Ramadan tiba, ramadan tiba, marhaban ya ramadan...
Sepenggal lirik lagu, yang saya dengar, terdengar merdu dan syahdu di telinga. Tetapi ada yang berbeda dari tahun sebelumnya, saat ramadan datang di tahun 2020 ini. Saya merasa bahwa pengalaman saya menjadi lebih kaya dan bertumpuk.
Pengalaman yang belum pernah saya alami, hampir sama pada setiap orang. Datangnya juga bersamaan, menghampiri seluruh makhluk bumi di seluruh dunia. Iya seluruh dunia!
Datang ketika sebelum ramadan hingga sekarang saat ramadan tiba.
Pandemi Covid-19 memang sudah memporak-porandakan kehidupan manusia di alam semesta ini. Bagaimana kecemasannya, ketakutannya, derita, kesakitan. Sepertinya saya melihat, krisis ini belum akan tampak ujung akhirnya.
Pengalaman mendunia ini, bahkan menyentuh hingga ke seluruh pelosok negeri. Orang nyaris tidak bisa menghindar. Bahkan setiap orang sekarang pasti mengerti dan tahu, bahwa dunia tengah dilanda pandemi dan berbahaya.
Pengalaman ini Bisa Menjadi Sekolah Kehidupan
Dalam sebuah sekolah, pasti ada sebuah mata pelajaran yang harus dipelajari, agar kita menjadi lebih pandai. Suatu saat, kita juga pasti akan menghadapi ujian di mata pelajaran tersebut, untuk meraih nilai maksimal agar naik kelas.
Pengalaman kita di masa pandemi ini, bisa menjadi sebuah mata pelajaran baru di sekolah kehidupan. Kita bisa mengolahnya menjadi materi yang patut dipelajari lebih dalam, karena merupakan mata pelajaran baru yang sebelumnya tidak ada.
Tentu saja awalnya timbul syok, tingkat kesulitan yang besar, dimana kita menjadi lebih cemas, bahkan bisa jadi keterlaluan dalam menanggapinya. Apalagi ketika berseliweran berita-berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dari tangan yang tidak bertanggung jawab pula.
Lama-lama, setelah kita belajar dan mau tahu, kemudian beradaptasi, maka kita akan menjadi lebih mengenal dan mengerti, apa itu pandemi Covid-19. Bagaimana cara menanganinya, tindakan yang harus diperbuat, sehingga kita bisa menghindar dari penyakit yang berbahaya bagi manusia didunia.
Jika kita sudah belajar, mau tahu, dan beradaptasi, maka tingkat kecemasan akhirnya akan menurun. Kita bisa berpikir lebih jernih, memakai logika, tidak emosi, dan lebih tenang. Akhirnya akan menimbulkan pergeseran perilaku yang lebih baik dari sebelumnya.
Misalnya, menjadi lebih sering mencuci tangan untuk menjaga kebersihan. Peduli juga pada kesehatan diri dan lingkungan, menjaga tubuh dengan meminum vitamin dan olah raga, agar tidak tertular penyakit ini. Menjaga jarak untuk mempersempit penularan. Juga memakai masker di setiap kegiatan yang dijalani.
Jika dahulu tidak peduli pada sekitar, bahkan sampai ada yang menolak korban pandemi karena tingkat kecemasan yang tinggi, maka sekarang lambat laun mulai melunak. Mereka sekarang lebih peduli. Tidak ada penolakan lagi.
Perasaan yang timbul dari rasa empati terhadap korban pandemi tersebut, menjadikan kita menjadi lebih lembut. Bantuan kepada sesama mulai mengalir.
Jika bisa dan mampu, maka akan dengan sukarela merogoh kocek membagikan sebagian hartanya untuk membantu orang sekitar yang tidak mampu.
Ya, seperti kita ketahui bahwa efek dari pandemi ini bukan saja melulu pada kesehatan, tetapi juga segi ekonomi. Karena mau tidak mau, seperti kita ketahui bersama, efek pandemi merembet ke segala sektor. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan, berkurang pendapatannya, merugi.
Membagi rezeki kepada yang kurang mampu menjadi agenda yang ditambahkan dalam kehidupan. Atau jika dahulu hanya sedikit dalam membagikan hartanya, sekarang lebih banyak, karena adanya rasa empati yang timbul di tengah masa pandemi.
Saya yakin, setiap orang pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang memiliki tingkat kebaikan yang lebih dominan. Ada rasa iba dan sayang pada sesama.
Tentu saja ada nilai positif dan negatif yang bisa dibaca dari pelajaran kehidupan. Tinggal bagaimana kita mencernanya, agar tak berdampak buruk. Yang positif kita serap, yang negatif diolah agar tak merugikan.
Pengalaman-pengalaman di tengah masa pandemi, menjadikan kita lebih pandai, lebih kuat, sehingga bisa menjadi bekal dalam berkehidupan.
Ramadan 2020 dan Secercah Harapan
Dengan datangnya bulan suci ramadan 2020, diharapkan kita mampu menjadi manusia yang lebih baik dari hari sebelumnya.
Ramadan adalah suatu kesempatan untuk membersihkan diri dari perilaku buruk. Bulan di mana kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Jangan sampai suatu pandemi menjadikan kita lupa untuk berbuat baik.
Bahkan di bulan suci ramadan di tengah pandemi, merupakan ujian yang lebih berat dari tahun sebelumnya. Kita akan menjadi lebih banyak belajar, agar lulus dalam ujian. Selama sebulan penuh berpuasa, menahan hawa nafsu, makan dan minum, menjadikan kita manusia baru yang lebih fitri.
Ditambah lagi pengalaman menghadapi masa pandemi, menjadikan kita bisa menjadi manusia yang memiliki nilai ibadah dan amalan yang lebih baik, sebagai bekal kelak menghadap Dzat Yang Maha Kuasa, Allah Azza Wa Jalla di alam keabadian.
"Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan bila kamu berbuat buruk, maka keburukan itu akan berpulang bagi diri kamu sendiri...." (QS Al-Isr[17]:7)
Akhirnya, ramadan di tahun ini, bisa menjadi secercah harapan menjadi manusia baru yang lebih baik dan istiqomah.
Saya selalu panjatkan doa dan bermohon kepada-Nya: Ya Allah, jadikanlah kami sebagai kekasih-kekasih-Mu ya Allah, yang mau menyabarkan diri ketika memiliki kesulitan dan keinginan, dan mampu menghadapi kesulitan dalam hidup, termasuk ketika badai pandemi sedang berlangsung saat ini. Semoga pandemi Covid1-19 cepat berlalu dan kondisi normal kembali seperti semula. Aamiin...
Semarang, 27 April 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI