Ada yang berbeda di bulan ramadan tahun ini. Entah kenapa, saya merasa hari menjadi lebih lambat. Ada sesuatu yang diharap, tetapi tak bisa kesampaian. Menunggu sesuatu, tapi ia terasa masih jauh. Angan melebar, hanya bisa mengendapkannya di lubuk hati.Â
Aku rindu pada kehidupan normal kembali. Dimana senyum riang lepas tanpa penutup masker. Hari-hari tak harus cemas ketika bertemu dengan orang lain. Rasa curiga datang, padahal pernah kenal dan sering berbincang.Â
"Eh, kamu bawa penyakit, nggak?" tanya dalam hati. Sungguh, ini adalah sebuah prasangka yang datang demikian berat dan menurutku jahat karena kecemasan yang tinggi. Pada hari normal, mana ada rasa curiga yang berlebihan seperti ini?Â
Terlalu berlebihan dengan memperlakukan tangan memberinya hand sanitizer. Tangan menjadi lebih kaku dan sedikit terkelupas kulit arinya. Lama-lama aku bisa kehilangan sidik jari kalau begini, batinku.Â
Lalu lebih boros pada sabun dan air, sedikit-sedikit cuci tangan. Padahal baru saja mencucinya, masih bersih.Â
Situasi ini datang sejak pandemi merebak. Maret hingga sekarang, memasuki bulan suci ramadan. Mengharap ketika bulan puasa pandemi pergi, ternyata masih jauh dari angan.Â
Sedih ketika Masjid Belum Boleh DikunjungiÂ
Rindu, akan kebiasaan dan keriuhan masyarakat menyambut ramadan suci tiba. Masjid, dimana pada saat ramadan tiba, keceriaan datang menyambutnya.Â
Mengikuti terawih, bertemu dengan kawan muslimin untuk beribadah bersama sebagai rangkaian yang indah di bulan suci ini, di masjid dekat rumah.Â
Bersalam-salaman, pandangan bahagia karena bisa bertemu dengan mereka. Wajah bersih tersapu air wudlu. Rona-rona keikhlasan dalam beribadah demi mendapatkan pahala yang berlipat ganda pada saat bulan suci ramadan dari Allah Azza Wa Jalla. Bisa didapat pada saat bertemu mereka di dalam masjid.Â
Juga kerinduan pada celoteh keceriaan anak-anak menyambut ramadan suci, mengikuti pesantren ramadan. Suara mereka terdengar bagai nyanyian semesta yang indah ketika belajar mengaji.Â
Suara polos dan ceria, kadang mendatangkan senyum yang dikulum. Bahagia mendengarnya. Kini tak ada.Â
Masjid dibuka kembali menunggu pandemi berlalu, katanya. Sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan. Sedih? Tentu saja. Ini adalah masa tersulit ketika ramadan datang, yang dirasakan banyak orang.Â
Sekarang, dunia serasa pasif. Ketika senyum tak kelihatan meski sedang senyum. Tertutup masker meski masker terbaik sekalipun. Keindahan senyum menjadi tersembunyi.Â
Jaga jarak memperluas ruang rindu. Rindu tak bisa bertemu keluarga, eyang, orang tua, pakde, bude, paklik, bulik, keponakan, saudara, teman, kerabat. PSBB mempersempit ruang gerak, tak bisa kemana-mana.Â
Rindu berterbangan, menunggu masa pandemi berlalu. Sungguh, ternyata rindu itu berat.Â
Butuh penyesuaian, untuk bisa terbiasa dan menerima keadaan. Â Â
Semoga pandemi cepat berlalu. Aku rindu pada kehidupan normal sebelumnya. Agar bisa menjalani hidup dengan tak cemas. Kembali berperilaku normal seperti saat sebelum pandemi.Â
Kerinduan akan riuhnya saat ramadan datang, akan terwujud kembali. Beribadah nyaman, masjid terisi kembali.Â
Aamiin...Â
Semarang, 5 Mei 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H