Saya bertanya, apa masih berani naik pohon yang tinggi untuk mengambil air legen? Ia menjawab, memang itu keahliannya dari sejak muda sampai sekarang. Karena ia tidak pandai melaut. Jadi ia memilih profesi sebagai penyadap. Memang lokasi tempat es legen ini dekat dengan laut. Jadi banyak nelayan juga.
"O, begitu ya pak. Jadi ini asli dari pohonnya ya." Ia mengiyakan dengan cepat.
"Asli bu, wong saya yang mengambilnya sendiri," katanya.
Iya deh pak. Kami percaya. Dari rasanya juga percaya ini asli legen.Â
Tak puas hanya minum di sana, kami lalu memesan satu botol besar legen untuk di bawa pulang. Bisa untuk oleh-oleh yang di rumah. Ketika sampai, harus langsung dikonsumsi agar tak menjadi tuak.
Tetapi saya penasaran dengan minuman yang berwarna coklat di wadah botol minuman mineral.
"Ini apa, bu?" tanya saya.
"Itu gula merah cair. Dari legen juga, yang dimasak lama hingga berwarna kecoklatan. Rasanya tentu manis seperti gula merah biasa. Nanti diseduh memakai air," jawabnya.Â
"Dijual juga?"
"Dijual lah bu. Harganya lima belas ribu satu botolnya." jawab Bu Karsih.
"Saya ambil tiga, ya," kata saya.
Harganya murah meriah. Es Legen satu gelas hanya tiga ribu rupiah saja. Sedangkan legen yang dibawa pulang seukuran botol besar air mineral dibandrol sepuluh ribu rupiah. Mantap deh. Saya ikut bahagia juga dong.
Kami kemudian pamit dan membawa tentengan oleh-oleh buat yang di rumah. Saya bilang ke Bu Karsih kapan-kapan saya akan mampir kembali.
Saatnya pulang. Membawa bahagia yang beruntun. Pengalaman yang berharga, bertemu dengan orang-orang meski dengan jaga jarak, dan jiwa menjadi segar kembali. Kebahagiaan kami menular. Orangtua kami bahagia.Â
Membahagiakan orangtua, berarti juga membahagiakan diri sendiri, bukan? Bagai efek domino, bahagia itu menyebar dan beruntun. Juga bisa menjadi ladang amal kelak. InsyaAllah.