Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Leya Cattleya dan EMPU Pameran Kain dan Serat Pewarna Alam

7 Januari 2020   07:37 Diperbarui: 7 Januari 2020   09:01 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbak Kiki Chandrakirana dari Sekar Kawung. Sungguh saya kagum pada beliau. Perjuangannya yang konsisten terhadap kain tenun. Salut. (Foto: dokpri).

Banyak tamu yang diundang, yang juga dari kalangan eksklusif pula. Padahal saya hanya berbekal nekat. Karena saya tidak memiliki pengetahuan apapun tentang kain dan serat dari pewarnaan alam.

Pengalaman pertama menjadi peraga busana. Di acara ini saya merasa lebih pede. Bahagia karena bisa bertemu dengan para perempuan inspiratif. (Foto: dokpri).
Pengalaman pertama menjadi peraga busana. Di acara ini saya merasa lebih pede. Bahagia karena bisa bertemu dengan para perempuan inspiratif. (Foto: dokpri).
Mbak Leya bahkan meminta saya bersedia untuk memperagakan beberapa kain yang akan dipamerkan. Hah? Seriusan ini? Tahu kan? Untuk menjadi peraga busana dan kain di tempat pameran pasti harus tinggi, langsing, dan cantik? Lalu saya? Oh, tidak. Lagi-lagi dia merayu saya agar bersedia. Yah, baiklah. Rayuan mautnya meluluhkanku. Padahal, serius saya tidak pede. 

Lalu ketika tiba di sana, ternyata peserta dalam peragaan busana tidak seseram yang saya bayangkan. Bahkan saya merasakan tersanjung karena bisa berkumpul dengan mereka. Orang-orang keren ada di sana. Menambah pengalaman saya. Dan yang jelas, saya merasa lebih pede. 

Mbak Leya juga mengajak teman kompasianer lainnya. Kompasianer yang datang adalah Maurin, Mbak Sri Subekti. Mereka ikut juga dalam peragaan busana. Lalu ada Mas Susy Heryawan, Mas Wang Edy, Mbak Biken dari Semarkutigakom, komunitas Kompasiana yang ada di Semarang. Sore harinya menyusul Mbak Suprihati dan Mas Dizzman. Beliau berdua ikut mengisi materi acara bincang-bincang Pewarna Alam, Dari Akar sampai Pasar.

Bertemu dengan Mbak Leya, Para Kompasianer Semarkutikom dan Maurin. Senangnya tiada tara. (Foto: dokpri).
Bertemu dengan Mbak Leya, Para Kompasianer Semarkutikom dan Maurin. Senangnya tiada tara. (Foto: dokpri).
Acara dibuka pukul sepuluh pagi. Berjalan dengan lancar dan meriah. Kemudian disusul peragaaan busana. Saya, Maurin dan Mbak Sri Subekti juga ikut tampil. Cius ya. Ini adalah pengalaman pertama saya sebagai peraga busana di acara yang keren ini. Saya sangat grogi.

Para ibu-ibu inspiratif juga ikut dalam peragaan busana. Mbak Leya dan Mbak Kiki dari Sekar Kawung, memandu acara menjadi santai, sehingga peserta peraga busana menjadi lebih rileks. Meriah! Hahaha... legalah kita semua. 

Malam hari memperagakan kain sutra ecoprint. Keren ya! (Foto: dokpri).
Malam hari memperagakan kain sutra ecoprint. Keren ya! (Foto: dokpri).
Talk Show, Pewarna Alam, Dari Akar sampai Pasar

Acara talk show menampilkan beberapa pembicara dan pembawa materi. Mbak Suprihati yang karya artikelnya di Kompasiana selalu membuat saya terkagum, menyampaikan tentang bagaimana limbah kain sintetis itu sungguh berbahaya bagi dampak lingkungan. 

Mbak Suprihati dari Salatiga, salah satu Kompasianer yang saya kagumi sedang memaparkan materi talk show dan diskusi. (Foto: dokpri).
Mbak Suprihati dari Salatiga, salah satu Kompasianer yang saya kagumi sedang memaparkan materi talk show dan diskusi. (Foto: dokpri).
Kemudian Mbak Kiki Chandrakirana memberi pengetahuan tentang sebuah proses kain tenun berjalan, sejarahnya, budayanya. Dari hulu hingga ke pasaran. Pendiri Yayasan Sekar Kawung ini adalah sosok yang membuat saya kagum.

Mbak Kiki Chandrakirana dari Sekar Kawung. Sungguh saya kagum pada beliau. Perjuangannya yang konsisten terhadap kain tenun. Salut. (Foto: dokpri).
Mbak Kiki Chandrakirana dari Sekar Kawung. Sungguh saya kagum pada beliau. Perjuangannya yang konsisten terhadap kain tenun. Salut. (Foto: dokpri).
Kemudian dari Galeri Batik Yogyakarta berbicara tentang pewarnaan batik warna indigo. Berasal dari tanaman indigo, yang pertama kali ditemukan tumbuh liar di pinggiran rel-rel kereta api, bangunan lama, di tanah lapang. Kemungkinan tanaman itu adalah sisa-sisa tanaman dari pembatik terdahulu.

Kemudian tumbuhan indigo diambil dan dibibitkan kembali. Memang tidak mudah dan memerlukan proses waktu untuk kembali memperbanyak bahan alam pewarnaan kain. Butuh kesabaran dan ketelatenan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun