Jiwaku meronta. Tetapi aku begitu sayang padanya. Aku tak mau ia terluka. Tetapi, terpaksa aku melukainya. Hati lembut itu pasti akan tertoreh perih sembilu. Dan ia akan menangis begitu pilu. Aku tak akan sanggup mendengarnya. Apalagi jika nanti ia melawan ayahnya. Akan menjadikan lipatan rasa bersalahku mengunung-gunung.
Baiklah. Tanpa suatu pesan aku meninggalkannya. Aku kuatkan hati agar tak lagi menengok ke belakang. Melihat Dwipa.
Sungguh. Suatu siksa. Bila aku tak tahan, bisa membuatku ingin mati. Tetapi aku ingat Tuhan. Aku masih memiliki nalar, agar berpikiran logis.
Sisa-sisa cinta aku bawa. Tersimpan rapi hingga bertahun lamanya. Cintaku pada Dwipa, mungkin seperti matahari dan rembulan. Berjalan beriringan, tetapi tak pernah bertemu. Aku berada di dunia yang berbeda dengannya. Entah ia dimana dan aku dimana.
Ketika tekat membara dan terluka, memacu semangatku menggila. Entah karena memang bakatku, atau karena keberuntungan. Jadilah aku seperti sekarang. Aku rasa, menjadi terkenal karena beruntung dan kerja keras.
Kadang-kadang keinginan untuk bertemu Dwipa menggebu-gebu. Ingin membuktikan kepada ayahnya, bahwa seniman juga bisa menjadi jaminan masa depan.Â
Secara diam-diam, aku mengunjungi rumahnya. Tetapi sebenarnya, hanya melewatinya saja. Tak benar-benar datang dan mengetok pintu rumah.Â
Lagi pula, aku rasa ia sudah pindah. Karena tak ada tanda-tanda bahwa rumah itu berpenghuni. Kosong. Rumput di depan rumah meninggi dan tak terawat.
Aku tak akan bisa menemuinya kembali. Karena aku tak tahu kemana ia pindah. Akhirnya aku menyerah. Tak mencarinya lagi. Berusaha melupakannya.
***
"Mas, punya waktu?" tanyamu suatu hari lewat telepon.