panas. Lalu irisan halus kol dan seledri rajang. 

Piring-piring juga sendok tertata rapi untuk mempercepat penyajian. Juga pembungkus untuk pemesan take away. Jadi mempermudah ibu penjual untuk meraciknya.

Semua bahan telah siap di meja saji untuk mempercepat peracikan kupat tahu, sehingga tak membutuhkan waktu lama telah siap tersaji. (Foto: Wahyu Sapta).
Semua bahan telah siap di meja saji untuk mempercepat peracikan kupat tahu, sehingga tak membutuhkan waktu lama telah siap tersaji. (Foto: Wahyu Sapta).
Akhirnya pesanan sudah jadi. Kupat tahu siap dinikmati. Aduhai... Wah, seporsi kupat tahu terlihat banyak. Saya berpikir, nih nanti bakalan habis nggak ya?

Dalam sepiring kupat tahu, terdiri dari irisan satu kupat, satu tahu yang digoreng setengah matang, gorengan tempe mendoan, sayur kol mentah iris halus, kecambah matang, serta toping irisan seledri dan bawang goreng. Kemudian disiram dengan kuah bumbu yang berwarna coklat. Wow, ini berbeda dengan lontong tahu dari kota lain. Bumbu kupat tahu Magelang memiliki cita rasa khas.

Kuah bumbunya cenderung cair bukan bumbu kacang pekat seperti pada tahu gimbal Semarangan. Dari tastenya, bahan yang diracik terdiri dari air, gula merah, asam jawa, sedikit kencur, bawang putih, kacang tanah yang tidak dominan. Jika kupat tahu biasanya dominan bumbu kacang, yang ini tidak. Kacang hanya sebagai perasa. 

Sedangkan untuk rasa, ada asin manis, sedikit asam, cenderung agak manis dari gula merah. Magelang memang menyukai makanan manis. Lalu ketika berpadu dengan bahan lainnya, terasa segar. Petjah! Sayur kol dan kecambah masih segar krenyes. Tampaknya selalu baru. Jadi selalu segar. 

Eh, tak terasa nih, suap demi suap, kupat tahu masuk dalam perut dan habis juga. Ketika tadi saya berpikir bakalan tidak habis, ternyataaa... muat juga di perut. Efek lapar atau memang sedap, sih? Lapar iya, sedap juga iya. Apalagi saat makan ditemani krupuk emping melinjo kesukaan saya. Duh, tandas nih satu piring. Oya, bisa minta tambahan telur jika suka loh.

Kupat Tahu Magelang segar dengan sayur yang masih krenyes dan segar, apalagi ditemani dengan emping melinjo. Sedap. (Foto: Wahyu Sapta).
Kupat Tahu Magelang segar dengan sayur yang masih krenyes dan segar, apalagi ditemani dengan emping melinjo. Sedap. (Foto: Wahyu Sapta).
Satu porsinya murmer. Hanya tigabelas ribu. Emping melinjo empat ribu. Teh manis tiga ribu. Jadi, hanya duapuluh ribu bisa kenyang maksimal. So, jika kebetulan ke Magelang, coba mampir merasakan kupat tahu khas kota ini, ya. Cocok untuk vegetarian.

Setelah kenyang, kami akan melanjutkan perjalanan kembali. Tetapi Bapak meminta dibungkuskan untuk oleh-oleh ibu di rumah. Oh, so sweet. Kata beliau, ini makanan kesukaan ibu. Baiklah, saya memesan tiga take away.

Saatnya pulang. Alhamdulillah kenyang dan tertuntaskan rasa kuliner saya.

Salam,
Wahyu Sapta.
Semarang, 7 Oktober 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun